Muncul wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah. Menanggapi wacana ini, Guru Besar bidang Ekonomi Moneter dan Perbankan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), Prof Dr Wasiaturrahma SE MSi memberikan tanggapannya.
Menurutnya, langkah ini dinilai tidak terlalu mendesak dan menyimpan sejumlah risiko bagi perekonomian nasional. Terutama di tengah ketidakpastian global yang masih dirasakan sebagian besar masyarakat.
"Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yg komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya karena banyak barang-barang yg harganya masih seribu dua ribu. Kalo seribu jadi seperak, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Akibatnya kalo naik bisa menyebabkan inflasi," tegasnya dalam laman Unair, Rabu (12/11/2025).
Dampak Psikologis Redenominasi Rupiah
Lebih lanjut, Prof Rahma mengingatkan adanya dampak psikologis yang tidak boleh diabaikan. Redenominasi berisiko menimbulkan persepsi kemiskinan yang mendadak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Juga jangan lupa dampak psikologisnya. 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu perak per hari. Kalo 50 ribu jadi 50 perak mereka bisa merasa tiba-tiba jadi 'miskin' sekali," jelasnya.
Kondisi Ekonomi Global
Tantangan lainnya adalah kondisi stabilitas ekonomi global yang masih labil. Prof Rahma menyoroti kondisi fiskal banyak negara, termasuk Amerika Serikat yang saat ini mencapai defisit hingga enam persen.
"Probability US bakal resesi memang cuma 30 persen. Tapi itu angka yang tinggi untuk Wall Street. Ini akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Ekonomi belum stabil, pertumbuhan, inflasi dan tekanan eksternal, persoalan struktural domestik masih rentan dan uncertainty," paparnya.
Rekomendasi Untuk Pemerintah
Prof. Rahma berpesan kepada pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam melontarkan wacana. Hal ini lantaran melemahnya pertumbuhan ekonomi.
"Saat ini publik mengurus untuk kestabilan keuangan dalam rumah tangganya masing-masing akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi dan tidak tersedianya perluasan kesempatan kerja baru," ungkapnya.
Ia juga menuturkan peran perbankan dan lembaga keuangan masih belum optimal untuk mendukung kebijakan ini. Kegagalan dalam sosialisasi dan transisi justri berisiko merusak kepercayaan publik.
"Karena publik apalagi orang awam menganggap redenominasi ini sebagai bentuk pemotongan uang atau biasa disebut sanering. Justru nanti membuat panic buying pada masyarakat," ujarnya.
Simak Video "Video: Ketua Banggar DPR Beri Catatan Khusus soal Rencana Redenominasi Rupiah"
(nir/nah)