Kondisi rawan bencana dan perubahan iklim di Indonesia memantik Ikrom Mustofa untuk ikut andil mengatasinya. Masalah tersebut mengantarkan alumnus Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB University ini melanjutkan studi S2 Water System and Global Change (Climate Change Focused) dengan minor Disaster Studies di Wageningen University, Belanda.
Sekembalinya dari studi, Kepala Divisi Kebijakan Bencana, Pusat Studi Bencana IPB University ini meneruskan kontribusinya pada pendidikan perubahan iklim, mitigasi, dan adaptasi bencana untuk anak-anak dan masyarakat lewat Generasi Cerdas Iklim (GCI). Seperti apa perjalanan peraih beasiswa LPDP PK-82 ini dalam merintis pendidikan perubahan iklim dan mitigasi bencana?
Awardee LPDP dan Pendidikan Kebencanaan
Literasi Perubahan Iklim
Lulus dari pondok pesantren di Riau pada 2011, Ikrom masuk IPB University dengan beasiswa santri berprestasi dari Kementerian Agama. Semula, ia mengaku ragu hendak mengambil jurusan apa. Terlebih, pelajaran tentang cuaca dan iklim menurutnya tak cukup banyak diajarkan di bangku SMA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, tidak lama bagi Ikrom untuk tertarik dan menyelami tentang iklim dan bencana di jurusan pilihannya. Berbekal kesenangannya mengajar anak-anak, Ikrom membuat kartu edukatif Serial Komet untuk meningkatkan literasi soal perubahan iklim sejak semester 3. Kartu interaktif tersebut berisi materi pendidikan soal longsor hingga banjir.
Ikrom menuturkan, ia bersama teman-temannya juga menggandeng sejumlah sekolah untuk membuat pilot project klub perubahan iklim. Kelompok bermain, kampanye iklim, sambungnya, juga dijajaki untuk memperbesar audiens saat itu.
Untuk mendanai gerakan yang kelak bernama Gerakan Cerdas Iklim ini, ia aktif mencari dana hibah, mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa, hingga didapat dana dari IPB University, dana hibah JICA, dan crowdfunding Kitabisa.
Gagasan Tingkat Nasional
Gagasan tentang pendidikan perubahan iklim dan adaptasi mitigasi untuk anak-anak di wilayah rawan bencana dibawa Ikrom ke seleksi mahasiswa berprestasi. Di semester 7, ia meraih predikat peringkat 2 mahasiswa berprestasi nasional.
Gagasan tersebut juga mengantarkan Ikrom menjadi awardee beasiswa LPDP dengan jalur afirmasi prestasi. Menunggu keberangkatan ke Belanda, ia pun mengembangkan Gerakan Cerdas Iklim menjadi komunitas yang kelak resmi sebagai yayasan pada 2019.
Kuliah S2 dan Gerakan
Sembari kuliah di Belanda, kata Ikrom, gerakan literasi perubahan iklim dan adaptasi mitigasi bencana tersebut terus berkembang bersama kawan-kawan relawan di Indonesia. Setelah semula fokus pada pendidikan anak dan media pendidikan interaktif, Yayasan Gerakan Cerdas Iklim (GCI) pada 2019 sudah memiliki unit pengabdian masyarakat, pelatihan kebencanaan, dan beasiswa bakti GCI untuk anak di wilayah terdampak bencana.
Ikrom bercerita, di unit pelatihan kebencanaan, anak-anak diberi edukasi kebencanaan di wilayahnya. Contoh, anak yang bermukim di wilayah rawan bencana namun tapi belum pernah terjadi bencana akan diberi simulasi pra bencana. Termasuk di dalamnya yaitu soal kesiapsiagaan, early warning system, dan cara merespons bencana.
"Misalnya kita kasih simulasi tas siaga bencana. Jadi, ketika ada bencana, mereka sudah ada tas siaga bencana ini, khusus anak-anak. Di dalamnya sudah ada biskuit, makan, minuman darurat, senter, ijazah, dan dokumen penting yang perlu dibawa. Jadi pas ada bencana, mereka enggak bingung bawa apa, tinggal bawa tas itu untuk ke titik evakuasi terdekat," kata Ikrom pada detikEdu, Senin (20/12/2021).
Ikrom menambahkan, GCI juga membuat jalur evakuasi di wilayah-wilayah yang terdampak bencana. Bagi wilayah yang sudah terjadi bencana, yayasannya juga menyediakan sarana trauma healing, serta kegiatan pemulihan ekonomi pasca bencana.
"Jadi tergantung wilayahnya. Makanya, kita akan datang dulu ke wilayahnya, kita survey, dan mapping wilayahnya seperti apa," jelas Ikrom.
Ia menuturkan, penasihat akademik di kampusnya juga punya andil dalam mengarahkan studi agar bisa diterapkan lebih luas sekembalinya ke Indonesia. Karenanya, kata Ikrom, ia banyak belajar tentang perubaan iklim dengan minor ilmu kebencanaan, mulai dari mitigasi, pengurangan risiko bencana, hingga
"Di mata kuliah sosial bencana, saya orang Indonesia sendiri, ada sekitar 10 bab di kelas itu, dua bab diantaranya membahas bencana di Indonesia. Yang satu itu kebakaran hutan di Kalimantan, satunya tsunami Aceh. Ini tentu sebagian besar jadi modalitas saya untuk balik ke Indonesia dan mengembangkan apa yang sudah saya dapatkan di sana," imbuhnya.
Peran Manusia dalam Bencana
Manusia, tekan Ikrom, punya peran akan hadirnya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Aktivitas sehari-hari saja, sambungnya, meningkatkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim. Terlebih buang sampah sembarangan, menebang hutan, dan tidak ramah lingkungan.
"Sehingga banjir yang harusnya semata kaki adi selutut atau lebih tinggi dari itu," katanya.
Ikrom menjelaskan, bencana hidrometeorologi merupakan hal yang massif di Indonesia. Sebab, 90% lebih bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Adanya perubahan iklim, sambungnya, menyebabkan frekuensi dan keparahan bencana terkait iklim tersebut makin tinggi.
"Artinya kita siap-siap beberapa tahun ke depan bahkan sekarang mengalami peningkatan bencana di mana pun: ada kekeringan, banjir bandang, angin puting beliung, iklim ekstrim, dan sebagainya" kata Ikrom.
Literasi dasar, menurutnya, menjadi langkah awal bagi warga untuk kelak mengerti pentingnya menjaga jalur evakuasi, buoy laut untuk early warning system, tidak buang sampah di sungai, hingga tidak pakai kantong plastik untuk mencegah bencana dan perubahan iklim.
"Makanya literasi dasar harus dikuatkan. Harus buat warga tahu, berangkat dari mana untuk bisa sampai ke sana: menjadi cerdas iklim" pungkasnya.
(twu/pal)