Sudah sejak tahun 2013, Simon menyulap air hujan jadi air yang bisa untuk mencuci, memasak, bahkan untuk minum. Bukan sekedar uji coba, air ini sudah ditetapkan layak minum oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung.
"Saya punya tujuh tangki air, satu tangki bisa muat setengah kubik. Itu untuk menampung air hujan kemudian diendapkan dulu supaya kotoran dan polutannya turun. Ini airnya sudah bisa untuk mencuci, kalau untuk diminum nanti akan digunakan sinar ultraviolet dulu untuk mematikan bakteri," kata Simon sambil menunjukkan 'alat tempur' buatannya, Kamis (12/10/2023).
Simon berhasil menciptakan inovasi yang membuat manusia tak bergantung lagi pada air tanah. Mengingat saat ini penggunaan dan pembangunan berlebihan membuat air tanah semakin sulit ditemukan atau saat ditemukan kualitasnya malah buruk.
Ia membuktikan dengan alat Total Dissolve Solid (TDS) atau untuk mengukur jumlah zat padat terlarut. Air hujan yang ditampungnya hanya senilai TDS 10 miligram per liter (mg/L). Sementara saat dia menguji air mineral dari air tanahnya, menunjukkan angka yang cukup tinggi yakni 349 mg/L. Tandanya, air tanah di daerah itu mengandung mineral di atas batas normal.
"Jadi awalnya saya menampung air hujan itu karena air tanah di Ciroyom ini jelek, mengandung besi yang sangat tinggi sampai coklat-coklat. Apalagi untuk dikonsumsi. Terlihat dari ukuran pada TDS ini kan sangat tinggi, air minum yang baik itu maksimal TDS-nya 300, air hujan itu hanya 10," ucapnya.
"Jadi ini nanti alatnya dihubungkan ke listrik, ada nano filter untuk menyaring partikel dan bakteri, lalu ultraviolet untuk membunuh virus dan sporabakteri. Jadi kalau di sini sporanya lolos, akan dibunuh di ultraviolet," lanjutnya menerangkan.
Simon mengaku, mengadopsi cara penyaringan air ini dari usaha air isi ulang. Tim detikJabar berkesempatan mencicipi air hujan yang telah difiltrasi ini. Soal rasa, tidak ada yang berbeda dengan air minum pada umumnya. Bahkan terasa lebih segar dan ringan tanpa ada rasa atau bau 'besi' seperti yang kadang kita temukan dari keran-keran air.
Simon menampung air hujan dengan empat tangki air di bawah tanah, fungsinya agar hemat tempat. Dua tangki air lainnya ada di lantai tiga yang berdekatan dengan pipa penampungan air pada bagian atap. Satu lagi ia taruh di dapur untuk keperluan mencuci dan lainnya. Jadi, total ada tujuh tangki air yang menampung hujan.
Air mengalir dari lantai tiga, ke lantai dua dan satu, terhubung dengan pipa-pipa. Simon mengaku, proses pembuatannya tidaklah rumit. Dari segi biaya yang dikeluarkan pun akan sepadan untuk air yang lebih sehat dan bersih, seumur hidup, dan tanpa batas.
"Misalnya untuk satu rumah lah satu torren atau satu kubik, kira-kira Rp1.200.000, alat pengelola air hujan (nano filter dan sinar uv) Rp1.800.000, pipa dan talang kurang lebih Rp1.000.000 jadi total Rp4.000.000 itu untuk jangka waktu yang sangat lama. Saya sudah 10 tahun aplikasikan di ruko saya," tuturnya.
Kata dia, sebetulnya jika tiap rumah memiliki toren air paling tidak 500 liter, hanya tinggal menambah keran, pipa, dan filtrasi untuk jadi air minumnya. Ada banyak manfaat yang bisa masyarakat dapatkan dari menampung air hujan ini.
"Masyarakat bisa sekali kalau mau bikin sendiri. Kalau untuk rumah itu kan nggak cukup ya toren besar jadi bisa pakai toren air 500 liter, taruhnya paling bagus di bawah (tanah/buat mini basement), pipa yang ada valve didiamkan dulu 10 menit, buang di awal (buka valve) baru kemudian ditutup untuk panen. Kemudian untuk jadi air minum gunakan alat uv dan nano filter 1 mikron, serta pipa untuk menyalurkan," ucap Simon.
Selain mampu mengolah air menjadi lebih bernilai, Simon juga ingin bisa membantu banyak orang. Apalagi di saat banyak yang sedang kesulitan air. Ditambah lagi ia bisa membantu agar wilayahnya tak kena banjir, karena hujan tidak tergenang tapi tertampung dengan baik.
"Kalau kemarau ekstrim gini nanti pasti hujannya akan ekstrim juga. Kalau semua punya pemanen air hujan pasti kan akan bermanfaat. Saat toren saya sedang penuh, saya isi sampai ke jerigen-jerigen untuk dibagikan. Nanti jerigen dikembalikan dan bisa diberikan lagi ke yang lain," tuturnya.
Beberapa tempat pun sudah ada yang mengadopsi dan membeli hasil inovasi Simon. Beberapa di antaranya yakni Universitas Bale Bandung, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Jawa Barat, SMAN 2 Padalarang, dan SD Marhamah Hasanah (Marhas).
Mengolah Sampah Sendiri
Pedoman untuk hidup sehat juga dipegang betul-betul oleh Simon. Ia tak mau sekedar hidup, tapi juga ingin membantu lingkungan dan bermanfaat bagi sekitar.
Selain mengubah hujan menjadi air layak konsumsi, Simon juga berusaha menyelesaikan sampahnya sendiri. Ia memiliki tanaman dengan pot komposter untuk membantu mengurai sampah dapur. Ini juga tentu bisa jadi solusi bagi kota Bandung yang mulai kekurangan air dan darurat sampah.
"Jadi saya meniru seperti konsep ekosistem alam. Pot ini tidak menimbulkan bau karena ada bakteri dan oksigen. Seperti di hutan, kalau kita buang sampah di hutan tidak akan bau. Tapi kalau di TPA misalnya atau lahan kosong itu tertutup, jadi ada bakteri pembusuk," katanya menunjukkan salah satu inovasinya.
"Pot ini dibuat pori bagian atas dan setengah dindingnya, kemudian ditaruh di pot beton atau pot plastik yang lebih besar. Sampah dapur dimasukkan ke sini, sisa daging mentah diberikan ke kucing, plastik dijual, kalau sampah sisa makanan dibuat biogaster itu bisa untuk bahan bakar nyalakan kompor," lanjut Simon.
Bagi Simon, tak ada alasan untuk tak peduli dengan lingkungan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk kualitas hidup yang lebih baik. Hanya saja sayangnya, ia mengaku sudah mencoba menawarkan inovasinya ke pemerintahan tapi tak mendapat respon.
"Saya itu sudah ke Dinas Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Wali Kota, dan lainnya. Tapi mereka sekedar mendengar, kemudian tidak ditindak lanjuti. Anggota dewan juga ada yang mampir, ya saya senang dan terima kasih tapi setelah itu tidak ada respon lagi," ceritanya. (aau/mso)