Rapor Sering 'Kebakaran' & IPK 2,69 di ITB, Kini Asisten Profesor di Inggris

ADVERTISEMENT

Rapor Sering 'Kebakaran' & IPK 2,69 di ITB, Kini Asisten Profesor di Inggris

Novia Aisyah - detikEdu
Sabtu, 11 Sep 2021 10:30 WIB
Bagus Muljadi dalam program Impact with Peter Gontha (dok. CNBC Indonesia)
Bagus Muljadi Foto: CNBC Indonesia
Jakarta -

Inkonsisten tak selamanya buruk, melompat dari satu jurusan ke yang lain justru memberi peluang cemerlang bagi Bagus Muljadi. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memulai dari jurusan Teknik Mesin, lalu Matematika, Fisika, hingga Ilmu Bumi pernah dilakoninya.

Sekarang, Bagus merupakan dosen di Universitas Nottingham, Inggris. Dalam momen Instagram Live bersama I Made Andi Arsana, dosen Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), beberapa waktu lalu, Bagus menceritakan pengalamannya untuk sampai pada Universitas Nottingham.

Bagus mengaku sebetulnya semasa masih sekolah bukanlah siswa yang jenius. Ia mengatakan bahwa nilainya sering 'kebakaran'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Rapor saya itu merah terus. Nih, kalau teman-teman saya tahu, waktu saya SD, SMP, SMA, mereka tahu persis. Bahwa Si Bagus itu dipanggil ke kantor guru terus karena nilainya kebakaran," ujarnya.

Semasa sekolah menengah atas (SMA), ia adalah pemain band dan gemar mengikuti lomba baca puisi. Ia bercerita sama sekali tak pintar matematika, malah justru cenderung pandai menggambar.

ADVERTISEMENT

Dengan kemampuan menggambar ini, Bagus kemudian diterima di Universitas Katolik Parahyangan jurusan Arsitektur.

Namun, karena kondisi perekonomian keluarga, orang tuanya menganjurkan untuk memilih Teknik Mesin ITB sebagai bagian dari angkatan 2001.

"Nilai saya pada ujian masuk itu paling tinggi karena gambar saya bagus. Tapi, kan swasta, jadi pada waktu itu disuruh bayar 7 juta uang pangkal. Nah, di ITB, cuma 100 ribu," katanya.

Bisa masuk ITB meski mengaku tak pintar, Bagus menegaskan, "Ya bego sih, nggak Mas, gitu ya. Ngepas aja." Ia menjelaskan berhasil masuk ITB karena ada faktor keberuntungan.

Kala itu, sistem seleksinya masih berupa Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ketentuan passing grade untuk jurusan Teknik Mesin saat itu menurut Bagus tidak setinggi dibandingkan yang lain, misalnya Teknik Elektro atau Informatika.

Pasca lulus S1, ia pun sebetulnya terimpit situasi ketika memutuskan untuk kuliah S2 di National Taiwan University. "Saya itu dari keluarga yang nggak kaya, kurang berada. Bapak saya tuh, dulu pernah kerja di Taiwan jadi blue collar worker karena gak ada duit."

Ayahnya kala itu berandai-andai jika dirinya kuliah di Taiwan. Bagus menyampaikan bahwa alasannya kuliah di sana adalah karena impitan ekonomi dan romantisme.

Selain itu, keputusannya melanjutkan S2 di Taiwan karena sebetulnya ingin belajar Mandarin. Menurutnya, jika mengandalkan IPK, dirinya tak bisa 'laku' di Indonesia.

Selanjutnya kenapa bisa diterima di Imperial College London >>>

Bagus menyatakan bahwa saat itu dirinya berpikir, seandainya gagal, ia masih mendapatkan kemampuan bahasa Mandarin dari Taiwan. Rupanya kuliah di Taiwan tak semulus yang dia bayangkan.

Belajar di Taiwan dengan bahasa yang belum dikuasainya membuat Bagus sempat merasa tertekan. "Sampai sekarang saya tidak pernah merasa susahnya hidup
dibanding di Taiwan. Saya masuk ke kelas itu tidak mengerti bahasanya sama sekali. Sampai sering tiap malam saya nangis-nangis di perpustakaan," katanya.

Namun, dengan pertimbngan keringanan uang kuliah akan dicabut jika nilainya di bawah 70 persen dari skala 100 membuatnya tekadnya untuk bekerja keras membara. "Kalau saya pulang ke Indonesia IPK S1 pas-pasan. Apalagi saya juga juga sudah menghabiskan satu tahun. Semakin kurang nilai jual saya," ujarnya.

Setelah periode yang ia sebut 'berdarah-darah', Bagus berhasil lulus S2 dengan nilai lebih dari 80 persen dari standar. Sehingga, dirinya mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah S3.

Pada akhirnya, ia meraih gelar master dan PhD dalam bidang Mekanika Terapan di National Taiwan University. Setelah menyelesaikan program doktor selama empat tahun, ia memutuskan untuk ke Eropa karena menimbang akan repot jika ke Indonesia, bersama sang istri yang merupakan kebangsaan Jerman.

Dengan mengirim berbagai email pada banyak profesor, Bagus akhirnya mendapat kesempatan untuk melanjutkan program postdoctoral di Institut de MathΓ©matiques de Toulouse, Perancis. Di sana, ia berpindah ke jurusan Matematika.

Menurutnya, jauh lebih mudah saat studi di Perancis. "Jadi gini poinnya, makanya orang kalau udah pernah ngerasain susah itu, ngerasain susah yang sedikit gampang itu jadi gampang sekali," jelasnya.

Singkat cerita, ia menjalani program postdoctoral selama satu setengah tahun. Bagus ditarget untuk mempublikasi banyak penelitian pada waktu satu tahun karena menentukan mudah-tidaknya mencari pekerjaan di setengah tahun berikutnya.

Ia kembali mengambil program postdoctoral di jurusan Earth Science and Engineering, Imperial College London. Baginya, kerja keras dan kemampuan multidisiplin adalah kunci kesuksesan ini.

"Keberanian Mas Bagus untuk menerima tawaran dari dunia di luar dunianya, itu saya rasa satu kunci awal ya. Itu yang membuat Mas Bagus punya insights lebih luas dan ternyata begitu dipadukan, itu bisa berguna juga di bidang yang lain lagi,," I Made Andi menambahkan.

Bagus mengatakan bisa lolos justru karena ia telah berkecimpung di berbagai bidang. Ia dapat diterima karena Imperial College London saat itu memiliki sebuah proyek yang membutuhkan kemampuan matematika seperti yang dimilikinya.

Saat pertama kali menjadi bagian dari Universitas Nottingham, ia menempati posisi asisten profesor Departemen Kimia (kini). Tercatat dalam situs resmi kampus tersebut, ia adalah Assistant Professor Chemical & Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Nottingham.

"Bukan berarti saya pinter, tapi saya tahu bidang-bidang yang orang lain tidak tahu," kata alumnus ITB tersebut.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads