Menjadi periset sekaligus dosen di perguruan tinggi adalah amanah yang tidak mudah dijalankan. Di satu sisi harus melakukan riset dan di sisi lain harus mengajar mahasiswa hingga mengabdi kepada masyarakat.
Namun, perjalanan tersebut bisa tercapai jika kita punya tekad kuat. Seperti yang sudah dibuktikan oleh dosen muda dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Suliskania.
Kariernya sebagai dosen muda bukan perjalanan yang singkat. Suliskania telah memulainya sejak masa kuliah Sarjana (S1) hingga kemudian usahanya berbuah pendanaan riset dari Jepang untuk proyek besar penelitiannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mau tahu bagaimana perjalanan dari Suliskania? Dilansir ITB, ini cerita Suliskania.
Tumbuh di Lingkungan ITB Sejak Kecil
ITB telah menjadi lingkungan yang sudah tak asing bagi Suliskania sejak kecil. Pasalnya, sang ayah adalah Tenaga Kependidikan (Tendik) di sana.
Saat S1, ia tak ragu memilih ITB dan mengenyam pendidikan di program studi oseanografi. Tak hanya itu, Suliskania mengambil program fast track S1-S2 sehingga kedua gelar itu dapat ia kantongi dalam waktu singkat.
"Saya senang sesuatu yang bisa kita lihat di alam, karena selama ini kan kalau kita belajar di kelas, ditunjukkan rumusnya seperti ini dan seperti itu. Kalau di Oseanografi, saat di ajak ke lapangan, langsung ditunjukkan fenomenanya. Misalnya belajar persamaan arus, di lautan itu bisa kita lihat secara langsung," ujarnya.
Kuliah Doktor dengan Beasiswa DAAD pada 2016
Merasa pendidikan S1 dan S2 belum cukup, Suliskania mencoba kesempatan pendidikan lagi di luar negeri. Akhirnya ia meraih beasiswa DAAD dan diterima di Universitas Hamburg.
Ia bercerita kuliah di Jerman punya banyak tantangan. Mulai dari adaptasi dengan bahasa Jerman dan proses menyesuaikan dengan sistem pendidikan di sana.
Suliskania mengaku harus mengejar ketertinggalan bahasa Jerman selama empat bulan. Sehingga pada 2017 ia baru bisa memulai perkuliahan dan lulus pada 2021.
"Itu benar-benar pengalaman yang sangat berharga dan saya ketemu kolega-kolega dari negara lain. Suatu experience yang tidak bisa saya dapatkan di Indonesia," kenangnya.
Jadi Dosen Muda dan Peneliti di ITB
Setelah mengembara sekitar 4 tahun di Jerman, Suliskania pulang kembali ke Indonesia dengan amanah baru. Dia mulai mengajar di ITB sebagai dosen yang memegang mata kuliah di jurusan oseanografi.
Awalnya ia merasa canggung saat mengajar karena dilakukan secara daring. Namun, kini ia sangat mencintai dunia ajar mengajar.
"Kalau disuruh pilih, saya paling menikmati mengajar," ujarnya.
Kecintaannya dalam mengajar sudah nampak sejak ia kuliah. Kala itu, Suliskania menjadi asisten dosen sehingga ia sudah belajar bagaimana mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa.
Sebagai dosen, ia berprinsip mahasiswa tidak harus dituntut sempurna. Terlebih saat mengerjakan tugas akhir, karena menurutnya kesempurnaan dapat terjadi secara bertahap.
"Tugas Akhir adalah latihan bagi mahasiswa untuk meneliti, gak harus wow banget, tidak ada penelitian yang perfect. Riset itu pasti selalu ada bolongnya. Justru itu kenapa riset selalu berulang, pasti kita akan menyempurnakan lagi dan menyempurnakan lagi. Karena itu, little step sangat penting," katanya.
Dapat Pendanaan Riset dari Jepang
Konsistensi Suliskania dalam melakukan riset akhirnya berbuah hasil. Pada tahun ini, sebuah lembaga foundation dari Jepang memberinya pendanaan riset mengenai klorofil dan perubahan iklim.
Ia pun mengerjakan proyek penelitian bersama koleganya Mubarok PhD. Dengan data CMIP6-model iklim global, Suliskania membuat skema perubahan iklim hingga tahun 2100.
Adapun fokus pengamatannya yakni terkait analisis perubahan klorofil-a di laut selatan Jawa sebagai indikator produktivitas primer ekosistem laut. Wilayah tersebut emang produktif karena sistem upwelling yang kuat.
Tak hanya bekerja sama dengan sesama dosen, Suliskania juga menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, prestasi ini tidak hanya bermanfaat bagi dirinya tetapi menjadi gerbang bagi Indonesia untuk lebih aktif berkolaborasi dalam riset global.
"Target saya supaya bisa dapat riset yang lebih banyak lagi. Mudah-mudahan Asahi bisa jadi gerbang pertama dan kesempatan yang bagus untuk saya bisa apply pendanaan riset lainnya," harapnya.
Kepada periset muda lain, Suliskania mengajak untuk tidak menyerah. Menurutnya, riset yang dilakukan tak harus sempurna karena ia yakin riset kecil pun berkontribusi bagi ilmu pengetahuan.
"Jangan berkecil hati dengan topik yang sederhana, namanya topik riset itu tidak pernah ada yang less significant, semuanya significant," tuturnya.
(cyu/faz)