Pentingnya riset kampus yang selaras kebutuhan industri. Agar hasil riset kampus tak berhenti sampai prototipe.
"Banyak riset bagus dari kampus-kampus seperti UGM atau ITB, tapi sayangnya sering berhenti di tengah jalan," ujar CEO BNI Ventures dan co-founder program Massachusetts Institute of Technology-Regional Entrepreneurship Acceleration Program (MIT REAP) di Indonesia Eddi Danusaputro kepada detikEdu, ditulis Rabu (18/12/2024).
Dana riset yang terbatas sering kali hanya cukup untuk menghasilkan prototipe atau publikasi, tanpa berkembang menjadi produk komersial. Sayangnya, Eddi menyatakan rendahnya anggaran riset di Indonesia, bahkan termasuk terendah di dunia jika dibandingkan dengan negara seperti China atau Korea Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, industri juga menganggap ada ketidaksesuaian antara riset yang dilakukan dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka/pasar. Maka penting ada keselarasan antara riset dan kebutuhan industri.
"Karena tentunya investor akan ragu untuk masuk jika tidak ada kejelasan siapa yang akan membeli produk-produk inovasi tersebut," imbuhnya.
Riset sains yang mendalam, yang biasanya terjadi di universitas atau lab sains, biasanya dibutuhkan untuk menghasilkan produk-produk deep tech.
Mengapa Deep Tech?
Eddi sebagai perwakilan investor mengungkapkan pandangannya. Dari sudut pandang investor sebetulnya logikanya sederhana saja, mereka harus menemukan bidang-bidang yang memang akan memberikan keuntungan tertinggi.
"Bayangkan orang-orang yang dulu investasi di Microsoft atau Apple, hasilnya besar sekali sekarang. Jadi saya, mewakili pihak modal ventura, selalu fokus untuk berinvestasi sejak awal startup berdiri dan juga di area investasi yang profit marginnya terbesar," jelasnya.
Dan saat ini, bidang tersebut adalah deep tech. Deep tech adalah teknologi yang berdasarkan riset sains mendalam dan juga berpotensi memberikan dampak luas di masyarakat. Deep tech dilirik saat ini karena kemungkinan era aplikasi digital sudah hampir mencapai puncaknya di Indonesia dan akan menjadi stagnan untuk beberapa waktu.
"Memang mulai ada kecenderungan perpindahan appetite para investor global dari digital app ke deep tech ini, karena dianggap lebih menjanjikan dalam hal pengaruh/disrupsi dan keuntungan," jelas dia.
Ekosistem Hulu ke Hilir yang Terpadu
Karena itulah program MIT REAP, imbuh Eddi, adalah salah satu solusi yang dapat menjawab kekhawatiran para investor tadi. Program MIT REAP adalah inisiatif MIT untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan ekosistem yang terpadu untuk inovasi.
"Dunia modal ventura (venture capital) dan aliran investasi asing (FDI) ke Indonesia sebetulnya bisa ditingkatkan dengan membangun ekosistem deep tech yang terpadu dari hulu ke hilir", ujar Eddi.
MIT menekankan perlunya integrasi dari hulu ke hilir, dan kolaborasi antara kelima pilar untuk mendorong komersialisasi penelitian. Apa saja kelima pilar inovasi tersebut?
Menurut framework MIT kelima pilar itu adalah:
- Pemerintah
- Modal ventura (risk capital)
- Wirausahawan (entrepreneurs)
- Akademisi (universitas)
- Korporasi/industri.
Eddi menyoroti bagaimana setiap pilar harus berperan untuk mendukung pengembangan ekosistem yang kuat. Selama ini, terdapat kurangnya kerjasama antara pilar-pilar ini, dan tidak ada platform yang menghubungkan mereka semua. Padahal, perusahaan/industri dapat membantu mengarahkan riset berdasarkan kebutuhan mereka.
"Solusi sederhana seperti ini akan menjawab kekhawatiran para investor. Karena bukan saja investor mendapatkan produk-produk yang lebih inovatif dan berpotensi dari biasanya, tetapi juga membuat mereka percaya diri karena produk-produk inovasi deep tech tersebut akan ada pembeli atau pasar di akhirnya," urai Eddi.
Inilah yang coba dilakukan Eddi dan 8 orang co-founder lainnya dengan program MIT REAP, untuk membangun platform yang berkesinambungan bagi komersialisasi riset.
"Platform ini diharapkan dapat diterapkan secara nasional. Pertama di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Bali, dan selanjutnya direplikasi di wilayah lain," tutur Eddi.
Meningkatkan Aliran Investasi untuk Deep Tech
Selain modal ventura (VC), Eddi menekankan ketersediaan sumber dana lain seperti CVC (corporate venture capital), yang dapat dialokasikan oleh perusahaan-perusahaan swasta untuk riset dan pengembangan.
"Dana seperti ini, yang berasal dari berbagai perusahaan swasta atau bahkan aliran investasi dari luar negeri (FDI), misalnya, menjadi faktor penting dalam ekosistem riset yang berkembang," sarannya.
Walaupun aliran FDI ke Indonesia masih relatif kecil dibandingkan ke Singapura, aliran ini terus meningkat beberapa tahun terakhir ini. Namun faktor birokrasi dan ketidaksinkronan antarlembaga dan kementerian menghambat aliran FDI ke Indonesia. Hal-hal itulah yang harus dihilangkan.
"Untuk terus meningkatkan FDI, kita harus mengurangi birokrasi karena seringkali antar regulasi, kementerian dan lembaga itu tidak sinkron satu sama lain. Selain itu, kita harus meningkatkan kejelasan hukum, karena para investor luar akan melihat ini untuk mengantisipasi konflik yang mungkin terjadi. Kita juga dapat mempertimbangkan mengurangi pajak-pajak dari FDI ini," jelasnya.
Innovation Fund
Chairman dari asosiasi modal ventura terbesar di Indonesia ini pun mengusulkan pembentukan sebuah "Innovation Fund" untuk mendukung proyek-proyek inovatif deep tech ini.
"Innovation Fund ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk mendorong hasil riset menuju komersialisasi," ujarnya.
Pendanaan Innovation Fund ini dapat bersumber dari berbagai pihak, seperti:
- Angel investors, baik dalam maupun luar negeri
- Penggalangan dana, seperti dari alumni universitas
- Venture Capital (VC), baik BUMN maupun swasta
- Korporasi
- DFI (development financial institutions)
"Selain itu, dapat dipertimbangkan juga skema PPP (Public-Private Partnership) sebagai alat strategis untuk menarik investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Proyek yang didanai akan dipilih berdasarkan potensinya untuk menghasilkan dampak ekonomi atau teknologi," urai dia.
Ia pun mengakhiri wawancara dengan menanggapi kebijakan terbaru pemerintah yang menunjukkan apresiasi terhadap ekosistem riset.
"Saya melihat langkah pemerintah untuk memisahkan fungsi dikti, sains, dan riset dalam kementerian sendiri sebagai langkah positif. Selain itu, kolaborasi yang lebih banyak dengan investor dan sektor swasta juga menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap pentingnya ekosistem inovasi," ujarnya.
Co-writer: Pratama Nugraha
(nwk/nwk)