Meski Berkarakter Kemarau Basah, Pakar IPB Ingatkan Potensi Kekeringan

ADVERTISEMENT

Meski Berkarakter Kemarau Basah, Pakar IPB Ingatkan Potensi Kekeringan

Devita Savitri - detikEdu
Jumat, 04 Jul 2025 17:30 WIB
A drone view shows a combine harvester transferring newly harvested wheat grain to a cart, on a hilly wheat field at the drought-hit Yongshou county in Xianyang, Shaanxi province, China May 29, 2025. REUTERS/Florence Lo
Ilustrasi kekeringan. Pakar IPB ingatkan dampak kekeringan di musim kemarau 2025. Foto: REUTERS/Florence Lo
Jakarta -

Pakar Meteorologi IPB University Sonni Setiawan ingatkan meski berkarakter kemarau basah, musim kemarau tetap berisiko menimbulkan berbagai dampak serius, termasuk potensi kekeringan.

Sonni menjelaskan, pola dasar musim di Indonesia dipengaruhi oleh pergerakan angin monsun. Musim kemarau sendiri berkaitan erat dengan arah angin monsun Australia yang biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus.

"Di Indonesia, secara umum musim terbagi menjadi musim penghujan yang disebabkan oleh angin monsun Asia, dan musim kemarau yang disebabkan oleh angin monsun Australia," jelas Sonni dikutip dari laman IPB University, Jumat (4/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menjelaskan bila musim kemarau Indonesia 2025 memiliki karakter kemarau basah. Hal ini juga disetujui Sonni.

"Tahun ini adalah 'kemarau basah' akibat fenomena sunspot yang dapat meningkatkan curah hujan secara tidak langsung," sambungnya lagi.

ADVERTISEMENT

Fenomena Sunspot memiliki siklus 11 tahunan, sehingga ini bukan pertama dan terakhir kemarau basah akan hadir. Pola cuaca ini bisa terulang di masa depan.

Meskipun begitu, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri menurut Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University ini. Di mana, karakter dasar musim kemarau tetaplah periode kering.

Dampak Khas Musim Kemarau Mengintai

Salah satu dampak khas musim kemarau yang terus mengintai adalah kekeringan. Kekeringan dapat menyebabkan peningkatan suhu udara dan penurunan kelembapan udara.

Hal ini bisa terjadi karena kurangnya evaporasi air dari permukaan tanah dan tanaman. Saat musim kemarau tiba, potensi peningkatan partikel debu dan polutan juga akan meningkat.

"Sehingga terjadi penurunan kualitas udara, serta risiko kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), khususnya di daerah perkotaan," katanya.

Untuk menghadapi hal itu, Sonni merekomendasikan agar masyarakat menggunakan transportasi umum untuk mengurangi polusi. Selain itu, masyarakat juga bisa melakukan konservasi tanah dan air, serta penggunaan tahan kekeringan.

Ketika musim kemarau basah, hujan lokal mungkin saja terjadi. Walau begitu, menurut Sonni sifat hujan tidak akan merata dan tak menutup kemungkinan daerah tidak terbebas dari kekeringan.

"Fenomena sunspot memang memberi kemungkinan hujan, tapi sifatnya tidak merata dan tidak menjamin wilayah-wilayah terdampak akan terbebas dari kekeringan," tuturnya.

5 Provinsi Diperkirakan Alami Puncak Kekeringan

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan musim kemarau 2025 diprediksi akan berlangsung lebih singkat dari biasanya. Hal ini didasarkan pada pemantauan dan analisis iklim global dan regional.

Awal musim kemarau di Indonesia memang tidak berjalan serempak. Musim kemarau sudah mulai menyapa pada April 2025 lalu dan akan terus meningkat pada Mei serta Juni.

Dwikorita juga meningkatkan bahwa puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025. Ada lima provinsi yang diperkirakan mengalami puncak kekeringan pada Agustus.

"Wilayah-wilayah seperti Jawa bagian tengah hingga timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku," tandas Dwikorita.




(det/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads