Guru Besar UIN Nilai Santri Perlu Fondasi Kuat Sebelum Belajar Ke Tiongkok

ADVERTISEMENT

Guru Besar UIN Nilai Santri Perlu Fondasi Kuat Sebelum Belajar Ke Tiongkok

Mega Putra Ratya - detikEdu
Kamis, 31 Agu 2023 23:52 WIB
Forum Sinologi Indonesia
Foto: Istimewa
Jakarta -

Pengiriman santri Indonesia untuk belajar ke Cina dinilai sebuah tragedi bagi pertahanan umat Islam Indonesia. Fenomena ini disebut lebih membawa dampak negatif dari pada efek baik.

"Kita ingat bagaimana kebencian di luar kenormalan dari kaum komunis kepada para kiai dan santri. Para santri tidak melakukan apapun, tetapi karena perbedaan ideologi, mereka memperlakukan para santri dengan amat kejam. Tetapi sekarang, tiba tiba, daerah-daerah santri yang amat sangat kuat tradisinya, khususnya Jatim, sejak 2010 mulai digarap oleh Tiongkok, dengan kerja sama dengan orang kita. Para santri menjadi korban untuk pengamanan kerja sama jangka panjang Indonesia dengan Tiongkok, yang sudah memahami bahwa resistensi terkuat akan muncul dari kalangan santri," ujar Guru Besar pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Profesor. Dr. Tajul Arifin, dikutip Kamis (31/8/2023).

Prof Tajul menyampaikan itu dalam seminar bertajuk "Santri, Elit Bisnis, dan Strategi Kuasa Lunak Tiongkok," yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia di Jakarta. Menurut Prof Tajul, para kiai dan kaum santri dalam sejarah memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam membela dan mempertahankan negara dan ideologi Pancasila.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sang profesor mengakui bahwa tentu saja ada hal baik dari pengiriman pelajar santri ke Tiongkok, namun demikian bagi beliau, mudaratnya masih lebih banyak.

"Berbeda dengan pengalaman para santri studi ke Barat, di mana kebanyakan minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi mereka sudah kuat, saat ini, para santri yang berangkat ke Tiongkok kebanyakan mulai dari tamatan SMA, sehingga masih berpengetahuan dangkal dan mudah dipengaruhi" tuturnya.

ADVERTISEMENT

"Apalagi sepulang dari RRT mereka diharapkan setidaknya kembali ke daerah masing masing untuk mengajar bahasa Mandarin, mempersiapkan masyarakat lokal untuk bekerja sama dengan Tiongkok. Siapa yang paling diuntungkan? Para elit bisnis dan pemerintah Tiongkok," lanjutnya.

Ahli dalam bidang agama Islam tersebut juga mengkritisi sebuah program yang menurutnya bernama "program santri untuk perdamaian dunia".

"Program di atas memfasilitasi keberangkan santri santri yang memiliki kemampuan bahasa Mandarin ke Tiongkok. Di sana mereka dibawa ke provinsi XinJiang, di buat terpukau dengan pemandangan yang telah dipersiapkan, sehingga mereka berkata, oh ternyata Cina itu tidak seperti yang kita bayangkan. Akibatanya, tercucilah pikiran mereka oleh cara pandang Tiongkok," tuturnya.

Sementara itu Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga pemerhati Tiongkok dan Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa Tiongkok bukan hanya merangkul para santri dan komunitas muslim, tetapi juga elit bisnis, termasuk komunitas Tionghoa.

Johanes menjelaskan peran penting yang dimainkan oleh UFWD, United Front Work Department, sebuah organ di bawah Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang bertugas melakukan upaya penggalangan dan mempengaruhi berbagai pihak. Organ yang seringkali bekerja di bawah permukaan ini berupaya mempengaruhi kelompok-kelompok di luar partai dan membentuk koalisi dari berbagai kelompok untuk mewujudkan tujuan PKT.

"Melalui sistem front persatuan yang dikomandoi oleh UFWD, Tiongkok mengekspor sistem politik PKT ke luar RRC, antara lain dengan mempengaruhi partai politik negara lain, komunitas diaspora, dan perusahaan-perusahaan multi nasional," tuturnya.

Baca halaman berikutnya..

