ChatGPT kini makin ramai digunakan di kalangan anak-anak dan remaja sebagai teman belajar. ChatGPT sendiri merupakan salah satu contoh dari teknologi kecerdasan buatan (AI).
ChatGPT dapat membantu pengguna dalam menjawab pertanyaan, mengerjakan tugas sekolah, dan memberikan banyak informasi lainnya. Meski banyak manfaatnya, tetapi para orang tua dan pendidik harus ekstra hati-hati dalam memberikan aksesnya kepada anak.
Memang apa dampak buruk jika anak-anak atau remaja terlalu bergantung kepada ChatGPT?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa Melemahkan Daya Ingat dan Analisis
Menurut Prof Yeni Herdiyeni, seorang Guru Besar Sekolah Sains Data, Matematika, dan Informatika IPB University, penggunaan ChatGPT pada anak tidak boleh dilakukan tanpa pendampingan.
"Teknologi ini memiliki dua sisi. Ada sisi positif dan negatifnya. Dari sisi positif, ChatGPT mempermudah kita mengeksplorasi pengetahuan. Namun, jika digunakan secara instan tanpa berpikir, otak anak tidak akan terlatih," katanya dikutip dari laman IPB, Minggu (9/11/2025).
Yeni melihat ChatGPT memberikan informasi secara cepat. Akan tetapi, jika penggunaannya berlebihan bisa berpotensi menurunkan kemampuan kognitif anak.
Anak menjadi terbiasa menemukan jawaban instan. Mereka tidak melakukannya lewat proses berpikir, memahami, dan mengingat.
"Kalau kita mencari sesuatu langsung pakai ChatGPT, informasi memang keluar dengan cepat, tapi setelah itu bisa lupa. Otak tidak terlatih untuk mengingat dan menganalisis," ujarnya.
Sementara untuk orang dewasa, informasi yang diberikan ChatGPT tidak akan dilumat secara bulat-bulat. Orang dewasa masih bisa melakukan verifikasi informasi.
Namun pada anak, kemampuan tersebut belum berkembang penuh. Oleh karena itu, Yeni menekankan bahwa anak usia SD sebaiknya hanya boleh menggunakan ChatGPT dengan pendampingan orang tua atau guru.
"Kalau usia dini, seperti anak SD, sebaiknya penggunaan ChatGPT harus dalam pengawasan," ujarnya.
Tidak Semua Jawaban AI Benar
Yeni kemudian menjelaskan bahwa ChatGPT dibangun dengan teknologi transformer dan long short term memory (LSTM). Sistem tersebut meniru cara kerja otak manusia.
Namun tetap ada potensi bias dan halusinasi data. Sehingga produk AI seperti ChatGPT tidak bisa sepenuhnya disodorkan kepada anak.
"Karena itu masyarakat harus tahu bahwa tidak semua jawaban ChatGPT benar," ucapnya.
Kemampuan Computatuonal Thinking Jadi Penting
Dengan adanya potensi-potensi tersebut, Yeni berharap pemerintah untuk semakin menggalakkan pembelajaran computational thinking atau cara berpikir komputasional bagi anak dan remaja, alih-alih coding.
Penguatan computational thinking akan membuat anak memiliki kemampuan memecahkan masalah, berpikir logis, dan mengenali pola. Sementara coding, menurutnya, hanya bagian dari penerapannya.
"Computational thinking itu melatih kemampuan otak manusia untuk memecahkan masalah, berpikir logis, dan mengenali pola. Sedangkan coding hanyalah implementasi dari kemampuan itu," jelasnya.
Ia menegaskan perlunya pendekatan human-centered. Di mana manusia harus tetap menjadi pihak yang mengendalikan teknologi.
"Peran orang tua dan pendidik sangat penting untuk mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penggunaan ChatGPT oleh anak-anak. Dengan pendampingan yang tepat, teknologi ini bisa menjadi sahabat belajar yang aman dan bermanfaat," kata Yeni.
(cyu/faz)











































