Kiai kerap dihormati oleh umat muslim di Indonesia. Dinilai miliki ilmu agama yang tinggi, masyarakat senang berkunjung kepada Kiai untuk sekadar meminta saran maupun doa. Selepas berkunjung atau 'sowan', orang-orang biasanya akan memberi amplop sebagai tanda terima kasih kepada Kiai. Bagaimana kalau Kiai yang dikunjungi malah 'mengamplopi' tamu undangannya?
Kiai itu bernama Kiai Asep Saifuddin Chalim. Dikisahkan dalam buku berjudul Kiai Miliarder tapi Dermawan, setiap hari Kiai Asep memulai aktifitas pukul 3 dini hari di Masjid Raya Kiai Abdul Chalim Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto. Ia akan membimbing santri untuk salat malam. Kadang dilengkapi dengan kegiatan mengobrak santri yang terkantuk-kantuk.
Seusai salat malam yang dilanjutkan dengan salat subuh, Kiai Asep akan kembali ke kediamannya. Bukannya langsung beristirahat, Kiai Asep sudah ditunggu oleh para tamu di teras rumah. Mereka berebutan untuk mencium tangan Kiai Asep, sebelum sang empu rumah mengajak mereka masuk dan menyiapkan sarapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kiai Asep memang selalu sarapan bersama para tamu. Seusai makan bersama, ia akan memberikan sarung dan kain kepada para tamu. Tak lupa 'mengamplopi' mereka satu-persatu. Itulah rutinitas anak dari salah satu pendiri NU itu. Setiap hari, ia hidup untuk bersedekah. Inilah kisah hidup Kiai Asep dalam buku Kiai Miliader Tapi Dermawan.
Kemurahan hatinya berbagi datang dari niat yang tulus dan pemasukan yang memang banyak. Kiai Asep adalah pemilik pesantren terkenal yaitu Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Surabaya dan Mojokerto. Total santri dari dua pesantren itu hingga 12.000 santri aktif. Dari bisnis yang ia kelola, Kiai Asep bisa mendapatkan pendapatan Rp 9 Miliar setiap bulannya.
Kiai Asep percaya, rezeki tidak pernah berkurang jika disedekahkan. Setiap berpergian, Kiai Asep akan selalu membawa tas besar. Isinya? uang berjumlah ratusan juta rupiah. Semua uang itu ia habiskan untuk memberi orang-orang yang ia temui. Sering kali ia tetap merasa kurang dalam memberi. Pribadinya yang ringan tangan tercermin dalam perilakunya sehari-hari.
Awal mula hidup Kiai Asep tidak begitu mulus. Ia adalah anak dari salah satu pendiri NU, Kiai Haji Abdul Chalim. Dalam didikan abahnya, Kiai Asep bersekolah di SMA sekaligus pesantren. Namun naas, Kiai Asep harus menerima kepergian abahnya di usia 16 tahun. Kepergiaan KH Abdul Chalim tak hanya meninggalkan luka yang mendalam, namun kenyataan pahit tak bisa melanjutkan sekolah.
Asep remaja terpaksa meninggalkan sekolahnya dan hanya mengikuti pendidikan di pesantren. Tak punya uang untuk membeli makanan, ia sampai harus mengais nasi-nasi kering dari tungku yang sudah digunakan. Meski putus asa, semangat juangnya tetap bertahan. Asep remaja menyambi kerja menjadi kuli bangunan.
Selepas lulus dari pesantren, ia pun menjadi guru honorer di beberapa sekolah. Gajinya tak seberapa, hanya Rp 50 perak sekali ngajar. Tak cukup dirudung kemiskinan, Kiai Asep juga dirudung patah hati. Hingga tiga kali, ia ditolak oleh gadis yang ia lamar karena hanya seorang guru. Maklum, dahulu gaji guru dianggap tidak seberapa dengan pekerjaan lainnya.
Sampai bertemu dengan Nyai Haji Alif Fadilah. Mereka menikah saat Kiai Asep berusia 27 tahun dan Nyai Alif Fadilah berusia 15 tahun. Namun tidak langsung tinggal serumah, Kiai Asep memasukkan Nyai Alif Fadilah terlebih dahulu ke Madrasah Aliyah NU Sidoarjo. Bertahun-tahun merintis usaha bersama, kini total omset suami istri tersebut adalah Rp 13 Miliar perbulannya. Pasangan berbeda usia 12 tahun ini juga dikaruniai 9 orang anak yang melanjutkan pendidikan tinggi, bahkan ada yang menjadi dokter.
Usaha Kiai Asep memang berfokus pada bidang pendidikan keagamaan, tapi Kiai Asep tetap memikirka n pentingnya ilmu sains dan karakter. Dalam Pesantren Amanatul Ummah, para santri dididik agar memiliki karakter takwa dan giat belajar. Hasilnya, banyak lulusan Pesantren Amanatul Ummah yang diterima di perguruan tinggi top Indonesia. Tak jarang, para alumni juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Mesir, Maroko, Rusia, dan masih banyak negara lainnya.
Pribadinya yang gigih dan bercita-cita tinggi, Kiai Asep merasa bisa berbuat lebih. Ia akhirnya mendirikan perguruan tinggi internasional yang akan memberikan beasiswa pada mahasiswanya. Namun untuk menjadi seorang pendiri perguruan tinggi di Indonesia, dibutuhkan gelar doktor atau guru besar. Menyanggupi, Kiai Asep akhirnya menempuh pendidikan hingga jenjang doktoral dan mendapat gelar Guru Besar Sosiologi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Uniknya, pengukuhan guru besar ini adalah pengukuhan satu-satunya yang dihadiri oleh Presiden Indonesia. Saat itu, Presiden Jokowi sampai hadir di pengukuhan Kiai Asep. Selain Presiden, pengukuhan itu dihadiri oleh kurang lebih 1.300 orang dan 1.200 orang dari kalangan pejabat. Salah satunya hadir mantan Menteri BUMN dan wartawan terkenal, Dahlan Iskan.
Setelah pengukuhannya pada 2020 lalu, Kiai Asep seperti terus mendulang kekaguman dari masyarakat. Ia berkali-kali terjun langsung dalam penanganan COVID-19. Mulai dari membagikan sembako kepada ojek online, tenaga kesehatan, maupun pelaku usaha, hingga ikut menertibkan masyarakat pada saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Ia juga memperjuangkan vaksin halal di Indonesia.
Sepak terjangnya tak membuat Kiai Asep besar diri. Ia masih senang membawa tas berisi uang untuk bersedekah serta membagikan sarung kepada orang-orang yang bertamu di rumahnya. Buku setebal 424 halaman karya Mas'ud Adnan ini mengemas secara apik perjalanan serta prestasi Kiai Asep.
Judul Buku: Kiai Miliader Tapi Dermawan
Penulis: M Mas'ud Adnan
Penerbit: PT Duta Bangsa Intermedia Pres, Agustus 2022
Tebal: 424 halaman
(nir/erd)