Bahaya Kemunculan Akun Anonim, Riset: Pasukan Siber Menenggelamkan Suara Kritis

ADVERTISEMENT

Bahaya Kemunculan Akun Anonim, Riset: Pasukan Siber Menenggelamkan Suara Kritis

Trisna Wulandari - detikEdu
Minggu, 31 Agu 2025 18:00 WIB
ilustrasi hacker, ilustrasi serangan siber
Foto: iStockphoto/Ilustrasi pasukan siber
Jakarta -

Riset terbaru menyorot bagaimana jaringan pasukan siber (cyber troops) beroperasi di Indonesia. Peneliti menemukan pasukan siber ini secara sistematis dalam memengaruhi opini publik, termasuk pada momentum penting.

Riset ini dilakukan oleh ahli demokrasi digital Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto SIP M Si Ph D, dan antropolog politik Universitas Amsterdam, Prof Ward Berenschot.

Pasukan Siber Bukan Sekadar Akun Anonim

Wijayanto mengatakan, pasukan siber tidak sebatas sekadar akun anonim di media sosial. Mereka merupakan jaringan terorganisasi yang dijalankan oleh pihak-pihak berkepentingan, mulai dari politisi, partai, hingga kalangan pengusaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menegaskan, jika praktik pasukan siber tersebut dianggap wajar, maka demokrasi RI terancam.

"Mereka bekerja bukan untuk memperkaya debat publik, tetapi untuk menenggelamkan suara kritis dan mengarahkan opini sesuai kepentingan tertentu," jelasnya, melansir laman Undip, Minggu (31/8/2025).

ADVERTISEMENT

Pasukan Siber Didanai Siapa?

Sementara itu, Ward menjelaskan dukungan pendanaan pasukan siber setidaknya berasal dari empat pihak, yaitu politisi, partai politik, pemerintah, dan kalangan pengusaha.

Ward mencontohkan, pada momentum revisi UU KPK tahun 2019, baik politisi, parpol, pemerintah, maupun kalangan pengusaha memiliki kepentingan bersama untuk mengendalikan KPK. Sebab, KPK dianggap berpotensi mengancam keberlangsungan mereka.

Alhasil, pasukan siber digerakkan untuk memanipulasi opini publik.

Membolak-balikkan Persepsi Masyarakat

Dalam riset ini, Wijayanto dan Ward melakukan penelitian di Indonesia, Filipina, dan Thailand dengan pendekatan etnografi digital selama lebih dari 4 tahun.

Hasil riset menunjukkan, narasi digital mampu membalikkan persepsi publik dalam proses revisi UU KPK pada 2019 lalu. Pada momen tersebut, tagar-tagar #Reformasidikorupsi dan #TolakrevisiUUKPK ditenggelamkan oleh tagar #KPKsarangTaliban, #RevisiUUKPKforNKRI, dan #DukungRevisiUUKPK.

Lebih lanjut, setelah mendominasi ruang digital, amplifikasi oleh media mainstream (arus utama) membuatnya juga memengaruhi survei opini publik saat itu hingga menunjukkan dukungan terhadap revisi UU KPK.

Waspada Manipulasi di Dunia Digital

Berangkat dari hasil studi, Wijayanto menekankan pentingnya peningkatan literasi digital, transparansi komunikasi politik, maupun tanggung jawab platform media sosial dalam menanggulangi disinformasi.

Sementara itu, norma etika, akuntabilitas, serta riset-riset akademik menurutnya harus terus didorong agar masyarakat sipil bisa menjaga ruang publik digital tetap sehat dan aman dari manipulasi.

"Melalui riset ini, kami berharap ruang digital di Indonesia tidak lagi menjadi arena manipulasi, melainkan ruang publik yang sehat untuk demokrasi," kata Wijayanto.

"Demokrasi digital ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi sarana kontrol warga terhadap kekuasaan, tetapi juga bisa dimanfaatkan secara manipulatif oleh elite. Tantangan kita adalah memastikan ruang digital benar-benar menjadi ruang publik yang otentik, bukan ruang publik semu," imbuhnya.

Hasil riset Wijayanto dan Ward diterbitkan dengan judul "Pasukan Siber - Operasi Pengaruh dan Masa Depan Demokrasi Indonesia". Buku terbitan Lembaga Pengkajian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) ini diluncurkan di Jakarta, Senin (25/8/2025) lalu.

Peluncuran buku ini turut dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Prof Dr Komaruddin Hidayat, Philips J Vermonte Ph D, dari Kantor Komunikasi Presiden, dan Ika Kartika Idris Ph D, dari Monash University Australia.




(twu/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads