Pernah menemukan seseorang yang besok ujian, tapi malamnya malah begadang main ponsel? Atau ketika seseorang akan presentasi, secara sadar ia tidak berlatih?
Perilaku tersebut bukan semata-mata dilakukan karena malas lho, detikers. Biasanya mereka melakukan hal tersebut hanya untuk terlihat hebat saat berhasil dan tidak terkesan lemah atau bodoh saat gagal. Secara psikologi perilaku tersebut dinamakan 'self-handicapping'
Yang Xiang, seorang kandidat doktor psikologi di Kenneth C Griffin Graduate School of Arts and Sciences, menyampaikan bahwa sudah banyak penelitian yang membahas dan mendokumentasikan perilaku ini dalam beberapa dekade terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa penelitian terdahulu banyak yang mengaitkan perilaku ini dengan ciri-ciri kepribadian. Beberapa studi juga menggunakan kuesioner untuk mengukur kecenderungan individu, sehingga pembahasan ini sudah sangat umum.
Apa Itu Self-Handicapping?
Self-handicapping adalah usaha untuk menciptakan hambatan atau motif alasan sebelum melakukan sesuatu, ketika seseorang terpikir ada potensi kegagalan. Tujuan melakukan ini agar orang lain tidak menilai buruk kegagalan tersebut.
Perilaku ini memang tidak membohongi orang lain secara langsung, tapi mendorong orang lain untuk menyimpulkan secara positif perilaku mereka.
Misalnya saat seseorang akan menghadapi ujian esok hari, tapi di malam harinya ia memilih bermain ponsel hingga larut malam ketimbang belajar. Hal demikian ia lakukan, agar saat gagal orang beranggapan mungkin dia kurang tidur, atau ketika berhasil orang akan beranggapan "wah hebat ya, padahal tidak belajar semalam".
Self-handicapping bukan tindakan impulsif, melainkan strategi sadar, demikian yang disampaikan Xiang, Gershman, dan rekan penulis Tobias Gerstenberg dari Universitas Stanford.
Menurut para ahli tersebut, perilaku self-handicapping dilakukan seseorang dengan memikirkan terlebih dahulu bagaimana orang lain akan menilai dirinya, kemudian dengan sengaja memunculkan hambatan sebelum melakukan hal penting.
Kendati demikian, para peneliti masih bertanya-tanya tentang kapan seseorang memutuskan untuk melakukan self-handicapping? Dan bagaimana orang lain menilai perilaku orang tersebut?
Jika penelitian sebelumnya hanya mengandalkan kuesioner, Xiang dan tim membuktikan teori self-handicapping, bagaimana strategi yang diciptakan berpengaruh pada penilaian orang lain. Untuk membuktikannya para peneliti melakukan sebuah eksperimen dengan menciptakan kondisi kompetitif layaknya kenyataan, dengan meniru acara kuis di TV.
Bagaimana Studi Ini Diuji
Tim peneliti melakukan dua eksperimen dengan pola yang dirancang mirip kuis TV, yang terdiri dari tiga babak.
Pada babak pertama, sebanyak 200 peserta diminta untuk menonton dan menilai para pemain kuis. Setiap pemain diberi 20 pertanyaan tentang pengetahuan umum dengan toleransi kelulusan delapan jawaban benar. Namun cara menilainya, para penonton peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menilai keseluruhan jawaban, sedangkan kelompok kedua hanya menilai 10 jawaban secara acak.
Pada babak kedua, mereka yang tadinya penonton berganti menjadi pemain dalam kuis. Di babak ini, pemain diberi pilihan, apakah ingin dinilai keseluruhan dari pertanyaan atau hanya 10 pertanyaan acak saja. Dari sini mulai terlihat para peserta melakukan self-handicapping atau tidak.
Pada babak terakhir, para peserta kembali seperti posisi di babak pertama, namun bedanya pada babak ini mereka sudah memahami cara kerja self-handicapping. Penelitian ini tidak menunjukkan skornya, tetapi menganalisis apakah pemain yang lolos melibatkan self-handicapping.
Temuan dari Eksperimen
Xiang dan tim menemukan self-handicapping dilakukan paling banyak oleh dua kelompok mutlak, yaitu mereka yang optimis berhasil dan mereka yang yakin dirinya akan gagal.
Para peneliti menarik kesimpulan perilaku tersebut adalah sebuah sinyal, saat seseorang sengaja menciptakan hambatan, kemungkinan mereka berada di salah satu sisi dominan, mahir atau lemah.
Peserta self-handicapping yang lulus dengan skor tinggi, hasilnya sesuai dengan prediksi model. Dan bagi peserta yang gagal, teori ini terbukti efektif mengurangi penilaian negatif.
Menariknya para pengamat di babak ketiga sudah mulai mahir membaca pola, sehingga mereka lebih kritis. Mereka tidak terbujuk oleh self-handicapping, terlebih saat menyaksikan kegagalan seseorang.
"Orang-orang yang selama ini menghambat kemajuan diri sendiri sebenarnya cenderung menafsirkan perilaku orang lain sebagai tindakan yang sengaja menghambat kemajuan diri sendiri," ujar Xiang.
Pengaruh Self-handicapping bagi Pendidikan
Pada studi-studi sebelumnya jelas menunjukkan self-handicapping berdampak buruk dalam proses belajar mengajar. Kebiasaan menciptakan hambatan atau merugikan diri sendiri menyebabkan pada rendahnya motivasi belajar, menurunkan rasa percaya diri, dan menurunkan performa akademik siswa seiring waktu.
Namun berdasarkan hasil penelitian Xiang dan tim, masih mungkin untuk melakukan pencegahan terhadap sikap self-handicapping pada siswa. Pada eksperimen pertama peserta seolah didorong untuk tampil sempurna. Sedangkan pada eksperimen kedua, fokus peserta berubah untuk mencapai hasil terbaik.
Meski demikian, para peserta di putaran kedua masih berpotensi melakukan self-handicapping saat mereka merasa sangat yakin maupun tidak pada diri sendiri. Maknanya, mendorong siswa harus sukses saja tidak mampu menghentikan tindakan self-handicapping.
Para peneliti menyarankan untuk tenaga pelajar agar fokus saja pada pembelajaran. Para guru disarankan untuk menilai kompetensi dari masing-masing individu, alih-alih membandingkan kemampuan tiap siswa. Dalam soal penugasan juga disarankan untuk menyesuaikan kemampuan masing-masing siswa, karena self-handicapping cenderung menurun ketika siswa menerima tugas sesuai kompetensinya.
"Dengan memformalkan dasar-dasar kognitif dari perilaku ini, kami berharap penelitian ini dapat menjelaskan cara-cara untuk mencegah cacat akademis yang merugikan," ujar Xiang.
Penulis adalah peserta program Magang Hub Kemnaker di detikcom.
(nah/nah)











































