Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperingatkan ada 1 zona dari 3 zona megathrust di Sumatera Barat (Sumbar) belum lepas. Zona yang mana?
Kepala BNPB Letjen TNI Dr Suharyanto, SSos, MM pun membeberkan beberapa potensi bencana megathrust yang telah dan mungkin akan terjadi di wilayah Sumatra Barat.
"Ada tiga zona megathrust di Sumatera Barat, zona megathrust Nias tahun 1861 dan 2005 sudah terjadi gempa, zona megathrust Pagai Selatan pada tahun 1833 dan 2007, zona megathrust Mentawai tahun 1797 sampai sekarang belum lepas," ungkap Suharyanto dalam Kuliah Umum tentang Penanggulangan Bencana yang dihelat di Kampus Universitas Andalas, Kota Padang, Sumatra Barat pada Rabu (7/5/2025) dalam rilis yang diterima Kamis (8/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirinya mengatakan dampak dari megathrust diperkirakan berdampak pada tiga lokasi.
"Apabila megathrust terjadi di pesisir Kota Padang, dampaknya akan terjadi di Bandara Internasional Minangkabau, pemukiman dan sungai serta pelabuhan karena lebih rendah daripada laut," imbau Suharyanto.
Kawasan bandara, jelasnya, runwaynya hanya berjarak 400 meter dari bibir pantai, dengan potensi tergenang 3 meter.
Potensi Gempa Megathrust yang Berkembang Bukan Peringatan Dini
Data yang disampaikan Kepala BNPB Suharyanto pernah disampaikan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Agustus 2024 lalu.
Ditegaskan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam situs BMKG, terkait rilis gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut "tinggal menunggu waktu" yang disampaikan sebelumnya dikarenakan kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar atau istilahnya seismic gap.
Seismic gap ini memang harus diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tetapi bukan berarti segera akan terjadi gempa dalam waktu dekat.
"Dikatakan "tinggal menunggu waktu" disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi," tulis Daryono.
Hingga saat ini, imbuh Daryono, belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa (kapan, dimana, dan berapa kekuatannya), sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya.
"Sekali lagi, informasi potensi gempa megathrust yang berkembang saat ini sama sekali bukanlah prediksi atau peringatan dini, sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat," imbaunya.
Memahami Potensi Gempa dari 3 Kondisi
Zona Megathrust Mentawai yang belum lepas ini juga didukung pakar gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Irwan Meilano, ST, MSc, dalam sesi dialog publik Selasa (13/8/2024) lalu. Irwan memaparkan untuk memahami potensi gempa, 3 kondisi ini bisa dilihat yakni:
Pertama, adalah sejarah kegempaan, yaitu tentang histori kegempaan yang pernah terjadi di daerah tersebut.
Kedua, data pengamatan pola kegempaan saat ini. Pada dasarnya, daerah yang berpotensi mengalami gempa besar di masa depan cenderung memiliki aktivitas kegempaan yang tidak terlalu banyak saat ini.
Ketiga, akumulasi regangan yang terjadi yang dapat diukur melalui pengamatan deformasi, termasuk pengamatan GPS yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan BRIN.
Irwan mengungkapkan ketiga kondisi tersebut telah terpenuhi di Mentawai. Sementara untuk Selat Sunda, hanya kondisi kedua dan ketiga yang terpenuhi. Kondisi pertama untuk Selat Sunda tidak terpenuhi.
Antisipasi Dampak Megahtrust
Kepala BNPB Suharyanto mengajak masyarakat untuk mengantisipasi dampak gempa megahtrust dan tsunami di Sumbar dengan beberapa antisipasi:
1. Membuat sempadan pantai yang berisikan pohon-pohon sehingga bisa mereduksi tinggi gelombang dan juga arus tsunami sebelum menyentuh bandara.
"Ke depan kita bahu membahu, di pinggir menjadi kawasan hutan pantai yang dibuat untuk menjadi pelindung bandara internasional Minangkabau," ungkapnya.
