Banyak ikan masih hidup saat dipajang di pasar, swalayan, atau gerobak sayur. Namun, sebagian pedagang membiarkan ikan tersebut diletakkan di luar air, baik di meja ataupun kotak, sampai kehabisan napas dan mati. Apakah ikan merasakan sakit saat akan mati?
Studi terbaru di jurnal Scientific Reports mengungkapkan, ikan merasakan sakit selama proses kematiannya. Hasil studi ini didasarkan pada penelitian terhadap ikan trout pelangi (Oncorhynchus mykiss) yang mati akibat asfiksia udara atau kehabisan oksigen.
Studi ini menunjukkan, ikan trout pelangi menahan rasa sakit hebat selama rata-rata 10 menit selama asfiksia udara. Kisaran rasa sakit ini dialami mulai dari 2-22 menit, bergantung pada faktor ukuran ikan dan suhu air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, praktik penumpukan ikan dan pengangkutannya cenderung meningkatkan penderitaan ikan yang lebih besar daripada kehabisan napas hingga mati itu sendiri.
Cara Meningkatkan Kesejahteraan Ikan
Untuk meningkatkan kesejahteraan hewan sebelum mati dan dikonsumsi, peneliti menawarkan langkah agar ikan dapat mati dengan sejahtera dan dengan biaya efektif.
Salah satunya yakni pemingsanan listrik dengan benar. Cara ini diperkirakan dapat mencegah 1-20 jam rasa sakit sedang sampai ekstrem per USD 1 (Rp 16,2 ribu) biaya modal.
Agar pemingsanan ini manusiawi dan efektif, ikan harus segera pingsan setelah proses pemingsanan dan tetap pingsan sampai mati. Menurut peneliti, dari segi kesejahteraan, pemingsanan dengan listrik dan perkusi (dipukul) hanya bisa etis dan efektif jika diterapkan dengan benar.
Untuk itu, pemingsanan listrik tidak boleh hanya sementara sehingga ikan sadar lagi. Pemingsanan juga tidak boleh membuat ikan hanya tidak bisa bergerak, tapi kesadarannya tetap penuh. Alat pemingsanan perkusi juga harus dikalibrasi dengan benar agar efektif.
Justru Sakit di Dalam Kotak Es
Sementara itu, asfiksia atau membuat ikan kehilangan napas dalam es atau pendingin dinilai justru bukan pemingsanan manusiawi bagi ikan trout. Cara ini justru membuat ikan lebih sakit dari yang diperkirakan. Sebab, spesies air dingin ini lebih tahan di suhu dingin, sehingga masih sadar kendati ditempatkan di kotak bersuhu 4 derajat C.
Peneliti mendapati, memasukkan ikan trout pelangi hidup ke peti pendingin justru membuat beban tambahan baginya, mulai dari kerusakan jaringan hidup-hidup karena pembentukan kristal, es, syok termal karena perubahan suhu tiba-tiba, dan tekanan fisik dari es. Perlambatan proses metabolisme di suhu rendah bisa membuatnya lebih lama untuk bisa kehilangan kesadaran, seperti yang dialami ikan kakap putih (seabass) dan ikan kakap laut (seabream).
Mengukur Kesejahteraan Hewan
Konseptor Dr Wladimis Alonsor dari Center for Welfare Metrics mengembangkan Welfare Footprint Framework (WFF/Kerangka Jejak Kesejahteraan). Metode ini mengukur kesejahteraan hewan dengan memperkirakan total waktu hewan mengalami penderitaan atau kesejahteraan dalam berbagai kondisi.
Hasil pengukuran dituangkan ke dalam nilai berbasis waktu pada pengalaman subjektif. Cara ini memungkinkan WFF mengetahui perbandingan langsung antara berbagai intervensi kesejahteraan hewan, seperti lingkungan, atau dampak kesehatan akibat ulah manusia, dalam istilah yang mudah dipahami siapa pun.
"Kerangka Jejak Kesejahteraan menyediakan pendekatan berbasis bukti yang ketat dan transparan untuk mengukur kesejahteraan hewan, dan memungkinkan pengambilan keputusan yang tepat tentang di mana mengalokasikan sumber daya untuk dampak terbesar," kata Alonso, dilansir dari Phys.org
Peneliti berpendapat, hasil studi ini dapat bantu membentuk diskusi regulasi, meningkatkan standar sertifikasi, dan memandu investasi kesejahteraan ikan yang paling efektif dan cost-effective.
Hasil studi Cynthia Schuck-Paim dan rekan-rekan ini dipublikasi dengan judul "Quantifying the welfare impact of air asphyxia in rainbow trout slaughter for policy and practice" di Scientific Reports, 5 Juni 2025.
(twu/nah)