Nama Kelimutu merupakan nama salah satu gunung yang ada di Kabupaten Ende, Flores Nusa Tenggara Timur. Gunung Kelimutu yang memiliki ketinggian 1.690 mdpl, lebih dikenal luas karena memiliki tiga kawah berupa danau berwarna yang warnanya selalu berganti tanpa menunjukkan tanda-tanda atau gejala alam sebelumnya.
Ketiga kawah tersebut adalah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, Tiwu Ata Mbupu, dan Tiwu Ata Polo. Tiwu dalam bahasa Ende Lio artinya danau. Di bulan Oktober 2021, warna Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Ata Mbupu adalah hijau tosca sedangkan Tiwu Ata Polo berwarna hitam. Saat kami berkunjung, volume air danau pada Tiwu Ata Polo berkurang. Penyebabnya masih belum diketahui secara jelas.
Pada tugu puncak Danau Kelimutu, terdapat 3 relief yang sengaja di buat untuk menggambarkan flora, fauna, dan kehidupan sosial masyarakat Ende. Relief pertama pada tugu puncak Kelimutu, memberikan gambaran keadaan alam danau tiga warna, tumbuhan dan hewan yang memiliki arti yang penting bagi masyarakat Ende.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Hewan yang akan sering kita jumpai saat berada di sekitaran danau kelimutu adalah Macaca fascicularis sejenis monyet dengan ekor panjang, berbagai macam burung, berbagai macam serangga. Hewan-hewan tersebut dengan mudah kita jumpai saat perjalanan menuju tugu puncak Danau Kelimutu.
Macaca fascicularis akan menemani pengunjung yang sedang beristirahat melepas lelah setelah menaiki anak tangga. Anak tangga ini jumlahnya belum diketahui secara pasti. Setiap pengunjung yang datang berusaha menghitung. Uniknya tiap orang jumlahnya tidak akan sama.
Macaca fascicularis yang kita temui selama perjalanan juga telah mengalami sedikit perubahan perilaku. Mereka lebih menyenangi makanan seperti kue, biscuit, dan minuman bersoda. Penyebab hal ini kemungkinan pengunjung yang sering memberi makan Macaca fascicularis tersebut dengan bekal makanan yang biasa dibawa. Suara plastik bisa membuat mereka mendekat.
Adapun beberapa hewan lain di relief tersebut seperti babi dan ayam memiliki arti penting bagi masyarakat Ende. Kedua hewan ini dimanfaatkan untuk upacara adat.
Sementara flora yang akan kita jumpai selama perjalanan menuju puncak danau Kelimutu adalah pohon cemara (Casuarina equisetifolia), edelweis (Anthocephalus cadamba), kesambi (Schleichera oleosa), kesi (Canarium sp.), kodal (Diospyros ferra), sita (Alstonis scholaris).
Ada juga Cemara gunung atau Bu (Casuarina junghuniana), Rhododendron renschianum/Fam: Ericaceae/"turuwara", Begonia kelimutuensis yang merupakan flora endemik Kelimutu dan masih banyak lagi yang lainnya.
![]() |
Relief dari tugu Kelimutu berikutnya adalah menggambarkan aktivitas sehari-hari masyarakat Ende Lio yang sebagian besar adalah petani sawah yang juga memiliki kebun yang menghasilkan jeruk besar, pisang, jagung, labu kuning, labu siam, pepaya, sawo ende, mangga, dan sayur sawi putih.
Relief berikutnya adalah menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat Ende. Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata merupakan tradisi upacara masyarakat Lio untuk memberi makan arwah leluhur. Masyarakat Ende Lio sangat menghormati dan memuliakan arwah leluhur karena memberi perlindungan dan kesejahteraan.
![]() |
Biasanya dengan memberi persembahan berupa ayam dan babi. Masyarakat akan melakukan tarian "Gawi" dan saat upacara ritual tersebut berlangsung ada beberapa alat/barang-barang adat yang dikeluarkan terbuat dari emas, yang disimpan di rumah adat.
Selanjutnya cerita aktivitas penenun kain di Ende
Aktivitas masyarakat Ende Lio selain bertani dan berkebun, juga menenun. Aktivitas menenun biasa dilakukan oleh kaum wanita Ende Lio, yang sebagian besar telah berkeluarga dengan kisaran umur 40an tahun ke atas. Karena pada usia tersebut umumnya anak-anak mereka mulai beranjak dewasa, telah lulus SMP dan SMA sehingga kaum wanitanya memiliki waktu lebih banyak.
Kegiatan menenun biasanya dilakukan seminggu dua kali dan berkelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 9 sampai 11 wanita. Kain tenun berupa sarung untuk dipakai sehari-hari, selain itu untuk kelengkapan upacara adat.
Salah satu kelompok penenun yang ada di Desa Wolojita punya anggota dengan usia tertinggi 78 tahun. Kelompok ibu-ibu penenun ini melakukan kegiatan menenun selendang dan sarung untuk perempuan (lawo) maupun laki-laki (ragi).
![]() |
Motif sarung tenun untuk perempuan umumnya dengan dasar merah tua kecoklatan, lebih detail dan lebih ramai dibandingkan motif sarung tenun untuk laki-laki. Dengan warna dasar hitam atau biru kehitaman. Dilengkapi garis-garis panjang berkeliling.
Sarung bagi masyarakat Ende Lio selain untuk upacara adat, juga biasa digunakan untuk pemakaian sehari-hari dan sebagai hadiah/buah tangan bagi kerabat yang sedang melangsungkan upacara adat.
Berdasar keterangan salah seorang penenun, sarung untuk pemakaian sendiri biasanya harganya lebih mahal dengan motif dan kualitas yang lebih baik dibanding yang dijual ke pembeli.
Kegiatan menenun biasa dilakukan seminggu sekali bila tidak ada pesanan yaitu hari Jumat. Senin sampai Kamis waktu mereka dihabiskan untuk beraktivitas di sawah/kebun/ladang. Akhir pekan Sabtu dan Minggu digunakan untuk beribadah ke gereja. Namun bila ada pesanan mereka akan bertemu 2 sampai 3 kali seminggu bahkan sering melakukan kegiatan menenun di rumah masing-masing.