Susah mencari pekerjaan tak hanya dialami di Indonesia. Lulusan ilmu komputer di universitas ternama di Inggris pun mengalami hal yang sama. Salah satunya disebabkan oleh disrupsi artificial intelligence (AI).
Susah mencari pekerjaan ini dialami Eddie Hart, sarjana ilmu komputer dan keamanan siber dari Universitas Newcastle yang lulus 2024 lalu. Hart tak habis pikir, sekaliber posisi junior pun seringkali menuntut pengalaman profesional dua tahun atau lebih.
"Itu tidak realistis, dan justru membuat kandidat yang baik enggan untuk mencoba," ujar Hart seperti dilansir dari BBC, Jumat (22/8/2025), dikutip Selasa (26/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CV Ditinjau AI Seperti 'Ditolak' Manusia
Tekanan dalam mencari pekerjaan juga meningkat dengan penggunaan AI dalam proses lamaran kerja. Hart menemukan satu proses lamaran yang sangat otomatis dengan delapan tahap, yang pertama adalah menjawab 20 pertanyaan bergaya ujian tentang dirinya sendiri.
Latihan semacam itu bisa memakan waktu berjam-jam. Para kandidat diminta untuk merekam dan mengunggah jawaban atas pertanyaan bergaya wawancara.
"Lalu itu ditinjau oleh AI dan komputer yang membuat keputusan. Rasanya seperti Anda tidak mendapatkan rasa hormat seperti ditolak oleh manusia," katanya.
Hal serupa diungkapkan Colin, yang tidak ingin nama lengkapnya digunakan, sarjana ilmu komputer di universitas dan lulus pada tahun 2024. Ia menghabiskan hampir satu tahun menjalani proses rekrutmen untuk sebuah perusahaan besar - tetapi akhirnya gagal.
"Bahkan perusahaan yang lebih kecil pun sering menggunakan AI untuk menyaring lamaran, yang berarti CV harus terstruktur agar 'ramah AI'," keluh Colin.
Tak sampai di situ, Colin kemudian mendapati dirinya diwawancarai oleh orang-orang yang menurutnya jelas-jelas belum membaca CV-nya.
Setelah mencoba beberapa kali, Hart akhirnya mendapatkan posisi sebagai insinyur keamanan di perusahaan keamanan siber Threatspike yang berbasis di Inggris, yang diperolehnya melalui proses kerja yang sangat berpusat pada manusia.
Sementara itu, Colin telah meninggalkan dunia teknologi sepenuhnya dan sedang mempertimbangkan alih karier di kepolisian.
Dampak Disrupsi AI
Laporan dari Yayasan Nasional untuk Penelitian Pendidikan Inggris menunjukkan penurunan 50% dalam iklan lowongan kerja di bidang teknologi antara tahun 2019/20 dan 2024/25, dengan posisi-posisi tingkat pemula yang paling terdampak.
Laporan tersebut menyebutkan 'dampak kecerdasan buatan yang diantisipasi' sebagai salah satu faktor di balik hal ini.
Pada saat yang sama, pengembang perangkat lunak telah banyak mengadopsi perangkat kode AI. Di saat yang sama menunjukkan ketidakpercayaan terhadap hasil kerja mereka.
Riset oleh Stack Overflow, sebuah platform pengetahuan perangkat lunak, menunjukkan hampir setengah dari mereka menggunakan perangkat AI setiap hari, meskipun hanya sepertiganya yang benar-benar memercayai hasil kerja perangkat tersebut.
CEO Stack Overflow, Prashanth Chandrasekar, mengakui dan memvalidasi pengakuan Hart dan Colin bahwa saat ini adalah 'masa yang sulit untuk lulus'. Lebih luas lagi, risetnya menunjukkan bahwa para developer software memilih untuk tetap bertahan, meskipun banyak yang menyatakan ketidakpuasan dengan pekerjaan mereka.
"Orang-orang mungkin sedikit mencari aman," tutur Chandrasekar.
Semua ini berarti para teknolog muda merasa lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan pertama yang krusial itu. Riset Stack Overflow juga menemukan bahwa meskipun 64% pengembang menganggap AI sebagai ancaman bagi pekerjaan mereka, angka ini turun empat poin persentase dibandingkan tahun sebelumnya.
"Mereka sekarang telah melihat beberapa keterbatasannya, di mana manusia dibutuhkan untuk terlibat," catat Chandrasekar.
Paul Dix, Chief Technology Officer (CTO) dan salah satu pendiri perusahaan basis data InfluxData yang berbasis di California, mengatakan dalam setiap penurunan atau gangguan ekonomi, pengembang perangkat lunak juniorlah yang paling terpukul.
"Jika tidak ada yang mempekerjakan pengembang muda, maka Anda akan sampai pada titik di mana Anda juga tidak memiliki pengembang senior, karena Anda telah benar-benar menghancurkan jalur pengembangan Anda," kata Dix.
CEO perusahaan cloud enterprise AS Nutanix, Rajiv Ramaswami, mengatakan dengan lebih positif bahwa beberapa anak muda yang baru lulus kuliah sebenarnya memiliki lebih banyak pengalaman menggunakan perangkat AI dibandingkan dengan cara pemrograman tradisional.
"Saya rasa pasar untuk talenta sedang dalam kondisi terbaik yang pernah kami lihat dalam beberapa tahun terakhir," kata Ramaswami.
(nwk/pal)