Printer Foto Mini dan Kawan Rusia: Kisah Mahasiswa Indonesia di Negara Beruang Merah

ADVERTISEMENT

Rantau Vibes

Printer Foto Mini dan Kawan Rusia: Kisah Mahasiswa Indonesia di Negara Beruang Merah

Royhans Effendy - detikEdu
Minggu, 03 Agu 2025 10:00 WIB
Royhans Effendy (ki) mahasiswa asal Indonesia di Ural Ural Federal University, Rusia
Royhans Effendy (ki) mahasiswa asal Indonesia di Ural Ural Federal University, Rusia Foto: Dok. Pri Royhans Effendy
Jakarta -

Saat pertama kali tiba di Rusia untuk menempuh studi S1, aku menyadari bahwa perbedaan antara Indonesia dan Rusia bukan sekadar soal cuaca atau makanan. Ada jarak yang nyata dalam hal budaya, kebiasaan, bahkan cara berkomunikasi. Meskipun aku telah mempersiapkan diri secara umum, nyatanya adaptasi tidak selalu semudah yang dibayangkan.

Beberapa perbedaan membuat aku bingung. Namun di saat yang sama juga merasa tertantang dan bersemangat karena ini berarti aku sedang mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.

Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika harus memanggil dosen di kelas. Di Indonesia, kita biasa menggunakan sapaan sederhana seperti "Pak" atau "Bu". Sapaan tersebut merupakan sebuah kewajiban tidak tertulis, sekaligus sebagai bentuk hormat kita kepada guru maupun orang-orang yang lebih tua daripada kita. Bahkan akan terasa aneh jika kita memanggil seorang guru tanpa embel-embel tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ketika aku duduk di kelas bahasa Rusia Ural Federal University, kelas wajib yang harus kuhadiri selama satu tahun sebelum memasuki dunia perkuliahan, aku mempelajari hal baru dari dosenku saat itu yaitu Elena Fominykh.

"Di Rusia, kami memanggil orang dalam acara resmi dengan susunan nama depan dan patronimik-atau nama ayahnya." Contoh yang diberikan oleh beliau adalah penyebutan Presiden Rusia, yang terdiri dari Putin yang merupakan nama familiya atau marga, Vladimir yaitu nama depan, dan Vladimirovich yakni nama ayah atau patronimik.

ADVERTISEMENT

Jadi, di dalam situasi resmi di Rusia, Presiden Vladimir Putin akan dipanggil Vladimir Vladimirovich, bukan Pak Putin seperti di budaya Indonesia. Saat mempelajari hal ini di hari pertama, aku sudah kebingungan tentang bagaimana cara memanggil orang lain.

Secara resmi, kelas Rusia memang tentang mempelajari bahasa Rusia. Namun dari kelas ini juga aku bertemu dengan berbagai budaya dari negeri-negeri lain. Beberapa teman yang kutemui di kelas ini misalnya. Samuel yang berasal dari Mesir, Charles dari Kongo, Eugi dari Meksiko, Ghozde asal Turki, hingga Zhang Zhengguan asal China. Cara kami berkomunikasi juga tak kalah beragam, dan menurutku cukup lucu dengan campuran bahasa inggris dan bahasa Rusia yang kacau balau.

Aku ingat bagaimana cara kami berkomunikasi ketika bahasa Rusia kami masih belum begitu sempurna. Saat itu, kami diberi tugas untuk menceritakan mengenai apa yang kami lakukan di hari Minggu yang merupakan hari libur.

Charles pun bercerita, "Saat libur, saya memasak sup kentang. Selain itu, saya..." Charles kebingungan untuk melanjutkan ceritanya, dan memilih menggerakkan kedua tangan seolah tengah menyapu. Kami berenam termasuk dosen bahasa Rusia, tertawa terbahak-bahak.

Tak terasa satu tahun kemudian berlalu dan aku pun menempuh pendidikan yang sesungguhnya sebagai mahasiswa tahun pertama jurusan Ekonomi Terapan. Saat itu tanggal 1 September 2024, hari dimana aku memulai kuliahku secara resmi. Grup kelas yang kudapat bernomor EU-143612 dan hanya ada 30 orang mahasiswa, yang mana aku adalah satu-satunya orang asing di kelas itu.

Mereka semua orang Rusia yang berbicara cepat menggunakan slang lokal. Mereka memang ramah, tetapi ada tembok tak kasat mata di antara kami dan juga mereka tidak repot-repot untuk menyapaku lebih dulu. Pada saat itu, aku benar-benar merasa bahwa aku sendirian.

Hingga pada suatu hari saat kampus menggelar open house organisasi di lapangan fakultas, di mana suasana dipenuhi keramaian mahasiswa baru. Di tengah hiruk-pikuk itu, pandanganku tertuju pada tiga mahasiswi yang sedang berdiri di dekat stan foto. Aku pernah melihat mereka di ruang kelas.

Dengan menggenggam erat sebuah printer foto mini, aku memberanikan diri melangkah mendekati mereka. Di tengah keraguan, aku membuka percakapan dengan senyum penuh harap. "Hai! Aku memiliki sebuah printer foto mini. Kalau kalian mau, aku bisa memotret kalian dan akan kucetak. Ah, tenang saja, ini gratis," ucapku sembari tersenyum, mencoba terlihat berani.

Polina, salah satu di antara mereka menatapku heran. Ia pun bertanya, "Gratis? Untuk apa?"Aku pun tertawa gugup. "Aku ingin berteman dengan kalian. Aku bingung mau memulainya dari mana," jawabku. Rezeda dan Yekaterina tersenyum ramah, lalu mendekat padaku sambil berkata, "Aku mau! Ayo kita berfoto."

Aku mengangguk. "Tentu! Tapi, boleh tidak aku menanyakan soal tugas kepada kalian jika aku bingung?" Ketiga gadis itu tertawa, kemudian mengiyakan.

Di hari kedua pengenalan dunia kampus, aku kembali sendirian. Aku melihat beberapa kelompok-kelompok kecil pertemanan. Lagi dan lagi aku merasakan adanya dinding tak kasat mata yang memberi jarak antara aku dan mereka.

Namun, aku kembali mengingat interaksiku kemarin bersama para mahasiswi, sepertinya aku harus kembali membuat pergerakan lebih dulu agar bisa berteman. Maka dari itu, kuperhatikan baik-baik orang-orang yang ada di sekitarku. Hingga akhirnya aku memberanikan diri mendekati kumpulan anak laki-laki yang berjumlah 5 orang, yang lagi-lagi pernah kulihat di kelasku.

"Hai! Kalian sedang membahas apa?" tanyaku dengan nada yang sedikit gugup. Mereka berlima menoleh ke arahku. "Oh, hai! Kamu murid asing itu kan?"

Aku menarik kedua sudut bibirku dengan canggung. "Ya, benar! Kalian tampaknya sedang membahas mengenai pelajaran ya? Bolehkah aku bergabung?" Kelima mahasiswa itu mengangguk. "Kami sedang membahas mengenai tugas minggu lalu."

Obrolan kami nyambung, dan ternyata mereka terlihat jauh lebih serius soal pelajaran daripada yang aku pikirkan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Maksim, Leonid, Roy, Platon, Kostantin, dan Yuri. Sepulang dari pengenalan lingkungan kampus hari kedua, kupikir hubungan pertemananku dengan mereka akan selesai.

Namun aku salah, mereka justru mengundangku ke group chat mereka yang ada di Telegram! Aku senang sekali! Setelah itu pun, mereka selalu mengikutsertakan aku dalam tugas kelompok maupun berkumpul dan berbincang kasual. Aku akhirnya menemukan teman-teman yang bisa kujadikan tempat untuk bersandar.

Culture shock lainnya aku alami selama awal enam bulan pertama sebagai mahasiswa resmi di Ural Federal University yang kulalui dengan penuh tantangan tetapi juga menyenangkan. Aku terkejut dengan bagaimana teman-teman sekelasku yang kerap kali menyelesaikan tugas sehari sebelum tenggat. Hal itu seperti kode etik tidak tertulis! Padahal di Indonesia, aku terbiasa mengerjakan tugas jauh-jauh hari sebelum tenggatnya agar tidak menumpuk.

"Platon, apa kamu sudah mengerjakan tugas manajemen yang pertanyaannya ada di PowerPoint itu?" tanyaku pada Platon, temanku saat itu. Aku masih ingat jawaban yang ia berikan dengan ekspresi santai. "Belum, aku bahkan belum melihat pertanyaannya." Aku melongo mendengarnya. Padahal tenggatnya tersisa dua hari lagi!

Jangan salah paham, mereka sama sekali tidak malas! Aku akui mereka luar biasa dalam memahami teori. Contohnya ketika dosen bertanya mengenai definisi manajemen atau teori pemasaran, mereka dapat menjawabnya langsung bahkan menyertakan referensi. Namun, kelemahan mereka ada di keterampilan teknis seperti penelitian atau penulisan akademik.

Pernah juga ketika dosen marketing kami, Nataliya Fedorovna memberi tugas penelitian menggunakan metodologi bebas. Aku berkonsultasi dengan Mas Herdin, sesama mahasiswa asal Indonesia. Beliau tengah menempuh pendidikan S3 di kampus yang sama denganku. Ketika kutanya mengenai tugas tersebut, beliau berkata, "Kamu bisa mengolah data dengan bantuan SPSS jika kamu menggunakan kuisioner. Di sini, SPSS jarang digunakan jadi kamu bisa membuat dosenmu terkesan."

Awalnya aku ragu dengan saran Mas Herdin, karena metode tersebut sering digunakan di Indonesia, meski pada akhirnya aku tetap menggunakan saran Mas Herdin. Aku pun mempresentasikan tugasku dengan bantuan Artemi, teman Rusia yang membantu menerjemahkan. Sesuai dengan prediksi Mas Herdin, Nataliya Fedorovna berdiri dan memberikan tepuk tangan ketika aku selesai presentasi.

"Saya tidak memiliki pertanyaan. Namun, boleh saya tahu darimana kamu mempelajari metode ini?"
"Saya belajar saat saya SMA di Indonesia," jawabku dengan nada pelan.

Beliau mengangguk pelan dengan wajah datar khasnya. Namun, aku dapat merasakan kekaguman dari tatapannya. Momen itu kemudian menyadarkanku, bahwa aku memang lemah di teori tetapi lebih kuat dalam bagian metodologi dan struktur.

Perbedaan budaya lainnya yang membuatku merasa terkejut adalah orang-orang Rusia, setidaknya yang ada di sekitarku, sangat jujur dan terus terang dalam mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Mereka akan bilang suka jika suka, dan begitupun sebaliknya. Contohnya seperti temanku, Arina, yang ingin melihat caraku mengerjakan tugas Excel-ku. "Baiklah, aku akan mengirimkannya melalui Telegram," ucapku.

Tak lama, dia membalas pesanku. "Wah, kamu sangat pintar! Aku bahkan masih bingung dengan maksud dari dosen kita, tapi kamu memahaminya dengan cepat!" Aku senang membaca pesan teks yang berisi pujian untukku itu. Sebab, ketika masih duduk di bangku SMA, aku jarang sekali mendapatkan pujian.

Perbedaan budaya yang besar antara negara asalku yaitu Indonesia dengan Rusia memanglah menyulitkanku awalnya. Setelah berbagai macam perbedaan yang kulalui, masih akan ada banyak lagi rintangan yang mungkin tidak kuketahui. Namun, aku percaya jika kita berani melangkah maju dan yakin selama kita benar, aku tidak akan tersesat dan kesulitan. Masih ada beberapa tahun lagi untukku menyelesaikan pendidikan sarjanaku, tetapi aku tidak sabar dengan petualangan yang akan kuhadapi nantinya!

*Royhans Effendy, mahasiswa S1 Applied Economics and Finance di Ural Federal University sekaligus penerima Russian Government Scholarship

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com ; Hasil kerja sama dengan PPI Dunia


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads