Kecanduan chatbot AI seperti ChatGPT ternyata bisa menimbulkan risiko berbahaya bagi penggunanya. Para ilmuwan memperingatkan, kecanduan AI bisa membuat pengguna mengalami masalah psikologis yang aneh dan mengkhawatirkan. Apa itu?
Selama ini, chatbot AI menjadi andalan para generasi muda karena bisa selalu menjawab apa saja yang dibutuhkan. Bahkan, tak jarang generasi muda menganggap AI sebagai "teman" yang paling memahami mereka.
Terlebih, chatbot AI bisa menjawab banyak pertanyaan bahkan tugas-tugas, dengan responsif dan "selalu ada", demikian menurut Daily Mail. Namun, fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah kita sedang menciptakan alat bantu belajar atau "teman virtual" yang bisa menggantikan hubungan manusia?
Chatbot AI, Teman Baru yang Selalu Mengerti
Bagi sebagian besar siswa dan mahasiswa, ChatGPT bisa membantu banyak kebutuhan mereka. Termasuk soal tugas dan perasaan yang perlu divalidasi.
Chatbot AI mampu memberikan respons yang empati seperti, "Kedengarannya kamu sedang merasa lelah, istirahatlah sejenak.". Respons seperti ini memberi rasa hangat dan membuat pengguna merasa didengarkan.
Namun, para ilmuwan melihat hal lain. Dalam sebuah studi yang terbit di jurnal AI and Ethics oleh Springer Nature pada 17 Februari 2025, interaksi ini menciptakan pseudososial bond, hubungan emosional semu antara manusia dan mesin.
Pengguna merasa memiliki ikatan, padahal sebenarnya yang terjadi hanyalah rekayasa linguistik tanpa hadirnya emosi. Pengguna ditipu oleh perasaan yang tidak nyata karena yang mereka hadapi adalah mesin yang diatur untuk memuaskan penggunanya.
Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai pergeseran dari "dukungan" menjadi "ketergantungan" (from support to dependence).
"AI conversational models memberikan kepuasan emosional jangka pendek, tetapi dapat menurunkan kemampuan refleksi dan interaksi sosial nyata," tulis para peneliti.
Peneliti menyebut, di sinilah letak masalahnya bagi generasi muda. Ketika validasi dan empati bisa diperoleh dari chatbot, kemampuan membangun hubungan manusiawi yang penuh ketidaksempurnaan dan konflik dapat perlahan tergerus.
Ketergantungan yang Tak Disadari
Berbeda dengan kecanduan media sosial yang dapat diukur dari screen time, ketergantungan terhadap AI terasa halus dan seringkali tak terasa. Seseorang dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk berinteraksi dengan ChatGPT dengan alasan belajar atau eksperimen.
Padahal tanpa mereka sadari, secara psikologis mereka sedang mencari kenyamanan serta pengakuan. Fenomena ketergantungan ini banyak terjadi di berbagai negara di kalangan mahasiswa.
Sebagian mereka mengaku sulit untuk membedakan antara kebutuhan akademik dan emosional ketika menggunakan ChatGPT. Mereka merasa AI lebih memahami mereka dibanding manusia.
Ilmuwan dari Bournemouth University menyebut kondisi ini sebagai "emotional outsourcing" kecenderungan menyerahkan pengelolaan emosi kepada mesin. Dampaknya yakni menjadikan pengguna lebih pasif dalam mengelola perasaan, sulit mengelola stres, serta menurunkan empati terhadap sesama.
Refleksi bagi Generasi Muda: Belajar dari AI, Bukan Bergantung
Di era kemajuan AI, generasi muda sangat sulit menjauh dari teknologi. ChatGPT dan sejenisnya telah terbukti membantu proses belajar, menulis, hingga riset akademik.
Namun, sebagaimana disampaikan para ilmuwan, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa AI bukan teman sejati, melainkan alat bantu kognitif. Dalam hal ini, perang guru, dosen, dan orang tua sangat penting untuk mengenalkan literasi digital yang sehat.
Generasi muda harus memahami batas antara interaksi manusia dan interaksi mesin. Sebab, ketika batas itu hilang, manusia bukan hanya kehilangan kendali atas waktu, tetapi juga atas dirinya.
Simak Video "Video: Apa Benar Sering Pakai ChatGPT Bikin Kita Bodoh?"
(faz/faz)