Semasa kecil, Benny Prawira Siauw senang melihat logo University of Oxford di buku tulisnya. Harapannya, ia suatu hari nanti bisa berkuliah di sana. Mimpi masa kecil Benny sempat terkubur saat ia harus gap year 4 tahun sebelum memulai kuliah S1 di Tanah Air. Lantas, bagaimana kisahnya menjadi mahasiswa S2 Medical Anthropology, University of Oxford?
Benny menuturkan, mendefinisikan diri lewat pendidikan terbentuk semasa kecil di rumah dan sekolah. Di rumah, kedua orang tuanya yang dari keluarga menengah ke bawah bekerja keras untuk mengutamakan pendidikan dan kesehatannya. Sedangkan di sekolah, pengalaman menjadi minoritas membuatnya punya banyak pertanyaan dan ingin menjawabnya dengan mencari tahu sebanyak-banyaknya.
Belakangan, ia mendapati bahwa pertanyaan-pertanyaannya lebih terjawab secara ilmiah di ranah psikologi. Pemberitahuan bahwa ia diterima di prodi psikologi di Universitas Atma Jaya pada 2007 ditentang orang tuanya, khawatir sang anak tak dapat hidup terjamin dengan bekal pendidikan tinggi di prodi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum selesai tentangan yang ia dapat, ibu Benny jatuh sakit. Besarnya biaya rawat stroke dan obat yang harus dikeluarkan keluarga tepat sekitar masa kelulusannya dari SMK membuat Benny memutuskan untuk gap year, alias menunda kuliah.
Tetap Belajar saat Gap Year
Keinginan Benny untuk belajar psikologi tidak pupus saat ia gap year dan bekerja. Bahan bacaan psikologi di internet jadi asupannya untuk terus memperbarui pengetahuan di bidang ini.
"Aku ingat dulu ada konten mental health psikologi di website. Aku belajar banyak dari konten-konten tulisan itu. Tentunya belajarnya beda ya, tidak terstruktur apa yang harus dipelajari dulu dan cara memahaminya bagaimana, seadanya artikel saat itu. Tapi itu sedikit banyak menjawab pertanyaan di kepala, dan itu bikin puas sebetulnya," tuturnya.
"Belakangan di 2010, akhirnya mulai deh tuh ada masa-masa aku merasa sekarang orang minimal harus S1. Jadi 2007-2010 aku ngumpulin duit untuk S1, minimal aku bisa ngejar cita-citaku jadi psikolog," imbuh Benny.
Kuliah dan Komunitas Pencegahan Bunuh Diri
Berbekal bantuan uang dari kakaknya, Benny pun mantap berkuliah di S1 Psikologi Universitas Bunda Mulia pada 2011. Ia juga aktif merintis Into The Light Indonesia, komunitas orang muda untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa orang muda.
Semasa S1, Benny juga pernah menjadi relawan American Association of Suicidology, National Center for the Prevention of Youth Suicide's Youth Advisory Board. Di sana, ia menyediakan layanan konsultasi lewat berbagai proyek dan program. Di sisi lain, berdasarkan IPK di S1, ia seharusnya tak lolos syarat administratif University of Oxford. Namun, pihak kampus Oxford memberi peluang untuk tetap mendaftar asalkan dapat memberi penjelasan lebih lanjut.
"Saat S1 itu, IPK-ku drop karena ada banyak kejadian di hidup, sambil kerja juga pas S1, sebelum akhirnya aku bikin Into The Light itu. Terus pas Into The Light maju, jadi intens lagi, pas S1 jadi makin intens lagi," tutur peraih IPK S1 3,36 ini.
Benny juga mengaku bersyukur dapat dukungan para dosennya ketika melanjutkan kuliah S2 di Magister Psikologi Universitas Atma Jaya pada 2016. Kendati tak masuk Magister Psikologi Profesi dan lanjut jadi psikolog seperti cita-citanya, ia mendapati bahwa bekal pola pikir sebagai peneliti dan intervensi di level komunitas seperti yang ia galakkan di Into The Light terpenuhi di prodi S2 pilihannya. Minat dan ketekunannya mengantarkan peraih IPK S2 3,89 ini meraih cincin emas Atma Jaya, penghargaan bagi mahasiswa terbaik di angkatannya.
Lebih lanjut, para dosen S2-nya yang lulusan luar negeri bagi Benny juga menjadi inspirasi untuk meneruskan pendidikan tinggi. Sambil melanjutkan penelitian, bekerja, dan kuliah, Benny menuturkan, ia kerap diyakinkan untuk lanjut kuliah di luar negeri oleh dosennya.
Bekal Fellowship dan Teman-teman Role Model
Lepas kuliah, Benny masih berkutat di bidang kesehatan mental masyarakat. Salah satunya lewat riset tentang peningkatan literasi kesehatan mental pada anak muda dan pengaruh stigma bunuh diri atas peluang mahasiswa S1 mencari bantuan.
Kerja-kerja Benny di bidang yang ia minati ini mengantarkannya pada fellowship pertamanya, Ashoka Special Relationship 2021 sebagai Ashoka fellow yang bergengsi. Capaian ini menurutnya juga membuka pintu pada fellowship selanjutnya, antara lain Atlantic Fellows for Health Equity in Southeast Asia (Equity Initiative) 2022 dan Young Southeast Asia Leaders Initiative (YSEALI) Professional Fellow Program, Amerika Serikat 2023.
![]() |
Dukungan serta capaian teman-teman di sekitarnya bagi Benny menjadi motivasi untuk memantapkan diri lanjut studi di luar negeri. Sosok-sosok kawan ini baginya jadi role model untuk terus menuntut ilmu.
"Sekitar tahun lalu di sekeliling mulai banyak anak-anak Ivy League, dan mereka datang dari berbagai tempat. Nggak cuma anak-anak privileged, tetapi juga yang underprivileged, dan mereka bisa tembus kampus Ivy League. Ini jadi inspirasi intelektual dari fellowship itu, dan inspirasi semangat-semangatnya untuk terus belajar sejauh itu," kata Benny.
Ia mengaku, dengan semua saran dan dukungan kawan-kawannya untuk lanjut studi dan mendaftar beasiswa, masih ada rasa gamang soal kemampuannya. Namun di salah satu lokasi fellowship di Singapura, Benny yang saat itu terbentur masalah personal mendapati dirinya termotivasi dari hustle culture para warga.
Momen fellowship ini juga membuatnya mimpinya kuliah di Oxford hidup lagi. Saat itu, ia bertemu salah satu penerima beasiswa Oxford university yang baginya inspiratif dan rendah hati. "Yang diomongin riset, dan dia nanya sangat detail, jadi aku ingin kayak orang ini. Another role model yang aku bisa ambil. Saat aku lagi mempertanyakan kapasitasku dan segala macam, aku bisa melihat bahwa ada impian masa kecilku yang kulupain selama ini. Dan aku baru ingat saat ketemu sama orang ini," kata Benny.
Mendaftar Oxford dan Beasiswa Chevening
Sepulangnya dari Singapura, Benny merasa terbakar untuk mendaftar di kampus impian masa kecilnya dan beasiswa. Hanya sekitar 1 bulan sebelum Beasiswa Chevening dibuka, ia mengaku baru menyiapkan diri lewat mendaftar les IELTS dengan tutor. Sebab, skor yang disyaratkan Oxford lebih tinggi dari rata-rata kampus lainnya.
"Mockup pertamaku 65, sementara Oxford dan UCL itu 7,5 dengan semua komponen nggak ada yang boleh di bawah 7," tuturnya.
"Aku ngambil second test, nilai listening dan reading-ku naik, jadi reading mentok di 9. Writing-nya 7,5. Itu aku nggak nyangka, 7 aja udah bersyukur banget," imbuh Benny.
Sedangkan untuk personal statement, Benny tak sungkan minta tolong ditinjau oleh kawan-kawan, dosen, hingga cold hard email ke mahasiswa Oxford.
"Harus kuakui, aku punya privilese karena punya bahan yang sudah kukerjakan bertahun-tahun, portofolioku sudah dari 10 tahun lalu. Sedangkan disyaratkan minimal 2 tahun kerja" tuturnya.
"Kupikir, aku punya privilege itu, punya experience yang cukup, aku tahu yang aku pengen, aku tulis di personal statement. Aku first generation yang kuliah, orang tuaku nggak tahu aku apply ke luar negeri begitu. Jadi punya network dari experiences itu membantu banget," sambung Benny.
Mendaftar kuliah di luar negeri, Benny memantapkan diri memilih prodi Medical Anthropology. Harapannya, kajian tentang kesehatan mentalnya di tingkat global dapat dipahaminya lewat perspektif antropologi. University College London dan University of Oxford menjadi pilihannya, dan dua-duanya menerima Benny jadi mahasiswa S2-nya.
"Ketika di taraf global mental health, kebanyakan datang dari negara-negara yang sekuler. Aku menggunakan perspektifnya untuk memahami konteks lokal. Dari situlah aku kepikiran antropologi yang bisa melihat secara bottom up. Dan konteks lokalnya, memahami yang ada di sana sehingga membentuk perilaku orang-orangnya," kata Benny.
Kolaborasi Lintas Sektor
Benny berharap ke depannya bisa bekerja sama lebih lanjut untuk pencegahan bunuh diri di masyarakat. Di antaranya dengan media, perguruan tinggi, hingga Polri.
"Saya udah coba membangun satu plan bersama seorang profesor di kampus di UK, saya pengen bisa pedoman pemberitaan bunuh diri itu nanti diimplementasikan ke lintas sektor. Salah satu caranya adalah dengan diringkas lagi pedomannya menjadi semacam toolkit yang bisa dilihat poin-poinnya untuk ketika lagi mau meliput," kata Benny.
"Kita juga bisa educate sejak kuliah. Jadi, untuk kampus-kampus dengan jurusan jurnalistik, kita mulai berikan workshop-workshop khusus terkait bunuh diri. Juga ke polisi, karena wartawan dapat berita dari polisi, dalam proses bunuh diri, itu strateginya. Lebih lanjutnya nanti setelah kuliah. itu harapannya," imbuhnya.
Ia menekankan, media punya peran signifikan dalam pencegahan bunuh diri. Untuk itu, ia berharap pemberitaan dapat mengurangi stigma bunuh diri sehingga berpotensi menyelamatkan lebih banyak jiwa.
"Justru karena kalau pemberitaan bunuh dirinya stigmatis atau vulgar, itu malah justru meningkatkan risiko. Kalau kita bisa bikin itu edukasi, lebih ke edukasi, lebih mengurangi stigma itu bakalan lebih-lebih berpotensi menyelamatkan jiwa lagi orang-orang yang depresi, setidaknya nggak ke-trigger, nggak pengen meninggal juga, dan itu yang hopefully bisa dilakukan ke depannya," pungkasnya.
(twu/nwk)