Saat Anak Bekasi Meraih Asa Jadi Peneliti Muda Kelas Dunia

ADVERTISEMENT

Saat Anak Bekasi Meraih Asa Jadi Peneliti Muda Kelas Dunia

Fahri Zulfikar - detikEdu
Selasa, 15 Agu 2023 18:59 WIB
Amando Lasabuda saat di Laut Arktik
Foto: Doc. Amando Lasabuda via WhatsApp
Jakarta -

Amando Lasabuda adalah satu dari ratusan ribu pemuda yang tumbuh dan besar di Bekasi. Ia menjadi pemuda yang berusaha meraih asa hingga akhirnya bisa meraih dana riset internasional dari program riset Uni Eropa.

Amando, sapaan akrabnya, lahir dengan keluarga yang melek pendidikan. Orang tuanya adalah pensiunan profesional di swasta yang memberi iklim suportif kepada anak-anaknya di bidang pendidikan.

Adik laki-laki Amando yang bernama Rizky Lasabuda, merupakan lulusan S1 dan S2 di Belanda dan saat ini sedang sekolah S3 bidang biologi di Bilbao, Spanyol dengan beasiswa penuh pemerintah Spanyol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adik perempuannya, Amirah Lasabuda merupakan lulusan S1 Universitas Indonesia dan S2 dari Turki di bidang arsitektur.

Sementara dirinya, lulusan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB), S2 di UiB (University of Bergen, Norway), dan S3 di UiT (University of TromsΓΈ, Norway).

ADVERTISEMENT


Meninggalkan Zona Nyaman Sejak SMA

Meski Amando lahir di Jakarta, namun ia tumbuh dan besar di Bekasi. Ia menamatkan pendidikan TK-SD-SMP di Al-Azhar Jakapermai, Bekasi.

Masa-masa kemandiriannya kemudian diuji saat ia memasuki jenjang SMA. Amando mulai keluar dari zona nyaman setelah dari kecil hidup di lingkungan dekat rumah dan bersama orang tua.

Selepas menamatkan SMP di Bekasi, ia memutuskan meneruskan jenjang SMA di SMAN 3 Bandung.

"Zaman saya baru pertama kali masuk SMA, saya rasa itu adalah fasa kemandirian saya benar-benar diuji. Jauh dari orang tua dan harus survive sendiri di kota baru, lingkungan baru, dan sistem sekolah yang baru," ungkapnya kepada detikEdu, Minggu (13/8/2023).

Ia mengaku mengalami kekagetan budaya saat transisi dari sekolah swasta (dari TK-SMP) ke sekolah negeri. Ia beradaptasi dan mulai mempelajari hal baru tentang fasilitas pendidikan, latar belakang sosial, dan tempat tinggal yang berbeda.

"Saat mulai jenjang SMA saya pun memulai hidup di kos-kosan, meninggalkan kehidupan 'settle' atau zona nyaman saya di Bekasi/Jakarta," tukasnya.

Berlabuh ke Eropa, Lanjut Studi S2-S3

Pengalaman kemandiriannya yang berharga terus dipupuk dan studinya terus berlanjut. Selepas lulus SMA tahun 2006, Amando kemudian meneruskan pendidikannya di Bandung. Ia berhasil masuk ke jurusan S1 Teknik Geofisika di Institut Teknologi Bandung.

Setelah lulus dari ITB, ia berlabuh ke Eropa. Ia diterima di University of Bergen, Norwegia untuk jenjang S2 & jenjang S3 di University of TromsΓΈ, Norwegia dengan dibiayai pemerintah di sana.

Mulai dari sini, perjalanan meraih asa menjadi peneliti dunia pun mulai tertanam di kepalanya. Namun, lagi-lagi, proses ini dikatakannya bukan hal yang mudah. Terlebih ia harus berjuang di negara baru yang sama sekali berbeda dengan Bekasi ataupun Bandung.

"Pertama kali pindah ke luar negeri bukanlah sesuatu hal yang mudah. Karena saya waktu sekolah S2 bukan lewat jalur beasiswa, saya harus hidup secara pas-pasan. Saya tinggal di student accommodation (student housing) yang disediakan kampus," ucapnya saat bercerita masa-masa awal tinggal di Norwegia.

Bahkan untuk menambah pemasukan guna hidup di Norwegia yang terkenal dengan living cost yang tinggi alias serba mahal, ia kemudian kuliah sambil mencari pekerjaan sampingan.

"Tentu saja saya tidak mampu makan di restoran setiap akhir pekan atau bergaya hidup mewah. Beberapa kawan saya sesama orang Indonesia ada yang bekerja sampingan sebagai tukang ikan di pasar ikan (fish market) atau menjadi tukang koran yang mengantar koran ke rumah-rumah," ungkap Amando.

"Saya Alhamdulillah mendapat pekerjaan sampingan menjadi asisten dosen di kampus sehingga mendapat tambahan uang saku untuk hidup," imbuhnya.

Menang Dana Riset Uni Eropa Senilai Total 4,2 T

Pengalamannya di Eropa terus mendukung Amando dalam meraih asa. Setelah mendapatkan S3, ia berjuang dan melakukan riset di bidang geologi. Salah satunya mengikuti Marie-Sklodowska Curie Actions (MSCA) yakni program dari Uni Eropa yang terkenal bergengsi dan diperebutkan ilmuwan muda di seluruh dunia.

Program ini mendukung riset and inovasi yang dilakukan oleh peneliti muda (maksimum 8 tahun post-PhD) yang memiliki potensial untuk mendapatkan skills baru melalui advanced training serta internasional dan interdisciplinary mobility.

MSCA juga dikenal sebagai program dana riset akademisi eropa dan dunia dengan rasio kesuksesan yang sangat kecil. Amando pun sempat merasakan gagal di tahun pertama pendaftarannya.

Tapi, pada akhirnya berhasil menang dana riset ini di tahun kedua ia mendaftar. Amando menjadi salah satu dari 1.235 pemenang tahun 2023 yang berhasil terpilih dari total 7.044 proposal penelitian yang masuk.

Persaingan yang sangat ketat dengan rasio sukses hanya 17,5 % ini memperebutkan dana riset dengan jumlah total 257 juta Euro atau sekitar Rp 4,2 triliun.

"Meskipun di tahun pertama saya gagal, saya tidak menyerah dan mencoba lagi di tahun ke dua dan Alhamdulillah berhasil mendapatkan dana penelitian MSCA ini," paparnya.

Melalui penelitian bertajuk BRAVO yang didanai MSCA ini, Amando akan memetakan pemodelan penampang geologi masa lampau di Laut Barents, Arktik, Norwegia.

Area Laut Barents ini merupakan area strategis yang saat ini menghubungkan Samudera Atlantik dan Samudera Arktik. Akan tetapi, tidak tahu pasti kapan koneksi ini terbentuk.

Koneksi (dalam bentuk 'seaway') ini sangat penting sebagai jalur sirkulasi air laut yang mentransfer panas dan kelembapan sebagai bagian dari jalur sirkulasi global antar samudera.

"Hal ini juga terkait dengan topik climate change. Seberapa besar perubahan iklim di masa lampau juga akan bergantung dari rekonstruksi BRAVO ini. Pentingnya mempelajari iklim masa lampau adalah sebagai trend untuk proyeksi iklim masa depan," terang Amando.

Harus Ada Lebih Banyak Pemuda Indonesia yang Mendunia

Melalui proyek riset BRAVO ini, Amando juga ingin memperdalam ilmu dan keahlian di bidang pemodelan geologi di The University of Sydney (Australia) dan University of Oslo (Norwegia).

Harapannya, ilmu yang dia miliki bisa memberi sumbangsih keilmuan di Indonesia. Terlebih menurutnya, Indonesia terletak di area strategis yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Tentunya pendekatan BRAVO bisa diaplikasikan di wilayah Indonesia dan akan memiliki impact yang signifikan dan bersifat global.

"Topik riset ini ingin saya lakukan jikalau kelak saya kembali ke tanah air. Di era 'Energy Transition' ini, skills dan background saya juga bisa diaplikasikan di Indonesia, misalnya yang berkaitan dengan CCS (Carbon Capture and Storage) dan karakterisasi seabed untuk pondasi 'wind turbines'," ujar Amando.

"Saya bermimpi untuk mempercepat proses Energy Transition di Indonesia sehingga memperkecil gap ketertinggalan dengan negara-negara maju, seperti Norwegia tempat saya berdomisili saat ini sejak 12 tahun lalu," tambahnya kemudian.

Ia juga berharap akan ada lebih banyak pelajar-pelajar, peneliti-peneliti dan profesional-profesional Indonesia di luar negeri.

Terlebih dengan adanya bonus demografi 2045, perlu mempersiapkan kualitas SDM Indonesia yang handal, berskil tinggi, dan bermental baja.

"Saya berpesan kepada adik-adik yang masih sekolah dan di jenjang universitas untuk terus mengejar mimpinya sampai ke luar negeri. Persiapkan mimpi itu dengan disiplin tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Buat jadwal jam-ke-jam setiap harinya. Bayangkan proses ini adalah proses lari marathon, bukan lari sprint! Siapkan strategi pengembangan diri jangka panjang untuk bisa ke luar negeri, seperti mempertinggi level bahasa Inggris sebagai bahasa universal dunia. Alangkah lebih baiknya ditambah dengan bahasa tambahan sesuai dengan negara idaman adik-adik, misalkan Jepang, Jerman atau Perancis," pesannya.

Tak lupa ia juga terus mendukung diaspora-diaspora lain untuk selalu menjaga nama baik bangsa dengan memberikan hasil kerja atau studi yang terbaik.

Terutama, tentang mental yang kuat, jangan gampang mengeluh, menyerah dan putus studi/kontrak kerja di tengah jalan. Sebab, hal itu bisa berdampak buruk secara agregat untuk "national branding" Indonesia ke depan.

"Kita harus bisa membangun image pelajar-pelajar dan pekerja-pekerja Indonesia yang pekerja keras (gigih), high-skilled dan memiliki mental 'get-the-job-done'. Sebagaimana national branding negara lain seperti the Phillipines yang terkenal fasih berbahasa Inggris dan ulet, atau India yang terkenal akan skill-nya di bidang teknologi informasi dan berani mengutarakan pendapat," tutur peneliti muda berdarah Manado dan Batak tersebut.




(faz/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads