Riset Para Pakar: 3 Hal Ini Jadi Kelemahan Pengembangan Kapasitas Inovasi RI

ADVERTISEMENT

Belajar dari Pakar

Riset Para Pakar: 3 Hal Ini Jadi Kelemahan Pengembangan Kapasitas Inovasi RI

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Selasa, 17 Sep 2024 10:00 WIB
Anggota Tim MIT REAP Indonesia di Kendall Square – area universitas MIT di mana banyak startup dan perusahaan inovasi berkembang dari penelitian-penelitian MIT
Foto: (Dokumentasi Tim MIT REAP Indonesia)
Jakarta -

Para pakar dari berbagai bidang di Indonesia melakukan riset soal pengembangan kapasitas inovasi di Indonesia. Mereka menemukan 3 kelemahan ini dan menawarkan solusinya.

Para pakar itu tergabung dalam Tim Indonesia untuk program Regional Entrepreneurship Acceleration Program (REAP) di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Para pakar itu antara lain:

  • Ketua dan perwakilan BNI Venture dan Amvesindo (Asosiasi Modal Ventura Indonesia), Eddi Danusaputro
  • Project Manager MIT REAP Marina Kusumawardhani
  • Mantan Dirjen Dikti Kemendikbudristek Prof Nizam
  • CEO NSEI-Paragon Salman Subakat
  • Akademisi dari UGM Dr Yoyo Suhoyo
  • CEO GITS Indonesia, Ray Rizaldy
  • Chief Digital startup, Ecommerce & Fintech (DEF) at PT. Sharing Vision Indonesia Nur Islami Javad

"Selama ini, Indonesia hanya bergantung pada peningkatan jumlah dan kapasitas kewirausahaan (entrepreneurship) untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Menurut
framework MIT, pertumbuhan ekonomi sebuah negara membutuhkan keduanya: kapasitas kewirausahaan dan juga kapasitas inovasi," ujar Salman Subakat, CEO NSEI-Paragon, yang juga co-champion dari program MIT REAP, saat diwawancara di kampus MIT di Cambridge, Massachusetts, dalam rilis yang diterima detikEdu, ditulis Selasa (17/9/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal ibaratnya, Apple bisa jadi perusahaan nomor satu bukan hanya karena kemampuan kewirausahaan Steve Jobs, tetapi juga karena kemampuan inovasi teknologi Steve Wozniak.

Kalau mau mengikuti contoh pertumbuhan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat, 85% dari pertumbuhan ekonominya sejak Perang Dunia II berasal dari kemajuan sains dan
teknologi. Di antara negara bagian yang rata-rata berkontribusi hanya 2% untuk GDP Amerika Serikat, hanya California (karena Silicon Valley), yang dapat berkontribusi hingga 14,5% GDP.

ADVERTISEMENT

"Jika bergantung hanya pada kapasitas kewirausahaan, maka negara tersebut akan mengalami pertumbuhan ekonomi tetapi tidak akan berakselerasi hingga dapat melompati (leapfrogging) industri global saat ini, yang sangat penting jika Indonesia ingin menjadi salah satu pemimpin ekonomi global," ujar Prof Nizam, mantan Dirjen Dikti dan co-champion program MIT REAP Indonesia.

Para pakar di atas melakukan penelitian untuk mencari tahu kekurangan dalam pengembangan kapasitas inovasi di Indonesia pada April-Juni 2024. Mereka menyebar kuesioner ke 100 responden yang semuanya adalah pendiri perusahaan rintisan (startup) dan melakukan focus group discussion (FGD) kepada 30 wirausahawan dan investor di Indonesia.

3 Hal yang Kurang dari Pengembangan Kapasitas Inovasi RI

Berdasarkan penelitian, ditemukan 3 masalah utama kekurangan pengembangan kapasitas inovasi di Indonesia bisa diuraikan sebagai berikut.

1. Pendanaan Inovasi

Pendanaan untuk riset dan inovasi di Indonesia per tahun 2022 adalah sekitar 0,24% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia.

"Padahal pendanaan pemerintah adalah komponen yang sangat penting untuk perusahaan inovasi dalam mengatasi death valley/lembah kematiannya," ujar Eddi Danusaputro, Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia.

Sebagai pembanding, di tahun 2022, pendanaan inovasi di AS adalah 3,4% dari GDP. Sedangkan di China, pendanaan inovasi adalah 2,4% dari GDP.

Solusi dari ini tentunya adalah dengan meningkatkan pendanaan pemerintah untuk riset dan inovasi.

"Selain itu, dapat dibentuk fund khusus untuk inovasi, misal dari dana perusahaan BUMN, atau dari dana alumni seperti yang dilakukan MIT dan Harvard," lanjut Eddi.

Dengan begitu, Indonesia dapat mengatasi kekurangan dana pre-seed dan seed funding yang selama ini juga menjadi permasalahan startup di Indonesia.

2. Hilirisasi Inovasi

Agar berhasil, sebuah produk inovasi harus memiliki pembeli akhir yang jelas.

"Selama ini, produk-produk inovasi dilempar langsung ke konsumen (Business to Consumer/B2C) dan tidak jelas apakah konsumen memang butuh inovasi tersebut atau tidak," ujar Marina Kusumawardhani, project manager MIT REAP.

Pembeli akhir yang lebih masuk akal, imbuh Marina, sebetulnya adalah pemerintah (Business to Government/B2G), atau industri (Business to Business/B2B). Contohnya, Silicon Valley pada tahun 1960an juga mengalami kemajuan pesat karena Kementerian Pertahanan (Pentagon) Amerika lah yang menjadi pembeli akhir (offtaker) dari produk-produk inovasi di sana. Karena ada kejelasan pembeli akhir tersebutlah, produk-produk inovasi dari mulai internet, hingga touch-screen, dapat terlahir.

"Sebetulnya di Indonesia sudah ada inisiatif yang menggabungkan antara riset dan industri dari Kemendikbud Ristek," ujar Prof Nizam.

"Program tersebut bernama Kedaireka. Namun program ini harus diarahkan juga untuk membiayai program kerjasama dengan pemerintah (B2G), dan juga untuk membiayai sektor inovasi yang strategis di Indonesia," urai Nizam.

3. Kurangnya Budaya Inovasi di Antara Pemangku Kepentingan

Sekarang ini komunikasi antara universitas (riset), industri, dan pemerintah masih jarang dilakukan.

"Jadi universitas tidak mengetahui produk-produk inovasi apa yang dibutuhkan oleh industri atau pemerintah. Dengan membentuk platform dialog di antara ketiganya, mungkin di
STP (science technoparks) yang telah dibangun pemerintah di banyak universitas di Indonesia, dapat tercapai dialog inovasi ini," ujar Yoyo Suhoyo, direktur di Universitas Gadjah Mada.

Selain itu, perlu ditingkatkan juga dialog dan kolaborasi riset antara universitas, terutama dengan universitas ternama luar negeri.

"Juga, selain founders' education yang sering dilakukan di inkubator-inkubator startup di Indonesia, sepertinya perlu juga dilakukan innovators' coaching untuk industri/korporat, sehingga perusahaan-perusahaan di Indonesia selalu ter-update dengan perkembangan teknologi yang sesuai areanya," tambah Salman Subakat.

Memang rasanya terlalu jauh untuk Indoneesia melompat ke teknologi inovasi canggih semacam AI, bioteknologi, cybersecurity dan sebagainya. Teknologi dekade terakhir saja belum selesai diadopsi. Tapi memang untuk menjadi negara maju, hanya leapfrogging (lompatan kuantum) yang bisa membuat Indoesia mengejar ketinggalan dalam persaingan global dan memenangkannya.




(nwk/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads