Memaksimalkan Perkuliahan
Di bangku kuliah, Mujab merasa tertampar untuk belajar berbahasa Inggris secara aktif. Masalah pergaulan, ekonomi, dan bahasa Inggris baginya menjadikan proses adaptasi di UI cukup Berat.
Berorganisasi di perguruan tinggi juga bagi Mujab jadi pendorong besar untuk menguatkan manajemen waktu agar tidak sia-sia sudah jauh-jauh kuliah dengan beasiswa.
"Saya punya prinsip bahwa semua kewajiban harus diselesaikan, khususnya kewajiban akademik, dan itu harus dilakukan dengan baik. Untuk tugas yang melibatkan kelompok, saya menyesuaikan waktu ke mereka. Saya pilih bagian terakhir, menjahit tugasnya. Cukup sulit, tapi ini yang saya pilih agar bisa mengatur waktu," terang Mujab.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semasa S1, Mujab tercatat sebagai penerima bantuan pendidikan Bidikmisi dan beasiswa Rumah Kepemimpinan. Dukungan finansial dan nonfinansial ini baginya jadi pendukung untuk meningkatkan kapasitas diri.
"Di yang kedua, saya dapat tempat tinggal, uang saku, kesempatan kerja sampingan,jadi guru di salah satu sekolah di Tangerang Selatan. Mengikuti program pembinaan, pelatihan kepemimpinan, wirausaha, bedah hukum, sehingga membekali saya dengan pengetahuan.Saya pengen optimalkan diri, jadi mau nggak mau, adaptasi dengan target-target itu, dan kemudian tanggung jawabnya," tuturnya.
Menyanggupi Kesempatan
Bagi Mujab, kuliah di UI jadi turning point untuk mengikuti lebih banyak kompetisi, mengakses kesempatan, dan membuka peluang lebih luas di bidang akademik dan nonakademik. Timnya meraih juara 1 nasional kompetisi debat politik dan pemerintahan 2014 yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara ia meraih juara 3 kategori pembicara terbaik. Pada 2015, ia menjadi pemenang kompetisi debat di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa (OIM) UI sebagai perwakilan resmi FISIP UI.
Salah satu Mahasiswa Berprestasi Akademik (2016) dan Kategori Kepemimpinan (2017) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI ini juga menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2017.
"Aktif di BEM sejak semester 1, jadi ada sense of belonging. Lalu muncul peluang jadi Ketua BEM. Saya saat itu punya peluang lulus cum laude atau jadi ketua BEM. Saya pikir, orang yang lulus dengan IPK di atas 3 itu banyak banget, tetapi yang punya paket lengkap, pengalaman organisasi yang bagus, dan sebagainya itu--saya pengen berusaha untuk melengkapi diri," tutur Mujab.
"Untuk cum laude itu saya yang IPK 3,6-- minimalnya cum laude 3.5--harus lulus dalam 8 semester. Untuk jadi ketua BEM, extend sampai 9 semester. Kesempatan jadi ketua itu jarang. Jadi saya pilih pendidikan politik dan organisasi, karena melengkapi saya," imbuhnya.
Tawaran mengikuti ajang Abang-None Jakarta lalu muncul. Rampung revisi skripsi tetapi belum dapat wisuda, Mujab menyanggupi kesempatan ini dengan pertimbangan akan punya wadah kontribusi lain. Tahap screening CV, presentasi riset, wawancara, focus group discussion, dan penampilan publik mengantarkannya sebagai Abang Jakarta 2018.
Bagi Mujab, kesempatan di atas membuka network dan kemudian kesempatan-kesempatan lain yang lebih luas. Ia berkesempatan bertemu para peserta berprestasi dari luar kampus, bekerja dengan pemerintah untuk sektor pariwisata dan promosi budaya ke Korea Selatan dan Jepang.
Di samping itu, Abang-None Jakarta rupanya membuka peluang Mujab untuk melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa.
"Tidak saya rencanakan pada awalnya, tetapi saya bersyukur mengambil kesempatan itu," ucapnya.
Selanjutnya tabungan untuk S2 dan beasiswa LPDP>>>
Simak Video "Video: Deputi Pendidikan Kemenko PMK Pastikan Beasiswa LPDP Tak Kena Efisiensi"
[Gambas:Video 20detik]