2. Antisipasi bebatuan di pantai-pantai Kota Padang yang bisa terbawa gelombang tsunami dan memperparah bencana
"Saat ini bibir pantai di Kota Padang, diperkuat dengan batu-batu. Untuk kondisi normal baik mencegah abrasi pantai tetapi ketika terjadi tsunami, bisa menjadi peluru karena akan terpental langsung menuju ke pemukiman menghantam rumah-rumah," jelasnya.
Dirinya mengungkap fakta bahwa saat tsunami di Aceh, kapal-kapal besar terbawa gelombang tsunami hingga ke pemukiman warga dan merusak bangunan yang dilewati.
"Waktu tsunami aceh, kapal sebesar itu bisa sampai ke darat, apalagi batu-batu yang ada di sepanjang pantai itu. Ini perlu dipikirkan untuk masa depan," tegas Suharyanto.
3. Kawasan yang rawan akan tsunami ialah wilayah-wilayah di Kota Padang yang memiliki sungai
"Kemudian di kawasan sungai, arus tsunami lebih cepat ketika melewati sungai yang melalui pemukiman," ujarnya.
Menanggapi potensi bencana tersebut, pemerintah terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat dengan cara melakukan simulasi evakuasi secara berulang di tempat-tempat yang berpotensi.
"Terkait itu sudah dilakukan simulasi kedaruratan, di Mentawai ketika ada gempa dan tsunami waktu menyelamatkan diri hanya 7 menit. Untuk Kota Padang sekitar 20 sampai 25 menit. Ini perlu dilatih kepada masyarakat, jadi masyarakat tahu ketika ada informasi bencana harus lari ke tempat aman," harap Suharyanto.
Rumah Adat Tahan Gempa dan Tsunami
Suharyanto mengajak masyarakat untuk melirik kearifan lokal. Di Sumbar, ada rumah gadang dan di Nias ada rumah adat Nias yang cukup tahan gempa.
"Nenek moyang kita itu mereka sudah tahu, sudah berusaha memberikan kearifan lokal, ini terbukti tahun 2022 terjadi gempabumi di Pasaman dan Pasaman Barat. Rumah-rumah modern yang dibangun pakai batu bata roboh dan hancur. Tapi rumah gadang, justru selamat rumahnya tidak apa-apa," kata Suharyanto.
Artinya orang Sumbar zaman dulu kala lebih prepare lebih paham. Rumah gadang dibuat sedemikian rupa sampai tiangnya di atas batu, kalau digoyang gempa tidak roboh, berbeda dengan dimasukan langsung ke dalam tanah.
Tidak hanya memiliki konstruksi yang tahan gempa, rumah gadang tidak dibangun di dekat pantai sebagai salah satu mitigasi tsunami.
"Rumah gadang tidak dibangun di tepi pantai, karena sudah tahu ada kemungkinan tsunami," ucap Suharyanto.
Selain rumah gadang, terdapat pula rumah adat Nias yang juga memiliki fungsi sebagai rumah tahan gempa karena struktur bangunan yang dibuat ada penyangga di antara tiang.
"Gempa Nias 2005 ada kearifan lokal, rumah-rumah di Nias ada penyangga struktur, rumah ini tidak rusak. Rumah adat Nias dengan penyangga ini sebagai bangunan tahan gempa," tuturnya.
Suharyanto juga menceritakan rumah adat di wilayah lain yang memiliki kearifan lokal sebagai bentuk kesiapan menghadapi bencana, yaitu rumah panggung.
"Pembelajaran lainya rumah panggung ada maksudnya, ketika ada banjir mereka selamat. Di Kalimantan setiap tahun mereka banjir, tapi mereka tidak mengungsi karena rumah mereka sudah rumah panggung semua," kata Suharyanto.
Ia berharap para mahasiswa ataupun akademisi, kembali mencari budaya ataupun kearifan lokal di wilayahnya masing-masing yang bisa saja menambah kemampuan masyarakat dan meminimalisir dampak bencana.
"Ini penting untuk menggali kearifan lokal," imbaunya.
(nwk/faz)