Eksplorasi studi terus dilakukan oleh ilmuwan untuk mencari tanda-tanda kehidupan di luar Bumi. Cara yang paling populer yakni dengan Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) milik NASA. Lantas bagaimana hasilnya?
Sejauh ini, berbagai studi belum bisa memastikan apakah ada kehidupan di luar Bumi. Namun, berbagai penemuan mengungkapkan adanya potensi kehidupan.
Pada April 2025 lalu, misalnya, sebuah tim Cambridge melaporkan adanya tanda-tanda molekul di planet ekstrasurya bernama K2-18b. Molekul tersebut biasanya hanya diproduksi oleh organisme sederhana di planet Bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penemuan tersebut, menjadi yang kedua kalinya zat kimia terdeteksi di atmosfer planet. Meski begitu, tim peneliti masih butuh banyak data untuk mengonfirmasi hasilnya.
Teknologi Canggih untuk Misi Mencari Tanda-tanda Kehidupan di Luar Bumi
Secara umum, penemuan dari hasil pengamatan belum menjadi rujukan para ilmuwan untuk memastikan kehidupan di luar Tata Surya. Sampai saat ini, banyak ahli masih memiliki tantangan yakni menemukan tempat untuk mencari tanda-tanda kehidupan tersebut.
Maka dari itu, teknologi terus dikembangkan dan pendekatan lain terus diupayakan. Dalam hal ini, Amerika Serikat tengah membangun sejumlah teleskop besar dan wahana antariksa untuk memajukan pencarian ini.
"Rekan-rekan saya dan saya telah mengembangkan pendekatan baru dengan memodelkan bagaimana organisme yang berbeda dapat bertahan hidup di lingkungan yang berbeda, berdasarkan penelitian tentang batas-batas kehidupan di Bumi," kata Daniel Apai Profesor Astronomi dan Ilmu Planet di Universitas Arizona, dikutip dari Space, Senin (16/6/2025).
Para astronom juga tengah mengembangkan rencana dan teknologi untuk teleskop antariksa yang semakin canggih. Misalnya, NASA tengah mengerjakan Habitable Worlds Observatory agar bisa mengambil gambar sangat tajam, yang bisa secara langsung memperlihatkan planet-planet yang mengorbit bintang-bintang di dekatnya.
"Teleskop-teleskop ini dan teleskop-teleskop masa depan lainnya bertujuan untuk menyediakan studi yang lebih sensitif terhadap dunia-dunia asing," lanjut Apai.
Sejauh ini, klaim tentang tanda-tanda potensial kehidupan di exoplanet K2-18b dan sebelumnya di Venus, menunjukkan betapa sulitnya mengidentifikasi secara meyakinkan keberadaan kehidupan dari data penginderaan jarak jauh.
Dunia 'Asing' Layak Huni seperti Apa yang Dicari Ilmuwan?
Tujuan para ilmuwan mencari tanda-tanda kehidupan yaitu untuk mengungkapkan apakah ada tempat yang bisa layak huni untuk organisme di Bumi. Oxford Languages mendefinisikan "layak huni" sebagai "cukup layak atau baik untuk ditinggali".
Selama ini, pencarian layak huni dimulai dengan keberadaan air. Menurut NASA, untuk mencari tanda-tanda kehidupan, perlu menemukan keberadaan air atau cairan.
Dalam hal ini, planet dengan air cair juga akan memiliki lingkungan yang beriklim sedang. Kondisinya juga tidak akan terlalu dingin sehingga memperlambat reaksi kimia dan tidak akan terlalu panas sehingga menghancurkan molekul kompleks yang diperlukan untuk kehidupan.
Namun, ahli astrobiologi memerlukan pendekatan yang lebih kuantitatif dan bernuansa daripada klasifikasi air atau tanpa air.
Kini, melalui proyek Alien Earths yang didanai NASA yang dipimpin Apai, ahli astrobiologi Rory Barnes, serta sejumlah pakar, akan dilakukan pendekatan lain untuk mencari tanda-tanda kehidupan.
Pendekatan baru, yang disebut kerangka kelayakhunian kuantitatif, memiliki dua fitur pembeda dari cara sebelumnya. Perbedaannya yakni:
1. Ilmuwan tidak lagi menjawab pertanyaan samar "dapat dihuni untuk kehidupan atau tidak". Mereka mempersempitnya ke pertanyaan yang lebih spesifik dan dapat dijawab secara praktis: "Apakah kondisi di habitat tersebut memungkinkan spesies atau ekosistem tertentu (yang diketahui atau belum diketahui) untuk bertahan hidup?"
"Bahkan di Bumi, organisme memerlukan kondisi yang berbeda untuk bertahan hidup - tidak ada unta di Antartika. Dengan membicarakan organisme tertentu, kami membuat pertanyaan tersebut lebih mudah dijawab," papar Apai.
2. Kerangka kerja kelayakhunian kuantitatif membandingkan model komputer untuk menghitung jawaban probabilistik. Alih-alih berasumsi bahwa air cair merupakan faktor utama, peneliti mencoba membandingkan pemahaman tentang kondisi yang dibutuhkan organisme ("model organisme") dengan pemahaman kami tentang kondisi yang ada di lingkungan ("model habitat").
"Keduanya memiliki ketidakpastian. Pemahaman kita tentang masing-masing model mungkin tidak lengkap. Namun, kita dapat menangani ketidakpastian tersebut secara matematis," lanjut Apai.
Secara sederhana, jika sebelumnya yang dicari kelayakhunian, kini para ilmuwan akan fokus pada sejauh apa lingkungan yang ditemukan itu bisa jadi tempat yang dibutuhkan suatu organisme untuk hidup.
Ini berarti para ilmuwan akan lebih mempelajari batas-batas kehidupan di berbagai kondisi, termasuk di planet luar Bumi.
"Kami mengumpulkan data literatur tentang organisme ekstrem, mulai dari serangga yang hidup di Himalaya pada ketinggian tinggi dan suhu rendah hingga mikroorganisme yang tumbuh subur di ventilasi hidrotermal di dasar laut dan memakan energi kimia," ujar Apai.
"Kami meneliti, melalui model kami, apakah bakteri tersebut dapat bertahan hidup di bawah permukaan Mars," tambahnya.
Dengan model pendekatan baru, peneliti juga akan menyelidiki organisme ekstrem di Bumi yang berpotensi bisa bertahan hidup di planet ekstrasurya yang diketahui oleh ilmuwan.
(faz/nwk)