Sepuluh anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025). Pelantikan ini didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) No 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dalam akun X menyatakan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI dibentuk untuk melakukan kajian menyeluruh untuk menciptakan supremasi hukum dan keadilan berdasarkan kepentingan bangsa dan negara.
Evaluasi Ketidakpercayaan Masyarakat pada Kepolisian
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr Isnaini SIP MPA mengatakan urgensi reformasi Polri berangkat dari perluasan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Ia menilai ketidakpercayaan publik ini berakar dari kewenangan Polri yang terlalu luas dan bersifat multi-authority (rangkap otoritas).
"Inti dibentuknya Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian adalah untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas problem ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian hari ini. Tapi sasaran jangka menengahnya jelas: mengubah Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002," ujar Isnaini, Selasa (18/11/2025), dikutip dari laman UMY.
Risiko Disorientasi Polri
Isnaini menambahkan, luasnya kewenangan Polri tersebut juga tertuang dalam UU Kepolisian. Ia menilai UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia justru memberikan kewenangan yang melampaui fungsi utamanya sebagai civilian police atau polisi sipil.
Keleluasaan tersebut menurutnya berakibat pada disorientasi Polri. Isnaini mencontohkan, disorientasi Polri tampak dari melebarnya fungsi kepolisian hingga masuk pada urusan yang tidak relevan dengan tugas pokok, seperti pengamanan investasi. Kewenangan ini dinilai rentan menimbulkan praktik kolusi.
Ia menambahkan, fungsi semi-militer seperti Brimob dan Densus 88 juga masih dipertahankan di Polri. Isnaini mengatakan, fungsi pertahanan seharusnya merupakan kewenangan militer.
"Fungsi penyelidikan korupsi juga tumpang tindih dengan KPK dan Kejaksaan. Siapa yang duluan masuk, ya polisi. Itu karena di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 kewenangannya sangat luas," ucapnya.
Kembalikan Polisi Sipil
Tugas besar Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian menurut Isnaini yakni mengembalikan paradigma Polri sebagai polisi sipil. Dalam hal ini, polisi fokus pada penegakan hukum kriminal, menjaga ketertiban masyarakat, dan menangani kejahatan siber. Untuk itu, Polri tidak menjadi pemain politik atau lembaga yang menjalankan fungsi pertahanan.
Isnaini mengaku optimis dengan sejumlah anggota komisi seperti Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Mahfud MD, kendati keterlibatan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai tokoh dengan status quo menjadi dilematis.
"Tim ini cukup ideal untuk bergerak cepat. Ada menteri-menteri yang saya kira berintegritas. Yang terpenting, mereka mampu mengubah paradigma kepolisian yang semi-militer menjadi polisi sipil. Polri harus ditarik kembali menjadi institusi yang benar-benar civilian," ucapnya.
Kata Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian
Terpisah, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Jimly Asshiddiqie mengatakan reformasi kepolisian penting mengingat posisinya sebagai garda terdepan. Kajian ulang secara menyeluruh menurutnya juga perlu, mengingat peristiwa aksi massa Agustus 2025 terhadap lembaga perwakilan rakyat DPR dan DPRD, serta kepolisian di berbagai daerah, menyorot kekurangan kelembagaan RI usai 25 tahun Reformasi.
"Maka kita harus riset lewat perubahan sistem konstitusional. Bukan kembali ke masa lalu, tapi kita maju ke depan memperbaiki. Banyak yang perlu diperbaiki," kata Jimly usai menerima Habibie Prize 2025 kategori bidang ilmu sosial, ekonomi, politik, dan hukum di Gedung BJ Habibie, BRIN, Senin (10/11/2025).
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini menyatakan tata ulang di tubuh kepolisian penting dilakukan terhadap sistem maupun secara mental. Pendekatan kultural dilakukan lewat pendidikan maupun indoktrinasi. Mengimbangi proses kultural yang butuh waktu lama, menurutnya penting untuk secara bersamaan menggunakan penggunaan pendekatan struktural melalui kekuasaan.
Ia mencontohkan, penerapannya yakni sistem etika bernegara dibangun bersama dengan infrastrukturnya. Dalam hal ini, kode etik dan lembaga kode etik ditata ulang dan berpuncak di Mahkamah Etika Internasional dan Komisi Yudisial.
"Hukum harus ditata terus menerus. Tapi bersamaan dengan itu, etika harus dibangun. Etika tidak hanya menghukum, tapi hukum itu menghukum, retributif. Tapi kalau etika juga ikut mendidik. Ada peringatan satu, dua, tiga. Tidak bisa lagi diberi peringatan, dipecat," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
"Tidak perlu masuk penjara. Pemberhentian itu tujuannya bukan membalas kesalahan orang, tapi untuk menjaga public trust terhadap institusi pemangku jabatan. Kita harus bersihkan nama baik institusi dari orang yang melanggar etika jabatan. Maka, hukum dan etika itu harus bareng," ucapnya.
Daftar Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI
- Jimly Asshiddiqie, ketua merangkap anggota
- Ahmad Dofiri
- Mahfud MD
- Yusril Ihza Mahendra
- Supratman Andi Agtas
- Otto Hasibuan
- Listyo SIgit Prabowo
- Tito Karnavian
- Idham Azis
- Badrodin Haiti
Simak Video "Video Daftar Jajaran Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Ada Jimly-Mahfud Md"
(twu/nwk)