Pengiriman santri Indonesia untuk belajar ke Cina dinilai sebuah tragedi bagi pertahanan umat Islam Indonesia. Fenomena ini disebut lebih membawa dampak negatif dari pada efek baik.
"Kita ingat bagaimana kebencian di luar kenormalan dari kaum komunis kepada para kiai dan santri. Para santri tidak melakukan apapun, tetapi karena perbedaan ideologi, mereka memperlakukan para santri dengan amat kejam. Tetapi sekarang, tiba tiba, daerah-daerah santri yang amat sangat kuat tradisinya, khususnya Jatim, sejak 2010 mulai digarap oleh Tiongkok, dengan kerja sama dengan orang kita. Para santri menjadi korban untuk pengamanan kerja sama jangka panjang Indonesia dengan Tiongkok, yang sudah memahami bahwa resistensi terkuat akan muncul dari kalangan santri," ujar Guru Besar pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Profesor. Dr. Tajul Arifin, dikutip Kamis (31/8/2023).
Prof Tajul menyampaikan itu dalam seminar bertajuk "Santri, Elit Bisnis, dan Strategi Kuasa Lunak Tiongkok," yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia di Jakarta. Menurut Prof Tajul, para kiai dan kaum santri dalam sejarah memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam membela dan mempertahankan negara dan ideologi Pancasila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sang profesor mengakui bahwa tentu saja ada hal baik dari pengiriman pelajar santri ke Tiongkok, namun demikian bagi beliau, mudaratnya masih lebih banyak.
"Berbeda dengan pengalaman para santri studi ke Barat, di mana kebanyakan minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi mereka sudah kuat, saat ini, para santri yang berangkat ke Tiongkok kebanyakan mulai dari tamatan SMA, sehingga masih berpengetahuan dangkal dan mudah dipengaruhi" tuturnya.
"Apalagi sepulang dari RRT mereka diharapkan setidaknya kembali ke daerah masing masing untuk mengajar bahasa Mandarin, mempersiapkan masyarakat lokal untuk bekerja sama dengan Tiongkok. Siapa yang paling diuntungkan? Para elit bisnis dan pemerintah Tiongkok," lanjutnya.
Ahli dalam bidang agama Islam tersebut juga mengkritisi sebuah program yang menurutnya bernama "program santri untuk perdamaian dunia".
"Program di atas memfasilitasi keberangkan santri santri yang memiliki kemampuan bahasa Mandarin ke Tiongkok. Di sana mereka dibawa ke provinsi XinJiang, di buat terpukau dengan pemandangan yang telah dipersiapkan, sehingga mereka berkata, oh ternyata Cina itu tidak seperti yang kita bayangkan. Akibatanya, tercucilah pikiran mereka oleh cara pandang Tiongkok," tuturnya.
Sementara itu Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga pemerhati Tiongkok dan Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa Tiongkok bukan hanya merangkul para santri dan komunitas muslim, tetapi juga elit bisnis, termasuk komunitas Tionghoa.
Johanes menjelaskan peran penting yang dimainkan oleh UFWD, United Front Work Department, sebuah organ di bawah Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang bertugas melakukan upaya penggalangan dan mempengaruhi berbagai pihak. Organ yang seringkali bekerja di bawah permukaan ini berupaya mempengaruhi kelompok-kelompok di luar partai dan membentuk koalisi dari berbagai kelompok untuk mewujudkan tujuan PKT.
"Melalui sistem front persatuan yang dikomandoi oleh UFWD, Tiongkok mengekspor sistem politik PKT ke luar RRC, antara lain dengan mempengaruhi partai politik negara lain, komunitas diaspora, dan perusahaan-perusahaan multi nasional," tuturnya.
Baca halaman berikutnya..