Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan menjadi mata pelajaran (mapel) pilihan mulai tahun ajaran 2025/2026.
Mapel AI tersedia bagi siswa kelas 5 dan 6 SD, SMP, serta SMA dan SMK pada sekolah-sekolah yang siap melaksanakannya. Mapel AI juga bisa dikombinasikan dengan mapel yang sudah ada atau dijadikan kegiatan ekstrakurikuler berbasis internet maupun luring.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan mapel AI bertujuan untuk anak Indonesia yang melek teknologi, literasi digital, dan dapat berpikir secara komputasional. Murid juga diharapkan bisa memanfaatkan AI secara produktif dan bertanggung jawab.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mu'ti mengatakan pihak Google siap menyediakan pelatihan bagi guru agar dapat membimbing murid.
"InsyaAllah itu nanti kalau sudah ada juga akan bisa kita googling (tentang koding dan AI) dan akan keluar itu di Google," kata Mu'ti di Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah (Konsolnas Dikdasmen) Tahun 2025, Selasa (29/4/2025).
Indonesia Perlu UU AI
Terkait mapel AI, Guru Besar Ilmu Kecerdasan Buatan IPB University, Prof Yeni Herdiyeni menegaskan, Indonesia perlu segera menyusun Undang-Undang (UU) tentang pengembangan dan pemanfaatan teknologi AI.
Kehadiran UU AI dinilai penting untuk memastikan anak Indonesia tak hanya jadi pemakai teknologi AI atau pasar konsumen teknologi AI yang dibuat pihak luar negeri.
Saat belajar tentang AI, anak muda Indonesia juga perlu diarahkan untuk tetap mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan kognitif dengan baik.
"Kalau dilihat dari sisi kebijakan pemerintah saat ini, mulai dari pendidikan dasar dan menengah akan diberi materi tentang AI. Perlu kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan dan arah pendidikan," ucap Yeni dalam keterangannya, Senin (23/6/2025).
"Jangan sampai kita hanya diposisikan sebagai pengguna teknologi AI tanpa adanya pengembangan kognitif yang kuat dalam berpikir," sambungnya.
Libatkan Kampus
Sedangkan penggunaan AI di sektor pendidikan, ada pelanggaran seperti plagiarisme berbasis AI yang kini terjadi. Namun, rambu-rambu penanganannya menurut Yeni relatif lebih tertata.
Yeni mengatakan IPB University sendiri saat ini tengah memfinalisasi panduan penggunaan AI untuk akademik, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
"Namun, pemerintah perlu menyiapkan UU-AI agar semua institusi punya acuan seragam," ucapnya.
Ia mengatakan, pemerintah dapat perguruan tinggi yang kompeten dalam menyusun kerangka hukum dan etika AI.
"Pemerintah bisa menggandeng kampus untuk merumuskan etika pengembangan AI, privasi data, dan kebijakan terkait," ucapnya.
"Kami dapat berkontribusi dalam literasi, baik kurikulum, pelatihan dosen, maupun edukasi publik. Selain itu, lewat penelitian dan kerja sama dengan industri, kami bisa bantu rumuskan etika penggunaan AI, termasuk isu privasi data dan dampak sosialnya," kata Yeni.
Tak Hanya Risiko Murid dan Pendidikan
Pada bidang keamanan data pribadi, Yeni menambahkan, belum adanya UU AI juga menjadi celah penyalahgunaan data.
"Kalau tidak ada undang-undangnya, akan sulit jika ada pihak yang mengumpulkan data tanpa persetujuan pemiliknya dan menggunakannya untuk mengembangkan model AI. Mau dijerat dengan apa? Ini beda dengan UU ITE. UU-AI memastikan bahwa inovasi yang dikembangkan harus bertanggung jawab," ucapnya.
Sementara itu, chatbot AI juga saat ini disalahgunakan untuk memengaruhi opini publik dengan cara berpura-pura sebagai akun asli manusia yang bermain media sosial. Kecurangan ini salah satunya terjadi untuk memengaruhi pemilik suara jelang pemilihan umum (pemilu).
(twu/nah)