Detikers tentu mengenal merek perlengkapan outdoor, Eiger, bukan? Apakah kalian mengetahui siapa sosok yang membangun produk tersohor tersebut?
Dialah Ronny Lukito, pria kelahiran Bandung, 15 Januari 1962. Ronny membangun bisnis besar itu dari dua mesin jahit dan membuatnya berkembang menjadi sebesar sekarang.
Namun, di balik kisah suksesnya, rupanya Ronny tak cukup beruntung soal pendidikan. Dia menutup cita-citanya untuk sekolah tinggi karena terkendala biaya. Seperti apa kisahnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tamatan STM yang Biasa Berjualan Susu
Ronny muda yang tinggal di Bandung bukan berasal dari kalangan berada. Diceritakan dalam buku 10 Pengusaha yang Sukses Membangun Bisnis dari 0 oleh Sudarmadi, pasca tamat STM (Sekolah Teknologi Menengah) penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007, dia terpaksa menutup cita-cita melanjutkan kuliah karena ketiadaan uang. Padahal, dia telah lama memimpikan bisa kuliah di Itenas (Institut Teknologi Nasional) Bandung.
Sejak sekolah di STM, Ronny biasa berjualan susu yang dibungkus dalam plastik kecil dan diikat dengan karet. Susu-susu tersebut kemudian disetor ke rumah-rumah tetangga sambil mengendarai sepeda motor.
Anak ketiga dari enam bersaudara ini adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Orang tuanya, Lukman Lukito dan Kumiasih, memiliki toko kecil di Jl. ABC nomor 3.
"Saya masih ingat pada waktu itu orang tua saya punya toko kecil berukuran 2,5 x 14 m. Toko tersebut diberi nama Nam Lung, khusus menjual tas. Itu satu-satunya toko di Kota Bandung yang khusus menjual tas," ujarnya.
Tak Pernah Terpikir Menjadi Pengusaha
Semasa remaja, pemilik Eiger ini tak terbesit pikiran menjadi pengusaha. Demikian pun ayahnya tak pernah mengarahkannya menggeluti profesi tersebut.
Kendati begitu, setamat STM dia perlu berpikir realistis saat melihat kondisi finansial keluarga. Ronny memprioritaskan membantu orang tuanya berjualan. Terlebih, tokonya pun bukan yang skala besar dan laku keras.
Menyadari posisi sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, Ronny pun bertekad meneruskan usaha keluarga di bidang tas. Dia pun terus belajar cara membuat tas, tak terkecuali menjahit dan membuat pola.
"Jujur saja, saya ini termasuk tipe orang dominan. Saya maunya dilepas. Diberi kebebasan. Saya ingin mengembangkan ide-ide kreatif saya sendiri," ungkapnya. Atas dasar inilah dia pun memutuskan menjalankan bisnis tas sendiri.
Kuncinya Mau Belajar dan Mengembangkan Diri
Ronny mengakui bahwa dirinya adalah orang yang mau belajar. Kebiasaan yang mendorongnya menjadi seorang pengusaha adalah kemampuan untuk belajar dan mengembangkan diri.
Ronny tak merasa malu atau gengsi bertanya jika memang ada yang tidak diketahuinya. Dia bersedia bertanya kepada siapa pun dan dengan cara itulah dirinya mampu berkembang.
Salah satu sikap mau belajarnya adalah ketika Ronny menggunakan jasa konsultan pada 1983. Saat itu, Ronny masih awal dalam dunia usaha, sehingga dia menggunakan jasa seorang konsultan yang dipanggil sebagai 'Mas Adi'. Sosok konsultan tersebut adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi UNPAD yang selanjutnya lulus cumlaude.
Selain belajar dari Mas Adi, Ronny juga mengambil kursus pembukuan Bon A dan Bon B. Dia ikut kursus di lembaga belajar manajemen keuangan di Jalan Siliwangi, Bandung.
Ronny pun aktif menghadiri seminar dan membaca buku-buku yang relevan. Dengan segala cara ini, Ronny merasa pelan-pelan bisa mengejar ketertinggalan karena pendidikan formalnya terbatas.
"Ini saya lakukan karena saya sadar betapa kurangnya pengetahuan yang saya miliki," ucapnya.
Tak berhenti hanya belajar secara teori, Ronny juga sering terjun ke lapangan dan bergaul dengan para pedagang, pemilik toko tas, dan grosir. Dari sana, dia mengetahui tas jenis apa yang lebih laku, kemauan pembeli, tren pasar, dan lain sebagainya.
Membicarakan soal merek Eiger sendiri, mengutip dari CNBC, merek dagang tersebut lahir pada 1993 dan diambil dari salah satu nama gunung yang ada di Swiss.
Nah, itulah cerita di balik mastermind Eiger. Apa yang bisa detikers pelajari dari kisahnya?
(nah/lus)