Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Agus Sartono sarankan agar program makan bergizi gratis (MBG) dikelola oleh kantin sekolah. Mengapa hal ini perlu dilakukan?
Ia menjelaskan, MBG dilaksanakan di Indonesia usai belajar dari pengalaman berbagai negara lainnya. Beberapa negara yang dimaksud yakni Brasil dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Bukan hanya dasar programnya, Agus menyoroti berbagai praktik baik menjalankan MBG di negara maju seharusnya juga bisa diperhatikan. Termasuk tentang program MBG yang dilaksanakan melalui kantin sekolah.
"Cara ini lebih baik dibanding dengan cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini," tuturnya dikutip dari laman resmi UGM, Minggu (5/10/2025).
Melalui kantin sekolah, menurutnya makanan yang tersaji dalam MBG akan lebih segar dan tidak cepat basi. Seluruh prosesnya bisa terkontrol dengan baik lantaran berada dalam lingkup yang relatif kecil.
Agus yakin cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. Sekolah bisa bekerja sama dengan komite untuk proses pengelolaannya.
"Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik," urainya.
Jika sistem MBG dilakukan oleh kantin, ia berpendapat, kebutuhan baku bahan makanan bisa dipenuhi dari UMKM sekitar sekolah. Langkah ini dapat berimbas pada terciptanya sirkulasi ekonomi yang baik.
"Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar Rp 15 ribu per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp 7.000 per porsi," tegas Agus.
Uang MBG Diberikan Secara Tunai ke Siswa
Jika proses pengolahan MBG tidak mungkin dilakukan oleh kantin sekolah, Agus memberikan alternatif lain. Ia mengatakan, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa.
Sistem ini akan melibatkan orang tua yang harus membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada anak-anaknya. Jika ingin diterapkan, Badan Gizi Nasional (BGN) harus menyusun panduan teknis dan melakukan pengawasan.
Dalam pelaksanaannya, guru di sekolah juga perlu bertindak tegas. Ketika ada anak yang tidak membawa bekal, sekolah perlu memberi peringatan hingga memanggil orang tuanya.
"Jika sampai satu bulan tidak membawa (bekal), bisa memanggil orang tuanya dan jika masih terus, bisa dihentikan," tegas Agus Sartono.
Cara seperti ini dinilainya lebih efektif dan menanggulangi praktik pemburu rente atau uang program rutin. Dana MBG bisa ditransfer langsung ke siswa setiap bulan layaknya penyaluran KIP atau BOS.
Penyebab Keracunan MBG
Agus juga mencoba merunut mengapa persoalan keracunan MBG bisa mencuat. Menurutnya hal ini bisa terjadi karena panjangnya rantai penyaluran makanan.
Seperti yang diketahui, penyaluran MBG dilakukan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) kepada sekolah-sekolah. Proses ini menurut Agus hanya menguntungkan pengusaha besar, mengingat ia menemukan anggaran yang seharusnya Rp 15 ribu per anak menjadi Rp 7 ribu saja.
"Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi 'Makar Bergiri Gratis' bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara 'gratis'," singgungnya.
Ia mencoba menghitung pendapatan yang diterima SPPG. Jika margin per porsi diambil Rp 2 ribu dan satu SPPG melayani 3.000 porsi, maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 150 juta per bulan atau Rp 1,8 miliar per tahun.
"Secara nasional margin Rp 2.000 dari Rp 15.000 atau sekitar 13 persen merupakan suatu jumlah yang besar. Karenanya implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan kebocoran/keuntungan pemburu rente sebesar Rp 33,3 triliun," papar Agus.
Meski sudah berjalan, Agus yakin masih ada waktu untuk BGN berbenah diri soal MBG. Ia mengajak pemerintah untuk perpendek rantai distribusi MBG dan menghilangkan cara-cara kotor dalam prosesnya.
"Saya kira masih belum terlambat, dan ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa," pungkasnya.
Simak Video "Video Bareskrim Turun Tangan Asistensi Penanganan Kasus Keracunan MBG"
(det/twu)