Buya Syafii Maarif, Anak Panah Muhammadiyah yang Jadi Guru di Daerah Terpencil

ADVERTISEMENT

Buya Syafii Maarif, Anak Panah Muhammadiyah yang Jadi Guru di Daerah Terpencil

Anatasia Anjani - detikEdu
Sabtu, 28 Mei 2022 08:00 WIB
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta menerima bantuan untuk pembanguna kampusnya. Donasi dari Sinar Mas Grup diterima oleh Buya Syafii Maarif.
Buya Syafii Maarif. Foto: Istimewa
Jakarta -

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif wafat di Yogyakarta, Jumat (27/5/2022). Presiden Joko Widodo yang datang secara khusus ke Yogyakarta untuk melayat, mengungkapkan Buya Syafii Maarif adalah seorang guru bangsa.

Buya Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat (Sumbar) pada 31 Maret 1935. Daerah kelahiran Buya disebut sebagai Makkah Darat.

Kisah Buya Saat Menjadi Guru

Dari Sumpur Kudus, Buya Syafii Maarif merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Mualimin. Buya aktif mengikuti organisasi Hizbul Wathan yang mirip dengan Pramuka. Buya juga pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam autobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku, Buya Syafii Maarif menceritakan perjalanannya menjadi guru di desa terpencil di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

"Sebelum aku tamat belajar di Mualimin Yogyakarta, datanglah konsul Muhammadiyah dari Lombok mencari seorang guru untuk bertugas di Pohgading, Pringgabaya, Lombok Timur. Konsul itu adalah H. Harist, tamatan Darul Hadist Mekkah," tulisnya.

ADVERTISEMENT

Buya Syafii mengaku tak tahu alasan konsul dari NTB itu mencari alumnus Mualimin asal Sumbar. Karena hanya dirinya yang sesuai dengan kriteria tersebut, Syafii berangkat ke Pohgading usai menamatkan sekolahnya dalam usia 21 tahun.

"Sebagai anak panah Muhammadiyah (begitu kami dijuluki pada waktu itu) tidak lama setelah aku tamat, berangkatlah aku ke Lombok sendirian dalam usia 21 tahun," tuturnya. "Tamatan jurusan A banyak yang bertebaran ke berbagai sudut Tanah Air, menjadi guru dan mubaligh Muhammadiyah."

Berbekal uang pas-pasan, ia berangkat dari Stasiun Tugu, Jogja menuju Surabaya. Menginap semalam di kantor Muhammadiyah, Surabaya lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal laut menuju Mataram.

Buya Syafii sempat menumpang semalam di rumah tokoh Muhammadiyah Mataram sebelum melanjutkan perjalanan ke Pohgading yang terletak di pantai timur Pulau Lombok. "Aku ditempatkan di kampung Batuyang, di rumah Pak Subki, adik kandung H. Harist yang juga sebagai kepala desa," ujarnya.

Di desa itu, Buya Syafii mengajar di PGA Muhammadiyah Pohgading sebagai guru agama dan pelajaran umum. Sekolah ini terletak di pinggir sungai. Buya Syafii mengabdi di desa itu sebagai "anak panah Muhammadiyah" selama satu tahun. Maret 1957 ia memutuskan kembali ke Sumbar.

Kisah Buya Syafii saat menjadi guru terdapat dalam novel Si Anak Panah dan film Si Anak Kampoeng. Dalam kedua media tersebut, Buya digambarkan sebagai sosok pejuang pluralisme.

Alasan Tak Terjun ke Politik

Melansir dari Buku Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama karya St Sularto, Buya enggan terjun ke politik, alasannya usianya yang sudah terlalu tua. Selain itu ia juga melindungi Muhammadiyah agar tidak terseret dan menjelma menjadi partai politik.

Namun alasan utamanya yaitu adalah kecintaannya kepada organisasi sosial keagamaan sehingga ia sering disebut sebagai anak panah Muhammadiyah. Buya lebih senang memberikan pencerahan mengenai kehidupan.

Buya mampu mengubah citra dan karakter Muhammadiyah menjadi damai, moderat, toleran, dan rumah bersama. Buya Syafii juga menjadi perintis gerakan pluralisme, antikorupsi, pemerintahan yang bersih, dan demokratisasi.

Buya juga merupakan sosok yang aktif menulis buku. Doktor ilmu sejarah lulusan Universitas Chicago tersebut juga mendirikan Lembaga Maarif Institute.

Selanjutnya karier akademis Buya Syafii>>>

Karier Akademis Buya Syafii Maarif

Mengutip dari detikNews, berikut rekam jejak karier akademis Buya Syafii:

1. Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963)

2. Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964)

3. Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969)

4. Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969)

5. Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972)

6. Asisten dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972)

7. Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976)

8. Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990)

9. Profesor tamu di University of Lowa, AS (1986)

10. Dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga, Yogyakarta (1984-1990)

11. Dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990)

12. Dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990)

13. Dosen Senior (Pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)

14. Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1992-1993)

15. Professor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994)

16. Professor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996)

17. Wakil ketua PP Muhammadiyah (1995-1998)

18. Ketua PP Muhammadiyah (1998)

Buya Syafii pernah meraih beberapa gelar, di antaranya:

1. Gelar MA dalam ilmu sejarah di Ohio University, Athens, Amerika Serikat (1980)

2. Gelar PhD dalam bidang pemikiran Islam

3. Penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina (2008).

Demikianlah perjalanan Buya Syafii. Sungguh menginspirasi ya detikers.



Simak Video "Video: Menag Sebut Lebaran Muhammadiyah & NU 2025 Berpotensi Sama"
[Gambas:Video 20detik]

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads