Kesehatan mental kini menjadi krisis global, dengan lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia terdampak, termasuk remaja. Studi terbaru menunjukkan pola asuh orang tua ikut menentukan kesejahteraan mental anak.
Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan mental tidak hanya luas tetapi juga mempengaruhi kelompok muda secara signifikan. Pada usia 15 hingga 29 tahun, bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga terbesar.
Kesehatan mental remaja dapat dijelaskan secara luas melalui depresi, stres, kecemasan, dan harga diri. Keempat konsep psikologis yang saling terkait ini berkontribusi pada kesejahteraan keseluruhan remaja, membentuk ketahanan emosional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang paling umum, ditandai dengan rasa sedih yang persisten dan hilangnya minat, yang sering terjadi bersamaan dengan kecemasan. Kecemasan sendiri adalah perasaan gelisah atau takut terhadap sesuatu.
Baca juga: Balas Dendam atau Memaafkan? Ini Kata Sains |
Stres adalah emosi yang biasanya muncul ketika seseorang merasa tertekan, terbebani, atau tidak mampu mengelola situasi. Sedangkan harga diri didefinisikan sebagai penilaian total seseorang terhadap pikiran dan emosinya sendiri serta sikap positif atau negatif terhadap dirinya sendiri.
Menurut National Mental Health Survey (NMHS) Nepal 2020, prevalensi gangguan kesehatan mental pada remaja tercatat sebesar 5,2 persen. Di provinsi Sudurpashim, angka ini tercatat 3,9 persen.
Selain itu, survei WHO 2017 menunjukkan di antara negara-negara Asia Tenggara, Nepal memiliki tingkat ide bunuh diri tertinggi pada remaja sebesar 14 persen dan sejumlah besar percobaan bunuh diri sebesar 10 persen. Selain itu, 5 persen remaja menunjukkan kecemasan dan 7 persen mengalami rasa kesepian.
Sebuah penelitian terbaru tentang kesehatan mental remaja di Nepal yang diterbitkan di jurnal PLOS One menemukan lebih dari 40 persen remaja mengalami kecemasan. Studi ini juga menyoroti gaya pengasuhan orang tua menjadi faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan mental anak-anak.
Pola Asuh dan Lingkungan Sekolah Berperan dalam Kesejahteraan Remaja
Penelitian ini dipimpin oleh Rabina Khadka, dosen kesehatan masyarakat di Manmohan Memorial Institute of Health Sciences di Kathmandu. Tim peneliti mensurvei 583 remaja sekolah di Bheemdatt Municipality, Nepal.
Pengumpulan data untuk penelitian ini dimulai pada 15 September 2022 setelah mendapatkan persetujuan pada 1 September 2022. Data dikumpulkan setelah izin diperoleh dari Divisi Pendidikan Kota dan masing-masing sekolah menengah. Kuesioner diuji coba terlebih dahulu pada 58 remaja sekolah di Kathmandu Metropolitan.
Tujuan penelitian ini adalah mengisi kekosongan data yang ada, terutama kurangnya studi tentang bagaimana berbagai gaya pengasuhan seperti otoritatif, otoriter, dan permisif berkaitan dengan berbagai hasil kesehatan mental pada remaja.
Hasil penelitian menunjukkan angka tinggi masalah kesehatan mental di kalangan remaja. Kecemasan dialami oleh 42,19 persen, depresi oleh 37,39 persen, dan stres oleh 24,69 persen.
Meski demikian, sebagian besar remaja, yakni 69,3 persen, melaporkan memiliki harga diri yang tinggi. Sementara dalam hal gaya pengasuhan, mayoritas remaja merasakan orang tua mereka menerapkan gaya otoritatif (83,2 persen), diikuti gaya permisif (56,6 persen) dan gaya otoriter (43,6 persen).
Penelitian ini menemukan hubungan jelas antara gaya pengasuhan dan kesehatan mental. Gaya pengasuhan otoriter meningkatkan risiko depresi dan dikaitkan dengan harga diri yang lebih rendah.
Sebaliknya, gaya pengasuhan otoritatif melindungi remaja dari depresi, kecemasan, dan stres, serta terkait dengan harga diri yang lebih tinggi. Sementara itu, gaya pengasuhan permisif dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi.
Studi ini juga menyoroti dukungan sosial dan lingkungan sekolah sama pentingnya dengan lingkungan rumah. Remaja yang menjadi korban bullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental, begitu pula remaja yang tidak membangun hubungan dekat dengan orang lain.
Hasil ini menegaskan besarnya masalah kesehatan mental yang dihadapi remaja saat ini. Peneliti merekomendasikan peningkatan dukungan bagi orang tua agar mendorong praktik pengasuhan otoritatif dan penerapan program kesehatan mental berbasis sekolah, termasuk intervensi anti-bullying serta layanan konseling bagi siswa.
Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.
(nah/nah)











































