Duta Besar RI untuk Qatar Ridwan Hassan berkali-kali memilih opsi terakhir. Dia bersama isterinya Lita Kadartin dikaruniai putri kembar Izzata Fithra Hassan dan Izzati Fithri dengan kondisi autistik. Sebagai ayah, Ridwan berprinsip harus ikut bahu-membahu bersama istri mendampingi tumbuh kembang buah hati mereka. Kepada si sulung, Muhammad Widad Hassan, maupun kedua putri kembarnya, Ridwan terbiasa melantunkan tembang-tembang pengantar tidur. Juga mengajari mereka mengaji. Istrinya yang punya hobi membaca biasa berbagi informasi dan mendiskusikan hal-hal terbaik bagi si kembar.
"Koleksi buku istri saya seputar autisme bisa bikin iri kandidat doktor saking banyaknya," ungkap Ridwan saat berbincang melalui aplikasi zoom dengan detikEdu beberapa waktu lalu, ditulis Rabu (27/3/2024).
![]() |
Izzata dan Izzati lahir di Tokyo, Jepang pada 28 Desember 2000. Hingga usia 2,5 tahun, pertumbuhan fisik si kembar terlihat baik dan sehat. Namun ada yang mencurigakan karena mereka bermain sendiri-sendiri, dan kalau menangis durasinya cukup lama.
"Izzati itu hiperaktif, nggak bisa diem. Kakaknya, Izzata asyik sendiri membangun dunianya, bikin boneka kecil-kecil. Asyik sendiri aja," kata Ridwan.
Kemampuan bergerak dan berbicara keduanya seperti terhenti setelah melewati usia 2,5 tahun, menjelang mereka pulang ke tanah air dari Tokyo pada akhir 2003. Suatu hari, atas nasihat tantenya yang mantan guru, Ridwan akhirnya membawa Izzata dan Izzati ke klinik tumbuh kembang di Jakarta Selatan.
Dalam waktu bersamaan, lelaki kelahiran 11 Agustus 1961 itu aktif mencari informasi tambahan. Dalam perbincangan dengan para koleganya di lingkungan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) diketahui bahwa populai anak-anak dengan kondisi seperti si kembar cukup banyak. Hanya saja tidak semua orang tua bersikap terbuka.
"Ya, mungkin karena belum atau tidak mengerti, tidak mau mencari tahu, atau karena sebab lain," ujar Ridwan yang berkarir di Kemlu sejak 1987.
![]() |
Konsultasi ke Klinik Tumbuh Kembang di Jakarta Selatan tak berlanjut karena Ridwan kurang sreg dengan pola yang diterapkan. Sejak awal dokter sudah langsung memberikan obat yang membuatnya takut anak-anak akan menjadi ketergantungan. Akhirnya dia bersama sang istri mendapatkan informasi tentang seorang dokter yang punya reputasi dalam penanganan autisme.
"Dari situlah kami mulai diperkenalkan tentang autisme," ujar Ridwan.
Dibandingkan dengan klinik pertama, dia menilai cara sang dokter menangani anak-anaknya lebih terukur. Mengikuti protokol yang berlaku saat itu, seperti tes rambut, alergi, dll. Dokter itu pula yang merekomendasikan untuk berkonsultasi lebih lanjut kepada dokter yang punya fasilitas terapi cukup baik di Taman Galaxy, Bekasi.
"Saya melihat anak-anak enjoyed karena terapinya itu seperti sedang di Play Group," kata Ridwan yang pernah bertugas di kantor Perwakilan RI di Bogota, Tokyo, Washington DC, Singapura, dan Dubai.
Selang bertahun kemudian, dia harus memboyong keluarganya ke Washington DC, AS. Beruntung dia membawa semua dokumen terkait kedua putri kembarnya. Mulai surat kelahiran, rekam medis, hingga sertifikat dari para dokter yang menangani Izzata dan Izzati selama di Indonesia. Hal ini berguna selain untuk melanjutkan terapi juga untuk masuk ke dunia pendidikan.
"Kami datang ke sekolah dan berdiskusi dengan para guru tentang kondisi Izzata dan Izzati. Mereka beberapa kali mengirimkan tim (antara lain psikolog dan ahli Bahasa) untuk mengobservasi si kembar," tutur Ridwan.
Namun sekembali ke tanah air, tak mudah untuk mendapatkan lembaga pendidikan seperti di AS. Ada sekolah yang melakukan assessment tapi terlihat tidak sungguh-sungguh. Terkesan seperti sekedar untuk memenuhi kuota di kelasnya. Di sekolah lain perlakuannya sangat prosedural. Dia cuma mau terima Izzati karena memang hasil assessement lebih baik dan harus turun dari kelas 4 menjadi kelas 2.
"Saya sedih dengan keputusan tersebut membayangkan anak yang satu lagi (Izzata) tak bisa sekolah," kata Ridwan.
Akhirnya Ridwan dan Lita mendatangi sebuah sekolah di Cikunir yang dikelola tokoh pendidikan anak, Seto Mulyadi (Kak Seto). Penerimaan kepala sekolahnya sangat baik dan argumentasinya logis. Kedua putrinya pun terlihat ceria dari mulai memasuki halaman sekolah hingga mengikuti sejumlah tes.
Hasilnya, Izzata dan Izzati diterima tapi harus turun satu kelas. Argumentasinya, pelajaran di kelas 3 masih bersifat hapalan tapi kalau di kelas 4 sudah pemahaman.
"Saya bisa terima karena penjelasannya logis. Dia meyakinkan kalau di kelas 3 perkembangan kedua putri saya akan lebih baik, sebaliknya bila bertahan di kelas 4 akan tersendat," kata Ridwan yang bertugas di Doha, Qatar sejak awal November 2020.
Di Doha, karena sudah dewasa, Izzata dan Izzati mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan umum tapi di Hope Qatar Center. Bersama murid-murid lain dari mancanegara, keduanya mendapatkan pendampingan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya masing-masing.
Izzati, kata Lita, terus dipacu passionnya di bidang seni lukis. Dua lukisannya, bunga Senduduk (Melastoma malabathricum) dan krisan (Chrysanthemum) terpilih untuk melengkapi 10 motif scarf dan busana muslim produk Elzatta. Semua karya itu dipamerkan di ajang IN2MF (Indonesia International Modest Fashion Festival) di Jakarta Convention Center pada 29 Oktober 2023 lalu.
"Mulai kemarin, 26 Maret Zati mengikuti internship di West Bay Beach Doha dengan beberapa temannya dari HOPE Qatar selama dua pekan," kata Lita. West Bay Beach merupakan pusat rekreasi yang dilengkapi restoran dan fasilitas lainnya di lokasi paling bergengsi di Kota Doha. "Semoga dimudahkan lancar dan sukses meraih ilmu di dunia kerja. Mandiri secara finansial adalah goal-nya," imbuh Lita.
Kalau kakaknya, Izzata, dia melanjutkan lebih tertarik ke dunia kuliner. Di sekolahnya dia enjoyed sekali belajar membuat cookies dengan resep kreasinya sendiri. "Saya mulai bantu mengumpulkan resep-resep makanan favorit yang biasa dimakannya sehari-hari," tutur Lita dengan wajah berbinar.
![]() |
Ridwan Hassan berharap, perhatian pemerintah terhadap isu autisme dapat lebih terlembaga dan sistematis. Tidak semata mengandalkan prakarsa masing-masing orang tua.
Selain itu, kalangan masyarakat sipil dan dunia swasta juga perlu makin digiatkan peran sertanya. Sebab biaya pengobatan, terapi, hingga pendidikan tidak murah. Belum lagi pemahaman dan pengetahuan orang tua maupun lingkungan sekitarnya yang masih jauh dari memadai dan tidak merata.
"Saya membayangkan di tanah air kelak punya sistem seperti di negara maju. Di tiap kelurahan atau kecamatan setidaknya ada sekolah negeri yang ditunjuk untuk bisa menangani pendidikan anak-anak ASD (Autism Spectrum Disorder)," kata Ridwan.
(jat/nwk)