Mengenal BM Diah, Penyelamat Teks Proklamasi Tulisan Bung Karno dari Tong Sampah

ADVERTISEMENT

Mengenal BM Diah, Penyelamat Teks Proklamasi Tulisan Bung Karno dari Tong Sampah

Devita Savitri - detikEdu
Minggu, 17 Agu 2025 19:00 WIB
Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) adalah satu dari segelintir tokoh yang menjadi saksi perumusan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.
Mengenal BM Diah, wartawan penyelamat naskah proklamasi dari tong sampah. Foto: BM Diah
Jakarta -

Golongan pemuda-pemudi menjadi sosok yang tidak bisa terlepaskan dalam perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia. Salah satunya, adalah sosok Burhanuddin Mohammad Diah atau B.M. Diah.

B.M. Diah tergabung dalam golongan muda yang ada di balik kejadian penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Ia juga hadir di proses perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda.

Tidak hanya itu, B.M. Diah ternyata punya peran penting dalam menyelamatkan bukti otentik sejarah bangsa Indonesia. Bukti otentik yang dimaksud dalam hal ini naskah Proklamasi tulisan langsung Presiden Soekarno.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Momen Naskah Proklamasi Diselamatkan B.M. Diah

Mengutip arsip detikEdu, setelah Soekarno menyetujui naskah Proklamasi untuk diketik, Sayuti Melik meremas naskah yang ditulis Bung Karno. Andaryoko Wisnuprabu, pria yang mengaku sebagai tokoh pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) menyebut hal itu dikarenakan karena Melik berpikir naskah itu tidak diperlukan lagi dan di buanglah bukti sejarah tersebut ke tempat sampah.

ADVERTISEMENT

Hadir di tempat kejadian sebagai saksi dan mendokumentasikan perumusan naskah proklamasi, Diah menyaksikan hal itu. Naskah itu kemudian disimpannya selama 47 tahun sebelum akhirnya diserahkan kepada pemerintah.

Dilansir dari dokumen Indonesia Baik, BM Diah menyerahkan naskah tersebut ke Presiden Soeharto. Setelahnya, naskah itu disimpan di Museum Arsip Nasional pada 29 Mei 1922.

Teks itu kini disimpan dalam keadaan baik, berdasarkan laman ANRI, teks disimpan di tempat penyimpanan khusus dengan suhu ruangan 18-20 derajat celcius standar daerah tropis.

Mengenal B.M. Diah

Lalu, siapa sebenarnya B.M. Diah itu? Anwar Kurnia dan Moh Suryana dalam bukunya berjudul Sejarah 2 SMP menyatakan B.M. Diah adalah anak asli Aceh. Ia lahir di Kutaraja Banda Aceh pada 7 April 1917.

Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Namun, ia mengambil nama sang ayah yang seorang pegawai pabean di Aceh Barat, yakni Mohammad Diah.

Istri B.M. Diah, Herawati Diah dalam buku Catatan B.M. Diah: Peran "Pivotal" Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-'45 karya yang diedit Dasman Djamaluddin membagikan sedikit sosok suaminya. Sejak kanak-kanak B.M. Diah bercita-cita melihat bangsanya menjadi gagah, kuat, maju, dan agung.

Ia menjadi sosok yang paling yakin bila Indonesia akan meraih kemerdekaan di tangan Soekarno. B.M. Diah mulai sekolah di usia 6 tahun pada 1923, ia menempuh pendidikan sekolah dasar di HIS Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Ada satu cerita yang menarik ketika ia bersekolah SD, di mana Diah memiliki guru asal Jawa, bernama Suwadji. Guru itu mengajar sejarah Diponegoro saat ditipu Belanda sehingga ditawan.

Mendengar sejarah tersebut, ia menangis selama mengikuti pelajaran. Ia sedih dan merah mendengar akal bulus dan kekejaman imperialis Belanda.

"Bayangkan, BM Diah ketika itu baru berusia 11 tahun dan duduk di kelas lima, ia anak Aceh. Sejarah yang diajarkan mengenai sejarah Jawa, Diponegoro bangsawan Jawa. Menurut saya, di saat inilah tertabur benih "cinta bangsa", nasionalisme, dan patrioritisme suami saya," tulis Herawati Diah.

Pada usia 17 tahun, B.M. Diah pindah ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Institut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr Douwes Dekker. Ia mengambil jurusan jurnalistik.

Kariernya di dunia jurnalistik cukup beragam. Ia sempat menjadi redaktur di harian Sinar Deli Medan, bekerja di harian Sin Po Jakarta, hingga mendirikan majalan bulanan Pertjatoeran Doenia.

Agustus 1945, menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Herawati Diah. Pada 7 Agustus 1945 pagi, suaminya ditangkap oleh polisi Jepang dari kediaman mereka di Jalan Jogja (sekarang Jalan Mangunsarkoro).

Di rumah B.M. Diah, polisi Jepang itu membongkar semua buku dan membolak-balikkan laci-laci meja tulis untuk mencari bukti bila suaminya adalah pemuda berbahaya bagi pemerintahan Jepang. Kejadian itu, berakhir dengan Diah yang diringkus paksa.

Sore harinya, Herawati dikunjungi seorang sosok misterius yang menanyakan keberadaan Diah. Sosok itu kemudian diketahui sebagai Tan Malaka.

B.M. Diah dibebaskan Jepang pada 15 Agustus 1945 pagi. Mulai saat itu, ia mengambil bagian di golongan pemuda dalam proses penculikan Rengasdengklok, perumusan Naskah Proklamasi, hingga kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.

"Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bukti bahwa perjuangan yang diridhoi Allah SWT tidak sia-sia. tanpa ijin-Nya gerakan apa pun juga tidak sukses. Tanpa ridho Allah SWT usaha perjuangan Angkatan '45 akan tanpa bekas, hanyut dibawa arus, tanpa harapan dan tujuan," tutup Herawati.

Pasca kemerdekaan, B.M. Diah masih bergelut di dunia jurnalistik. Ia mendirikan harian Merdeka dan koran berbahasa Inggris bernama Indonesian Observer. Kemudian ia diketahui meninggal dunia di Jakarta, pada 10 Juni 1996.




(det/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads