Jakarta -
Muhammad Syaeful Mujab tercatat sebagai alumnus S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dengan bantuan pendidikan Bidikmisi dan beasiswa Rumah Kepemimpinan. Rampung jadi sarjana, laki-laki asal Tegal, Jawa Tengah ini melanjutkan pendidikan S2 Development Studies di London School of Economics and Political Science (LSE), London, Inggris.
Mujab kecil merupakan penerima bantuan langsung tunai (BLT), bantuan pendidikan sejak SD, serta Bidikmisi saat kuliah di UI. Keluarga yang merupakan penerima bantuan-bantuan sosial pemerintah bagi Mujab mendorongnya ingin belajar lebih lanjut tentang pembangunan, dan kebijakan yang berdampak bagi setiap lapisan masyarakat.
Belajar sejak Kecil
Cerai saat Mujab di usia 4 tahun, ibu Mujab praktis jadi kepala dan tulang punggung keluarga. Saat perekonomian keluarga masih baik, Mujab kecil diikutkan les membaca di desanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil, ia sudah bisa lancar membaca sejak kelas 1 SD saat anak-anak di lingkungannya baru belajar membaca saat masuk sekolah. Kelahiran Oktober 1995 ini menuturkan, membaca dan berhitung lancar jadi fondasi kuat yang diberikan orang tuanya untuk menuntaskan masa SD dengan baik.
Meskipun dana terbatas, Mujab bercerita, ia di rumah disediakan nutrisi yang cukup. Misalnya, setiap pagi sebelum berangkat, ia dapat minum susu murni.
"Bukan kemasan. Mungkin itu berpengaruh sama aku, dari tinggi juga, nutrisi juga buat otakku," tuturnya.
Saat SMP, sang ibu memantapkan diri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Mujab kecil praktis diasuh oleh nenek. Pengalaman ini bagi Mujab terasa cukup berat, terlebih dengan stigma di lingkungan atas kondisi keluarga. Namun, ia coba menunjukkan diri sebagai sosok berprestasi sejak SD hingga SMA.
Mujab mengenang dirinya sebagai siswa SD yang amat kompetitif ketimbang berkompromi dengan teman. Namun masuk SMP, anak tunggal ini melunak saat mengenal organisasi siswa dan belajar berteman lebih lanjut.
"Sekolah di SMP-nya gratis, tetapi sebagai rintisan sekolah bertaraf internasional, ada buku-buku mahal yang harus dipunya. Nah ini saya dibantu sama-sama untuk bisa beli buku," tuturnya pada detikEdu.
Ekspektasi untuk Bekerja
Masuk SMP di SMPN 1 Adiwerna, Tegal, keluarga besar semula menyarankan Mujab masuk SMK. Harapannya, ia bisa langsung kerja setelah lulus dan bantu perekonomian keluarga.
Namun, Mujab mengutarakan keinginannya lanjut SMA pada sang Ibu. Ia berpikir, ia ingin mengejar materi SMA supaya bisa kompetitif dan masuk perguruan tinggi.
"Saya waktu itu diam-diam baca sejarah SMA. Tapi tentu sama Ibu dibicarakan. Begitu udah keterima SMA, ya sudah, akhirnya keluarga akhirnya mendukung kebutuhan masuk SMA," tuturnya.
Pembicaraan dengan keluarga besar kembali muncul ketika Mujab hendak kuliah. Salah satunya agar siswa IPA ini mengambil prodi keguruan, yang dianggap akan lebih lancar dan aman untuk lanjut kerja sebagai guru, khususnya PNS guru.
Namun, Siswa Berprestasi Kabupaten Tegal ini berminat kuliah ilmu politik, di Universitas Indonesia. Mujab menuturkan, minatnya di bidang ilmu politik muncul sejak sekitar usia 12 tahun saat menonton talk show di televisi.
Diskusi dengan pamannya juga menguatkan Mujab untuk memilih lanjut kuliah di perguruan tinggi. Pengalamannya mewakili sekolah untuk ajang kompetisi di kampus UI kelak memantapkannya untuk kuliah di sana.
"Di situ akhirnya mata terbuka, aku berkesempatan melihat teman-teman dari seluruh Indonesia. Yang sudah lebih aksesnya dari saya, sudah lebih well-spoken dari saya. Saya termotivasi kejar perbaikan diri, dan salah satu pilihan prodi saat itu di politik," tuturnya.
"Keputusan ini ditentang keluarga besar, tapi didukung sama ibu saya. Ibu saya tuh relatif banyak kebebasan kepada saya untuk menentukan masa depan. Alhamdulillah dapat belajar politik di UI," tuturnya.
Saat itu, Mujab sudah mengantongi tiket masuk Manajemen Kebijakan Publik di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, ia akhirnya memantapkan diri memilih prodi Ilmu Politik UI dengan dukungan ibunya.
"Ibu berangkat di hari pertama saya masuk SMP. Beliau nggak pernah lihat saya pakai seragam SMP. Waktu itu komunikasinya relatif jarang, karena pakai telepon. Baru ketemu fisik itu selang 6 tahun, waktu masuk UI. Aku wisuda, punya tabungan, jadi ibu pulang, lalu berangkat lagi. Sejak kerja, setiap tahun aku datang. Ibu baru benar-benar for good dari Malaysia pada 2022, karena ingin bantu keluarga," tuturnya.
Selanjutnya perkuliahan dan Abang Jakarta>>>
Memaksimalkan Perkuliahan
Di bangku kuliah, Mujab merasa tertampar untuk belajar berbahasa Inggris secara aktif. Masalah pergaulan, ekonomi, dan bahasa Inggris baginya menjadikan proses adaptasi di UI cukup Berat.
Berorganisasi di perguruan tinggi juga bagi Mujab jadi pendorong besar untuk menguatkan manajemen waktu agar tidak sia-sia sudah jauh-jauh kuliah dengan beasiswa.
"Saya punya prinsip bahwa semua kewajiban harus diselesaikan, khususnya kewajiban akademik, dan itu harus dilakukan dengan baik. Untuk tugas yang melibatkan kelompok, saya menyesuaikan waktu ke mereka. Saya pilih bagian terakhir, menjahit tugasnya. Cukup sulit, tapi ini yang saya pilih agar bisa mengatur waktu," terang Mujab.
Semasa S1, Mujab tercatat sebagai penerima bantuan pendidikan Bidikmisi dan beasiswa Rumah Kepemimpinan. Dukungan finansial dan nonfinansial ini baginya jadi pendukung untuk meningkatkan kapasitas diri.
"Di yang kedua, saya dapat tempat tinggal, uang saku, kesempatan kerja sampingan,jadi guru di salah satu sekolah di Tangerang Selatan. Mengikuti program pembinaan, pelatihan kepemimpinan, wirausaha, bedah hukum, sehingga membekali saya dengan pengetahuan.Saya pengen optimalkan diri, jadi mau nggak mau, adaptasi dengan target-target itu, dan kemudian tanggung jawabnya," tuturnya.
Menyanggupi Kesempatan
Bagi Mujab, kuliah di UI jadi turning point untuk mengikuti lebih banyak kompetisi, mengakses kesempatan, dan membuka peluang lebih luas di bidang akademik dan nonakademik. Timnya meraih juara 1 nasional kompetisi debat politik dan pemerintahan 2014 yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara ia meraih juara 3 kategori pembicara terbaik. Pada 2015, ia menjadi pemenang kompetisi debat di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa (OIM) UI sebagai perwakilan resmi FISIP UI.
Salah satu Mahasiswa Berprestasi Akademik (2016) dan Kategori Kepemimpinan (2017) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI ini juga menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2017.
"Aktif di BEM sejak semester 1, jadi ada sense of belonging. Lalu muncul peluang jadi Ketua BEM. Saya saat itu punya peluang lulus cum laude atau jadi ketua BEM. Saya pikir, orang yang lulus dengan IPK di atas 3 itu banyak banget, tetapi yang punya paket lengkap, pengalaman organisasi yang bagus, dan sebagainya itu--saya pengen berusaha untuk melengkapi diri," tutur Mujab.
"Untuk cum laude itu saya yang IPK 3,6-- minimalnya cum laude 3.5--harus lulus dalam 8 semester. Untuk jadi ketua BEM, extend sampai 9 semester. Kesempatan jadi ketua itu jarang. Jadi saya pilih pendidikan politik dan organisasi, karena melengkapi saya," imbuhnya.
Tawaran mengikuti ajang Abang-None Jakarta lalu muncul. Rampung revisi skripsi tetapi belum dapat wisuda, Mujab menyanggupi kesempatan ini dengan pertimbangan akan punya wadah kontribusi lain. Tahap screening CV, presentasi riset, wawancara, focus group discussion, dan penampilan publik mengantarkannya sebagai Abang Jakarta 2018.
Bagi Mujab, kesempatan di atas membuka network dan kemudian kesempatan-kesempatan lain yang lebih luas. Ia berkesempatan bertemu para peserta berprestasi dari luar kampus, bekerja dengan pemerintah untuk sektor pariwisata dan promosi budaya ke Korea Selatan dan Jepang.
Di samping itu, Abang-None Jakarta rupanya membuka peluang Mujab untuk melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa.
"Tidak saya rencanakan pada awalnya, tetapi saya bersyukur mengambil kesempatan itu," ucapnya.
Selanjutnya tabungan untuk S2 dan beasiswa LPDP>>>
Tabungan untuk Persiapan S2 dengan Beasiswa
Bagi peraih beasiswa LPDP ini, menyiapkan tabungan untuk keluarga yang ditinggalkan sementara ia berangkat S2 jadi salah satu fokus penting sebagai tulang punggung keluarga. Mujab menjelaskan, perkuliahan di LSE berlangsung selama 1 tahun. Ia pun menyiapkan dana untuk kebutuhan keluarga selama 12 bulan di Tanah AIr.
"Ini mungkin tidak perlu bagi anak-anak orang tua yang mampu, yang sudah punya rumah, mereka nggak harus memikirkan hal itu. Cukup persiapan S2. Apalagi yang sudah belajar bahasa Inggris. Mereka nggak perlu mempersiapkan dari awal karena sudah sepanjang hidupnya dipersiapkan untuk menjadi masyarakat global," kata Mujab.
"Dan salah satu target saya yaitu ingin membuat rumah untuk nyokap, tercapai sebelum S2. Jadi salah satu yang saya siapkan adalah tabungan. Karena saya tulang punggung keluarga," sambungnya.
Berbekal tabungan kerja dan hadiah deposito Rp 100 juta dari ajang Abang-None Jakarta, ia meniti persiapan melamar Beasiswa Afirmasi LPDP di LSE.
"Thanks to Abang Jakarta juga, saya dapat hadiah uang cukup banyak, yang akhirnya saya gunakan untuk modal persiapan IELTS, daftar beasiswa, dan kampus. Karena beasiswa LPDP semuanya gratis, tetapi langkah-langkah ke sananya tetap butuh modal. Untuk IELTS misalnya, sekitar Rp 3 juta. Menghabiskan sekitar Rp 25 juta untuk persiapan, dan itu nggak ditanggung LPDP," tuturnya.
Melamar Beasiswa Afirmasi
Sebelum lulus dari UI, Mujab salah satunya tercatat sebagai asisten tenaga ahli Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada 2018-2019. Ia juga meniti karier sebagai analis kebijakan publik di perusahaan. Lulus dari UI, Mujab tercatat sebagai Kepala Program Y20 Indonesia 2022 Official Committee bagi pemimpin muda masa depan.
Berkarier sebelum terpilih sebagai awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Afirmasi bagi Mujab membantunya membentuk kompetensi dan bicara lebih banyak hal-hal konkret di lapangan. Termasuk di dalamnya soal kepingan puzzle yang hilang, atau hal yang bisa direspons dengan solusi.
"Ini juga yang saya tulis saat mendaftar di LSE. Jadi bisa mengkontekstualisasikan teori-teori yang ada," tuturnya.
Untuk dapat Letter of Acceptance (LoA) Unconditional, ia menjelaskan bahwa adalah produk pembangunan yang mendapat bantuan pemerintah sejak kecil.
"Saya jelaskan, saya percaya bahwa pembangunan yang baik akan berdampak pada kebijakan secara struktural, bagaimana pembangunan dan kebijakan dapat berdampak pada pengetahuan dan pendidikan. Salah satunya saya belajar kebijakan sosial. Latar belakang saya sangat personal, membuat LSE melihatnya. Di jurusan saya sendiri tidak idak mewajibkan linearitas pendidikan karena multidimensional. Ekonomi, politik. Pengalaman kerja juga bisa mendukung kita relevan," tuturnya.
Selanjutnya berkarier dan langkah keluar dari kemiskinan struktural>>>
Menekuni Politik
Kini, Mujab bekerja di bidang peningkatan kapasitas tenaga kerja dan lingkungan kerja yang lebih baik. Dalam waktu dekat, ia juga berencana membuat buku tentang orang-orang underprivileged yang dapat keluar dari kemiskinan struktural.
"Langkah jangka panjangnya, saya tertarik ke politik. Saya percaya bahwa kebijakan publik, pembangunan, itu akan terdampak positif jika diukur dengan baik, direncanakan dengan baik dan tidak mengabaikan kelompok-kelompok tertentu," tuturnya.
"Saya berekspektasi bisa lebih berkontribusi untuk mengangkat orang-orang lainnya, yang mungkin tidak seberuntung saya, atau mungkin berada di kondisi saya di masa lalu, untuk bisa punya kehidupan yang lebih baik lewat kebijakan dan pembangunan yang baik. Dalam waktu tidak lama lagi, 5-10 tahun, saya ingin kerja di kebijakan publik dan politik," sambung Mujab.
Keluar dari Kemiskinan Struktural
Bagi Mujab, caranya keluar dari kemiskinan struktural bermula sejak sekolah. Di samping menguatkan pendidikan, ia juga menguatkan diri untuk berani mengambil kesempatan, membuat pilihan, dan mengasah diri agar kemampuannya mencukupi.
"Bicara anak sekolah, privilege itu disadari. Privilege bukan melulu soal anak siapa, kaya, atau lainnya, tetapi dukungan dan kebebasan yang bertanggung jawab untuk menentukan arah masa depan, menurut saya jadi satu privilege yang luar biasa--yang saya miliki," ucapnya.
Kebijakan juga baginya adalah satu exit point untuk keluar dari kemiskinan struktural. Adapun untuk meraih pendidikan tinggi lebih lanjut, baginya penting untuk menyiapkan tabungan di samping menyiapkan persyaratan akademik.
"Optimalkan kesempatan yang terbuka. Misalnya saat SMA, kendati saya bukan yang paling jago di bidang tersebut, saya akan ambil kesempatannya. Saat kesempatan itu didapat, saya akan optimalkan diri, termasuk juga saat kuliah," tuturnya yang menyanggupi kesempatan jadi MC dan pengajar paruh waktu salah satu sekolah di Tangerang Selatan ini saat masih menjadi mahasiswa.
Ia menambahkan, kendati lulus dari UI, gaji bukan indikator pertama untuk menerima atau menolak tawaran pekerjaan semasa menjadi fresh graduate. Mujab menuturkan, network dan mentor menjadi indikator utama baginya untuk menerima sebuah pekerjaan, dan keluar dari garis kemiskinan.
"Dengan IPK dan proyek yang sudah ditangani dulu, gaji pertama dulu UMR. Nggak ada salahnya kerja pertama kali nggak pakai indikator soal gaji--meskipun saya butuh uang, gimanapun kita butuh uang," tuturnya.
"Tapi saat cari kerja, indikator paling penting bagi saya adalah apakah pekerjaan tersebut memberikan network yang bagus buat saya, plus mentor yang baik untuk saya. Dua itu: network dan mentor. Kedua itu yang bantu saya ketemu jalan-jalan lainnya. Jadi indikator materi atau gaji bukan indikator utama bagi saya," jelas Mujab.
Mujab mengatakan, terlepas dari kondisi hidup, baginya, penting untuk mau meraih kesempatan dan mengasah kemampuan. Sebab, terkadang diri sendiri lupa dan membatasi kemampuan serta kemauan.
"Entah nanti jalannya berliku, saya yakin akan ketemu jalannya, ada kemampuannya. Kemampuan itu akan mengikuti kemauan. Bukan salah kita untuk lahir dengan privilege atau tidak dengan privilege. Tetapi akan jadi salah kita kalau saat meninggal nanti kita di posisi yang kurang lebih sama dengan saat lahir," pungkasnya.
Simak Video "Video: Deputi Pendidikan Kemenko PMK Pastikan Beasiswa LPDP Tak Kena Efisiensi"
[Gambas:Video 20detik]