Setiap tahunnya, jumlah orang yang mengalami gangguan spektrum autisme di Indonesia meningkat sebanyak 500 orang. Data tersebut tercatat dalam rilis oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2022.
Autisme adalah spektrum gangguan perkembangan otak yang memengaruhi cara berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku. Untuk memberikan intervensi yang tepat dan segera, maka dibutuhkan deteksi dini melalui pengamatan perilaku dan komunikasi.
Deteksi dini autisme bisa dilakukan oleh orang tua, guru, juga kader puskesmas dan posyandu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ciri-ciri Autisme
Menurut Dosen Prodi Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Gunawan Wicaksono, deteksi dini autisme bisa dilakukan sebelum usia 3 tahun dengan menanyakan 7 pertanyaan tentang ciri-ciri autisme yang diambil dari Checklist for Autism Toddlers (M-CHAT).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
- Apakah anak memiliki rasa tertarik kepada anak-anak lain?
- Apakah anak menggunakan telunjuknya untuk menunjukkan rasa terhadap sesuatu?
- Apakah anak mau menatap mata lebih dari 1-2 detik?
- Apakah anak dapat menirukan raut wajah?
- Apakah anak memberikan reaksi ketika dipanggil namanya?
- Jika kita menunjuk mainan atau benda di sisi ruangan, apakah anak melihat benda tersebut?
- Apakah anak pernah bermain sandiwara?
Menurut Gunawan, apabila dua dari tujuh pertanyaan di atas dijawab tidak, maka perlu diwaspadai adanya tanda-tanda autisme.
Namun, deteksi dini dengan pertanyaan di atas bukanlah diagnosis medis. Maka dari itu, bila ditemukan tujuh ciri tanda autisme di atas, sebaiknya anak segera diperiksakan ke tenaga ahli.
"Kolaborasi lintas sektor menjadi sebuah sinergi penting antara perguruan tinggi, sekolah, dan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman mengenai autisme," kata Gunawan dalam program pengabdian masyarakat (pengmas) di Azizah Islamic School, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara untuk meningkatkan pemahaman guru dan kader posyandu mengenai deteksi dini autisme pada 12 Januari lalu, dikutip dari rilis UI pada Senin (19/2/2024).
"Ini adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai akademisi untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Melalui program-program pengmas seperti ini, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan peduli terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus," ucapnya.
(nah/nwy)