Kolom Edukasi

Ruang Bermain untuk Jiwa Anak: Investasi Sehat Menuju Indonesia Emas 2045

Penulis Kolom - JF Bobby Saragih - detikEdu
Senin, 13 Okt 2025 19:30 WIB
Foto: (Dokumentasi pribadi JF Bobby Saragih)
Jakarta -

Setiap tanggal 10 Oktober dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Namun di balik peringatan ini, ada kenyataan yang perlu kita hadapi: gangguan kesehatan mental bisa dialami siapa saja, tanpa mengenal batas ekonomi, pendidikan, suku, agama, bahkan usia.

Anak-anak dan remaja bukan pengecualian. Sebuah penelitian terbaru oleh Reaume dan tim (2025) yang dimuat dalam Journal of Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology mengungkapkan bahwa sekitar satu dari lima anak pernah mengakses layanan kesehatan mental. Menariknya, banyak di antara mereka juga mengalami gangguan fisik, yang membuat kondisi mereka semakin kompleks.

Fakta ini memperkuat seruan global untuk segera mengatasi krisis kesehatan mental pada anak dan remaja. Koalisi Kesehatan Mental Pan-Eropa WHO menempatkan peningkatan kualitas layanan kesehatan mental anak sebagai prioritas utama di berbagai negara. Hal ini bukan tanpa alasan-karena sebagian besar gangguan mental dimulai sejak usia dini, bahkan sebelum anak beranjak dewasa.

Penelitian besar oleh Solmi dan rekan-rekannya (2022) dalam Molecular Psychiatry menunjukkan bahwa rata-rata usia munculnya gangguan mental adalah 14,5 tahun. Artinya, masa remaja awal menjadi periode kritis bagi perkembangan mental seseorang. Jika diabaikan, gangguan ini dapat memengaruhi tumbuh kembang anak dan berdampak hingga dewasa.

Sebuah studi nasional di Inggris mengungkap tren peningkatan gangguan kesehatan mental pada anak-anak selama hampir dua dekade terakhir. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999, 2004, dan 2017 terhadap anak-anak berusia 5-15 tahun itu menunjukkan bahwa pada 2017, anak dengan gangguan mental mengalami kesulitan yang lebih berat serta dampak yang lebih besar dalam aktivitas di sekolah, di rumah, dan dalam kehidupan sehari-hari. Riset yang dipublikasikan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry ini menunjukkan adanya kecenderungan memburuknya kondisi psikologis anak dari waktu ke waktu. Para peneliti menilai, hasil tersebut menjadi peringatan bagi berbagai pihak untuk memberi perhatian lebih serius terhadap kesehatan mental anak.

Bermain Penting Bagi Anak

Sejatinya bermain adalah bagian penting dari masa kecil. Setiap anak memiliki hak untuk bermain, berkreasi, berekreasi, dan beristirahat sesuai usianya. Bermain bukan sekadar hiburan, melainkan hak dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Melalui bermain, anak belajar bersosialisasi, mengekspresikan emosi, dan mengembangkan kemampuan berpikir. Namun, realitas saat ini menunjukkan perubahan besar. Di tengah meningkatnya penggunaan ponsel pintar dan internet, banyak anak justru kehilangan waktu bermain di dunia nyata.

Kecanduan layar kini menjadi ancaman nyata. Data BPS dalam Laporan Komitmen Pemerintah Melindungi Anak di Ruang Digital menyebut: BPS tahun 2024 menyebut bahwa 33,44% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan handphone/gawai. Menurut laporan IDN Times (2024), anak-anak Generasi Alpha di Indonesia - usia 5 hingga 11 tahun - menghabiskan rata-rata 2,8 hingga 3,5 jam setiap hari di depan layar. Angka ini jauh melebihi batas waktu bermain digital yang disarankan para ahli.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan, seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, hingga gangguan fisik, intensitas bermain gadget yang tinggi berdampak langsung pada penyimpangan perilaku dan gangguan perkembangan mental. Khusus bagi anak-anak, frekuensi penggunaan gadget memang perlu dikendalikan. Dalam konteks anak-anak, bermain menjadi salah satu cara untuk mengatasi gangguan kesehatan mental tersebut, play therapy digunakan banyak konselor dan para ahli dan efektif untuk mendukung kesejahteraan mental, mengurangi kecemasan.

Ruang Bermain Sebagai Ruang Terapeutik

Di tengah meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental pada anak, muncul kesadaran baru bahwa solusi tidak selalu harus datang dari terapi klinis atau teknologi canggih. Kadang, jawabannya sesederhana menyediakan ruang bermain yang layak di sekitar tempat tinggal. Penelitian Jin, Wang, Sun, Chen, dan Zheng (2025) dalam Frontiers in Public Health menunjukkan bahwa taman bermain anak di kawasan permukiman memberi dampak positif nyata bagi kesehatan mental masyarakat-terutama anak-anak dan penduduk usia muda.

Namun, manfaat ini bergantung pada seberapa aktif ruang bermain digunakan. Sayangnya, meningkatnya screen time membuat banyak taman bermain menjadi sepi. Riset JF Bobby Saragih dan Michael Tedja berjudul "How Children Create Their Space for Play?" menegaskan bahwa faktor fisik dan sosial sangat menentukan minat anak untuk bermain di ruang publik. Akses mudah, kebersihan, keamanan, dan suasana yang ramah anak terbukti mendorong anak-anak untuk lebih aktif bermain. Sebaliknya, taman yang tertutup, penuh aturan, atau kurang terpelihara justru menghilangkan rasa bebas dan membuat anak kembali pada layar gawai.

Hal senada ditemukan oleh Mila Karmilah (2019), yang mengungkap bahwa keterbatasan fasilitas, kondisi lingkungan yang tidak nyaman, serta kurangnya perawatan mendorong anak-anak mencari tempat bermain alternatif yang lebih aman-meskipun bukan taman bermain resmi. Anak-anak akan tetap bermain, tetapi ketika ruang yang disediakan tidak mendukung, mereka akan menciptakan ruang bermainnya sendiri di lokasi yang tak selalu ideal.

Penelitian dalam Journal of Environmental Psychology menambahkan bahwa ruang bermain yang dirancang dengan baik-menggunakan elemen alami, tantangan fisik, dan akses yang inklusif-berpotensi menjadi ruang terapeutik yang mendukung kesehatan mental anak dan memperkuat interaksi sosial komunitas.

Sementara itu, telaah sistematis oleh Vanaken dan Danckaerts (2018) dalam International Journal of Environmental Research and Public Health terhadap 21 studi di PubMed dan Scopus memperkuat bukti bahwa paparan ruang hijau yang digunakan untuk bermain berperan penting dalam menekan masalah emosional, hiperaktivitas, dan perilaku anak di tengah laju urbanisasi yang semakin cepat.

Ruang Bermain Inklusif

Seperti disampaikan sebelumnya, gangguan kesehatan mental dapat dialami oleh siapa pun. Namun, penelitian Child Mental Health Problems and Poverty oleh Graham dan Maughan (2025) menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki risiko tertinggi mengalami masalah kesehatan mental. Tidak seperti anak anak yang lain yang bisa mengekses ruang bermain dalam berbagai dimensi, mereka yang berada dalam kelompok ini tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengakses ruang bermain dengan mudah.

Untuk mengatasi keterbatasan mereka, langkah paling nyata adalah dengan menyediakan ruang bermain yang inklusif. Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab moral sekaligus hukum untuk memastikan tersedianya ruang publik yang aman, layak, dan ramah bagi semua anak, ruang bermain inclusive.

Dan pada akhirnya, sudah saatnya taman bermain dipandang bukan sekadar pelengkap kota, melainkan ruang pemulihan jiwa tempat anak-anak dapat bertumbuh secara sehat-fisik, mental, dan sosial. Karena seringkali, kebahagiaan anak tidak datang dari terapi mahal, melainkan dari kesempatan sederhana untuk bermain dengan bebas di ruang yang menerima semua golongan. Ruang bermain adalah fondasi penting untuk membentuk Generasi dan Indonesia Emas 2045, mengabaikannya berarti melewatkan peluang besar untuk menyiapkan generasi yang sehat, tangguh, dan siap menghadapi masa depan.

*)JF Bobby Saragih adalah Guru Besar Arsitektur Binus University, pengajar mata kuliah Perilaku dalam Arsitektur.

*) Pernah menjadi anggota penyusunan Sertifikasi Ruang Bermain Ramah Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebagian besar penelitian terkait dengan 'Ruang Bermain Ramah Anak'.

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com



Simak Video "Video Menko Pratikno soal Beasiswa: Investasi Generasi Indonesia Emas 2045"

(nwk/nwk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork