Demam penggunaan ChatGPT merambah berbagai bidang tak terkecuali pendidikan. Survei di Stanford University, Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 17 persen mahasiswa menggunakan teknologi tersebut untuk ujian akhir.
Stanford merupakan salah satu kampus prestisius di negeri Paman Sam. Lembaga pemeringkatan internasional menempatkan universitas swasta yang berlokasi di California itu pada posisi tiga terbaik dunia.
Dikutip dari The Stanford Daily, survei dibuka dari 9-15 Januari menggunakan aplikasi Fizz memperoleh 4.497 responden. Aplikasi ini hanya bisa diakses menggunakan email internal Stanford.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil survei menyatakan sekitar 17% responden mahasiswa Stanford memanfaatkan ChatGPT dalam menyelesaikan tugas dan ujian akhirnya.
Dari 17 % tersebut, hampir 60 % menggunakan AI untuk brainstorming, outlining, dan mencari ide. Kemudian sekitar 30 % untuk menjawab soal pilihan ganda.
Ada juga yang menggunakan hasil dari ChatGPT dengan sejumlah pengeditan. Hanya 5 % yang menggunakan tulisan dari ChatGPT tanpa mengubah atau hanya sedikit mengubah hasilnya.
Para responden mengakui ChatGPT bisa membantu untuk menyelesaikan tugas. Namun mayoritas juga beranggapan ini melanggar peraturan jika digunakan lebih mencari ide.
ChatGPT adalah singkatan dari Chat Generative Pre-Trained Transformer, yaitu robot percakapan berbasis AI buatan OpenAI yang menjawab berbagai pertanyaan atau prompt yang dimasukkan penggunanya.
Juru bicara Stanford University Dee Mostofi menyatakan pihak kampus telah memantau penggunaan teknologi tersebut. Ia pun mengharapkan mahasiswa bisa menyelesaikan mata kuliah tanpa menggunakan bantuan yang dilarang aturan.
"Di sebagian besar mata kuliah, bantuan yang tidak diizinkan mencakup alat artificial intelligence seperti ChatGPT," ujarnya.
Sejumlah pengajar pun telah merombak mata kuliah mereka untuk mengantisipasi bagaimana mahasiswa dapat menggunakan chatbot untuk menyelesaikan tugas dan ujian.
Munculnya ChatGPT ditanggapi beragam kalangan kampus. Di Indonesia dosen Fakultas Hukum UGM Dina W Kariodimedjo, PhD mengatakan penggunaan ChatGPT yang berlebihan bisa melahirkan potensi plagiarisme hingga melanggar etika akademik. Di samping itu, tidak semua jawaban yang diberikan ChatGPT akurat.
"Data dari ChatGPT banyak meng-copy karya orang lain, aplikasi ini sebaiknya dilarang digunakan di universitas (karena) membawa dampak negatif dalam pembelajaran. Tidak seluruhnya jawabannya akurat," kata Dina beberapa waktu lalu.
Dina menyarankan, universitas perlu melarang penggunaan chatbot AI atau ChatGPT untuk penulisan sebuah karya ilmiah. "Universitas dan semua pemangku kepentingan meningkatkan kesadaran dan menjunjung tinggi etika, khususnya menghindari plagiarisme menggunakan AI," tegasnya.
(pal/pal)