Sejak Sabtu, 17 Mei 2025 lalu, salah satu ruangan di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada (UGM) dipenuhi oleh karya lukisan. Bukan lukisan karya mahasiswa UGM, melainkan milik puluhan seniman autis dari berbagai daerah.
Pameran lukisan tersebut bagian dari "art therapy" atau terapi seni yang digagas Komunitas Pesona Autistik Indonesia (PAI). Dengan tajuk Painting Exhibition & Art Activities "I'm Possible: Ekspresikan Dirimu", sebanyak 43 seniman autis dari kalangan pelajar memamerkan karyanya.
Dosen Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Drs Hadjar Pamadhi MA Hons, menerangkan bahwa art therapy merupakan jenis psikoterapi yang menggunakan seni sebagai media utama. Tujuan terapi ini yaitu untuk mengekspresikan dan mengolah emosi, pikiran, dan pengalaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terapi seni ini pertama kali dicetuskan oleh Adrian Hill pada 1940, selanjutnya Margaret Naumburg, Edith Kramer, Hanna Kwiatkowska, dan Elinor Ulman," jelasnya saat memaparkan materi di acara Talk Show Painting Exhibition & Art Activities di GIK UGM, Senin (29/5/2025).
Salah satu penyandang autis yang merasakan terapi seni ini yaitu Anugrah Fadly. Ia merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang kini tengah menempuh S2 Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Lukisan yang Menggambarkan Memori Kelam
Salah satu karya lukisan Anugrah yaitu berjudul "Kembali ke Jalan yang Benar". Saat dilihat, lukisan itu lekat dengan warna gelap, seperti hitam, hijau tua, biru tua, hingga merah pekat.
Ketika ditanya terkait latar belakang ide, ia menjelaskan dengan antusias bahwa itu berasal dari pengalaman dan memori yang dianggap kelam. Pengalaman tersebut, terjadi saat ia baru indekos di wilayah dekat kampusnya, tepatnya ketika baru semester dua.
"(Ide) dari ketika memori yang pernah, waktu pengalaman semester dua dulu. Judulnya adalah Kembali ke Jalan yang Benar. Itu saya pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan pas pertama ngekos di Jogja," ucap Anugrah.
Ia menceritakan dengan detail letak lingkungan kos, lengkap dengan tikungan yang menuju ke kanan dari arahnya biasa lewat. Di sana, ada temannya yang mengontrak dan memiliki kebiasaan meminum minuman beralkohol.
Tidak hanya itu, bahkan Anugrah juga mengingat perilaku-perilaku orang yang mabuk, yang bertindak agresif. Cerita juga detail, dengan menyebut nominal uang yang dikumpulkan anak-anak yang dia lihat untuk membeli minuman.
"Ada teman yang ngontrak. Dia kalau malam ada temannya patungan bawa minuman ada alkohol, itu malam. Begitu sudah dekat jam 9 (malam), makin lama (semakin malam) makin agresif, mudah emosi. Begitu ada yang memarahi, makin agresif, dan abusif, main fisik," ungkapnya.
"Temannya pernah patungan kira-kira, minimal Rp 20 ribu maksimal Rp 55 ribu, itu ingat kejadian itu tujuh tahun lalu, dari 2017, awal saya tinggal di Sewon," imbuhnya.
Masa-masa itu, kata Anugrah, ia anggap sebagai masa kelam. Hal ini karena dirinya juga berada di sana dan kerap diajak bergabung.
![]() |
Dalam lukisannya, masa kelam ini ia gambarkan dengan sosok orang sedang duduk, seperti memakai kain kotak-kotak (sarung). Lalu di sekelilingnya terdapat botol-botol yang dia simbolkan sebagai botol minuman keras.
Saat ditanya mengapa dominan warna hitam, ia menjelaskan alasannya dengan detail. Termasuk teori warna yang pernah ia dapat semasa kuliah S1.
"Karena (warna gelap) itu ada menggambarkan memori yang nggak menyenangkan, kelam. Karena itu terjerumus identiknya dalam kehidupan dewasa. Warnanya banyakan dikunci warna hitam, karena penguncian warna pernah diajarkan dosen saya, pakainya warna-warna hitam; key colour in black," terangnya dengan menggebu-gebu.
Posisi orang yang duduk dalam lukisannya, tampak seperti posisi duduk dalam ritual ibadah agama serta lafadz Allah SWT di pojok kanan atas. Simbol ini menjadi petunjuk bahwa Anugrah mengisyaratkan orang itu telah "Kembali ke Jalan yang Benar".
Ekspresi Anak Penyandang Autis Harus Dibebaskan
Menurut Hadjar, apa yang digambarkan oleh Anugrah dalam lukisannya, membuktikan bahwa anak penyandang autis memiliki ide dan ideologi sendiri di kepalanya. Alih-alih dinilai, orang tua dan pembimbing harus membiarkan atau membebaskannya.
"Pembiasaan yang diarahkan, lama-lama nanti terus lepas (kreativitasnya). Ini dipancing kepada anak-anak (soal ide), supaya keluar. Mereka itu punya konsep (di dalam imajinasinya)," jelasnya merespons cerita Anugrah.
"Ide itu diambil dari pengalaman pribadi, pada waktu apa; sedih, senang, dan seperti itu, diangkat jadi karya. Ini gunanya sebagai catatan harian," lanjutnya.
Ia mengatakan bahwa anak penyandang autis harus terus dipicu ekspresifnya. Baik yang ada di dalam pikiran maupun yang dirasakan.
"Harus diberi kesempatan mengekspresikan apa yang ada di dalam bayangan, pikiran, dan perasaan anak-anak. Dan maaf, jangan distop, biarkan seperti apa. Itu bagian dari katarsis, menghilangkan kotoran-kotoran (atau hambatan) yang ada di dalam pikiran dan perasaan," paparnya.
Kebiasaan mengekspresikan ini akan membantu anak pelan-pelan melepaskan kreativitasnya. Bentuknya bisa bermacam-macam, ada yang kreatif di seni, bahasa, hingga olahraga.
Setelah kebiasaan terbentuk dan anak mulai berkreasi, orang tua perlu menanamkan rasa tanggung jawab. Salah satunya dengan mempresentasikan karya. Ketika karya dipamerkan, anak-anak bisa muncul perasaan untuk berkarya lebih sungguh-sungguh karena akan dilihat oleh orang.
"(Responsibility) ini yang kadang-kadang tidak ditugasi oleh orang tua. Anak-anak (harus) diminta bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk karya dan dipamerkan, sehingga ada rasa mau dan tidak," tutur Hadjar.
Ia berharap, bahwa orang tua terus belajar dan lebih memahami pikiran dan perasaan anak-anak, terutama penyandang autis. Sebab, bukan mereka yang tidak paham tentang berbagai hal, tetapi orang tua yang belum sepenuhnya belajar tentang banyak hal.
(faz/nwk)