Lulusan Unpas Sulap Air Hujan untuk Masak-Minum Sejak 2013, Sudah Layak Konsumsi

ADVERTISEMENT

Lulusan Unpas Sulap Air Hujan untuk Masak-Minum Sejak 2013, Sudah Layak Konsumsi

Novia Aisyah - detikEdu
Rabu, 18 Okt 2023 13:00 WIB
Simon saat menunjukan pengolahan airnya.
Foto: Anindyadevi Aurellia
Jakarta -

Seorang lulusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan, Simon Yudistira mengubah air hujan menjadi air untuk mencuci, memasak, hingga untuk minum sejak 2013 lalu. Air yang dia sulap bahkan telah ditetapkan layak minum oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung.

Simon memiliki tujuh tangki air, yang mana satu tangki dapat memuat setengah kubik. Tangki air miliknya digunakan untuk menampung air hujan, kemudian diendapkan dahulu agar kotoran dan polutannya turun.

"Ini airnya sudah bisa untuk mencuci, kalau untuk diminum nanti akan digunakan sinar ultraviolet dulu untuk mematikan bakteri," ungkapnya sambil memperlihatkan alat buatannya (12/10/2023), dikutip dari detikJabar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penggunaan dan pembangunan berlebihan menjadikan air tanah kian sulit ditemukan atau kualitasnya buruk ketika ditemukan. Inovasi yang Simon ciptakan membuat orang tidak bergantung lagi pada air tanah.

Simon membuktikan inovasinya dengan alat Total Dissolve Solid (TDS) atau pengukur jumlah zat padat terlarut. Air hujan yang ditampung Simon hanya memiliki nilai TDS 10 miligram per liter (mg/L).

ADVERTISEMENT

Ketika Simon menguji air mineral dari air tanahnya, angka TDS yang ditunjukkan cukup tinggi, yaitu 349 mg/L. Ini memperlihatkan bahwa air tanah di daerah tersebut mengandung mineral di atas batas normal.

"Jadi awalnya saya menampung air hujan itu karena air tanah di Ciroyom ini jelek, mengandung besi yang sangat tinggi sampai cokelat-cokelat. Apalagi untuk dikonsumsi. Terlihat dari ukuran pada TDS ini kan sangat tinggi, air minum yang baik itu maksimal TDS-nya 300, air hujan itu hanya 10," ungkapnya.

Simon menerangkan cara penggunaannya, yang mana alat dihubungkan ke listrik dan ada nano filter untuk menyaring partikel dan bakteri. Di samping itu, ultraviolet digunakan untuk membunuh virus dan sporabakteri.

"Jadi kalau di sini sporanya lolos, akan dibunuh di ultraviolet," ujarnya.

Sudah Diadopsi & Dibeli Beberapa Instansi

Simon mengaku bahwa dia mengadopsi cara penyaringan air miliknya berdasarkan usaha air isi ulang.

Tujuh tangki air Simon diletakkan di beberapa tempat. Dia menampung air hujan memakai empat tangki air di bawah tanah agar hemat tempat. Dua tangki lain ada di lantai tiga berdekatan dengan pipa penampungan air pada bagian atap. Kemudian satu lagi diletakkan di dapur untuk keperluan mencuci dan sebagainya.

Air akan mengalir dari lantai tiga ke lantai dua dan satu, terhubung dengan pipa-pipa. Menurut Simon, pembuatan alatnya tidaklah rumit. Apabila dilihat dari segi biaya, uang yang dikeluarkan menurutnya sepadan untuk air yang lebih sehat dan bersih, selama seumur hidup, tanpa batas.

"Misalnya untuk satu rumah lah satu torren atau satu kubik, kira-kira Rp 1.200.000, alat pengelola air hujan (nano filter dan sinar uv) Rp 1.800.000, pipa dan talang kurang lebih Rp 1.000.000 jadi total Rp 4.000.000 itu untuk jangka waktu yang sangat lama. Saya sudah 10 tahun aplikasikan di ruko saya," beber Simon.

Simon mengatakan, apabila setiap atap rumah mempunyai toren air minimal 500 liter, maka tinggal menambahkan keran, pipa, dan filtrasi untuk jadi air minum.

"Masyarakat bisa sekali kalau mau bikin sendiri. Kalau untuk rumah itu kan nggak cukup ya toren besar jadi bisa pakai toren air 500 liter, taruhnya paling bagus di bawah (tanah/buat mini basement), pipa yang ada valve didiamkan dulu 10 menit, buang di awal (buka valve) baru kemudian ditutup untuk panen. Kemudian untuk jadi air minum gunakan alat uv dan nano filter 1 mikron, serta pipa untuk menyalurkan," terang Simon.

Beberapa tempat sudah ada yang mengadopsi dan membeli alat inovasi Simon, di antaranya Universitas Bale Bandung, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Barat, SMAN 2 Padalarang, serta SD Marhamah Hasanah.

Juga Kelola Sampah Sendiri

Tak cuma mengolah air hujan menjadi air yang layak dikonsumsi. Simon pun mengolah sampah di rumahnya sendiri. Dia mempunyai tanaman dengan pot komposter guna membantu penguraian sampah dapur.

"Jadi saya meniru seperti konsep ekosistem alam. Pot ini tidak menimbulkan bau karena ada bakteri dan oksigen. Seperti di hutan, kalau kita buang sampah di hutan tidak akan bau. Tapi kalau di TPA misalnya atau lahan kosong itu tertutup, jadi ada bakteri pembusuk," kata dia.

Simon menjelaskan, pot diberi pori di bagian atas dan setengah dindingnya. Lalu, diletakkan di pot beton atau pot plastik yang lebih besar.

"Sampah dapur dimasukkan ke sini, sisa daging mentah diberikan ke kucing, plastik dijual, kalau sampah sisa makanan dibuat biogaster itu bisa untuk bahan bakar nyalakan kompor," tuturnya.

Menurut Simon, tidak ada alasan untuk tidak peduli dengan lingkungan. Ada banyak cara yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas hidup. Meski begitu, Simon mengaku sudah mencoba menawarkan inovasinya ke tingkat pemerintahan, tetapi tidak memperoleh respons.

"Saya itu sudah ke Dinas Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, wali kota, dan lainnya. Tapi mereka sekadar mendengar, kemudian tidak ditindak lanjuti. Anggota dewan juga ada yang mampir, ya saya senang dan terima kasih tapi setelah itu tidak ada respons lagi," kata dia.




(nah/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads