Sakit hati berpotensi memicu rasa ingin balas dendam. Sebagian orang menuntaskan keinginan tersebut dengan melakukannya, sebagian lainnya dengan melupakan ide balas dendam sama sekali.
Psikiater di Fakultas Kedokteran Yale University James Kimmel mengaku sempat ingin balas dendam pada perundungnya semasa sekolah. Namun ia mengurungkannya pada detik-detik terakhir karena teringat masa depannya masih panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Kimmel mengungkapkan, rasa balas dendam memang bisa terasa manis di awal. Perasaan ini juga bisa dijelaskan secara ilmiah.
"(Sakit hati) rasanya sakit sekali. Dan otak sangat tidak menginginkan rasa sakit, sehingga akan langsung berusaha menyeimbangkan rasa sakit itu dengan rasa senang (lewat balas dendam)," tuturnya pada bincang-bincang Harvard Graduate School of Design, dikutip dari The Harvard Gazette, Minggu (7/12/2025).
Ia menjelaskan, berdasarkan data MRI fungsional puluhan tahun, otak orang yang berfantasi untuk balas dendam dibanjiri dopamin yang membuatnya merasa senang. Fenomena ini persis seperti pada otak orang yang berjudi dan mengonsumsi tembakau.
Apakah Balas Dendam Bikin Ketagihan?
Lantas, apakah balas dendam juga membuat ketagihan seperti judi dan tembakau? Kimmel menilai demikian.
Ia menjelaskan, rasa senang dari balas dendam, judi, dan tembakau tidak bertahan lama. Akibatnya, orang terdorong untuk merasakan kesenangan lagi dengan mengulangi perbuatannya. Bahkan, mungkin perbuatannya lebih jauh atau lebih bahaya.
"(Kesenangan sementara) itu memacu kita untuk melangkah lebih jauh, berfantasi lebih intens, atau melakukan tindakan balas dendam fisik, untuk mendapatkan kenikmatan itu lagi dan lagi," ucapnya.
Kondisi ini menurutnya diperparah lewat penyebaran 'rasa sakit hati' lewat media sosial. Contohnya, konten tokoh medsos yang mengungkapkan keluhan pada suatu topik bisa menularkan rasa sakit hati serupa ke jutaan follower.
Cara agar Tidak Ketagihan Balas Dendam
Kendati orang-orang berpikir untuk balas dendam, ia menuturkan, tak lantas mereka benar-benar akan melakukannya. Sementara itu, jika sudah pernah dan mulai ketagihan, ia mencontohkan, sejumlah cara pemulihan yang bisa dicoba yaitu dengan kelompok dukungan sebaya, terapi perilaku kognitif, dan obat resep.
Kimmel sendiri dalam bukunya, The Science of Revenge, menawarkan cara sederhana berupa ruang sidang imajiner. Untuk menggunakannya, orang bisa berproses mempertimbangkan kembali perilaku salah orang lain yang menimpa mereka, mengadili tindakan tersebut, dan memaafkannya.
Ia menjelaskan, memaafkan secara ilmiah merupakan obat mujarab bagi sakit hati.
(twu/nwk)











