Ia menambahkan bahwa UFWD ini dikoordinasikan pada level pimpinan puncak oleh sebuah kelompok bernama "Kelompok Kecil Pemimpin Front Persatuan" yang dibentuk oleh Presiden Xi Jinping.

Johanes menjelaskan bahwa peran UFWD menjadi semakin penting seiring dengan keyakinan Xi Jinping bahwa orang-orang Tionghoa perantauan memiliki peran penting dalam proyek peremajaan bangsa Tionghoa yang ia canangkan. Oleh karenanya, peran UFWD makin diperluas dan bahkan membawai Overseas Chinese Affairs Office (OCAO) yang sebelumnya ditugasi untuk mengatur urusan Tionghoa Perantauan.

"Kini UFWD diberi tugas untuk merangkul Tionghoa perantauan dan mendorong mereka untuk menyampaikan cerita tentang Tiongkok sesuai dengan yang dikehendaki PKT, mempromosikan pandangan PKT dan negara Tiongkok di wilayah masing-masing, menjalin hubungan dengan para politisi setempat, serta mempengaruhi kebijakan sehingga dapat mempromosikan kepentingan PKC.

Johanes mengatakan bahwa sepak terjang UFWD di berbagai negara, seperti Kanada, Selandia Baru, dan Australia, telah menjadi topik yang dipelajari dan didiskusikan oleh para pemerhati Tiongkok. Namun, ia menyampaikan, "UFWD telah hadir di Indonesia, dan pernah melakukan kunjungan pada sebuah komunitas bisnis di Indonesia."

Ia mencontohkan kunjungan sebuah organisasi bernama Asosiasi Persahabatan Tionghoa Perantauan (Chinese Overseas Friendship Association) yang dipimpin oleh wakil ketuanya langsung kepada sebuah organisasi bisnis di Indonesia.

"Organisasi ini adalah organisasi yang sebenarnya terkait erat dengan UFWD mengingat sang wakil ketuanya juga merupakan salah satu wakil ketua UFWD," tuturnya.

Bukan hanya berkunjung, Johanes menuturkan bahwa mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang memperlihatkan kharakteristik UFWD. Pertama, terdapat pernyataan yang menekankan hubungan emosi antara Tionghoa Indonesia, dengan RRT. Padahal, menurutnya, etnik Tionghoa adalah bangsa Indonesia karena sudah berakar kuat dalam masayarakat Indonesia.

"Keindonesiaan etnik Tionghoa sudah final," tuturnya.

Kedua, terdapat apresiasi dan dorongan kepada komunitas Tionghoa, khususnya komunitas bisnis, untuk menjadi jembatan bagi hubungan antara RRT dan Indonesia. Dan ketiga, terdapat dorongan agar Tionghoa di Indonesia membangun rasa percaya pada perkembangan ekonomi Tiongkok dan dunia di masa mendatang, melanjutkan kepedulian dan dukungan pada reformasi di Tiongkok, dan bekerja sama untuk mempromosikan modernisasi ala Tiongkok dan pembangunan sabuk dan jalan (Belt and Road).

Menurut Johanes, pernyataan-pernyataan di atas merupakan upaya untuk menarik sebuah kelompok di Indonesia untuk mengedepankan kepentingan Tiongkok. Menurut Johanes, kehadiran UFWD harus disikapi dengan hati hati oleh masyarakat Indonesia.

"Kelompok-kelompok di Indonesia harus waspada agar tidak dijadikan alat untuk mengedapankan kepentingan negara lain," tuturnya.

Ia memuji sikap beberapa kelompok bisnis entik Tionghoa, baik generasi senior maupun muda, yang menurutnya menujukan keengganan untuk diperalat oleh Tiongkok.

Seminar dibuka dengan kata pembuka dari Prof A Dahana, mantan guru besar Universitas Indonesia yang juga pendiri dari FSI. Dahana mengajak semua peserta untuk mendiskusikan Tiongkok dengan pikiran terbuka namun kritis.

"Mari berdiskusi bukan dengan pemikiran yang terlanjur diisi oleh kebencian, maupun pikiran yang terlanjur diisi dengan pemujaan berlebihan terhadap negara dan masyarakat Tiongkok," tuturnya.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads