Asal-usul Ungkapan Sugar Rush, Berkaitan dengan Mitos Budaya Amerika

ADVERTISEMENT

Asal-usul Ungkapan Sugar Rush, Berkaitan dengan Mitos Budaya Amerika

Devita Savitri - detikEdu
Kamis, 10 Apr 2025 08:30 WIB
Sugar Rush by Steph
Foto: Instagram Sugar Rush by Steph
Jakarta -

Ungkapan "sugar rush" atau "demam gula" menjadi suatu hal yang sering terdengar. Keadaan ini mendorong orang tua dan guru merebut permen dari anak-anak.

Karena ketika anak memakan terlalu banyak gula, mereka akan segera berperilaku hiperaktif dan tak terkendali. Tapi apakah ini dijelaskan dalam sebuah studi atau ilmu pengetahuan?

Ternyata jawabannya tidak. Sugar rush adalah sebuah mitos yang telah dianut budaya Amerika selama beberapa dekade.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mengetahui bagaimana dan mengapa mitos itu dimulai, kita harus kembali ke tahun 1970-an ketika masa sebelum Perang Dunia pertama. Dikutip dari Mental Floss, berikut penjelasannya.

Asal Usul Mitos Sugar Rush

Gagasan bahwa gula menyebabkan hiperaktivitas mulai berkembang pada awal tahun 1970-an. Saat itu ilmuwan tengah memperhatikan hubungan bagaimana pola makan dapat memengaruhi perilaku.

ADVERTISEMENT

Salah satu tokoh utama yang mempelajari kemungkinan hubungan antara pola makan dan perilaku adalah seorang ahli alergi, Benjamin Feingold. Ia berhipotesis bahwa bahan tambahan makanan tertentu, termasuk pewarna dan perasa buatan dapat menyebabkan hiperaktivitas.

Untuk menghindari hal tersebut, Feingold membuat program diet yang populer namun kontroversial. Meskipun makanan manis tertentu dilarang dari program tersebut karena mengandung pewarna dan perasa, gula sendiri tidak pernah dilarang secara resmi.

Berkat sebagian dari diet Feingold, gula mulai menjadi ikon diet dan hiperaktivitas. Baru pada akhir tahun 1980-an, keraguan serius tentang hubungan gula dan hiperaktivitas mulai muncul di kalangan ilmuwan.

Salah satunya dijabarkan oleh sejarawan FDA, Suzanne White Junod pada 2003. Laporan Ahli Bedah Umum tentang Gizi dan Kesehatan tahun 1988 menyimpulkan bahwa:

"Dugaan hubungan antara konsumsi gula dan gangguan hiperaktivitas/defisit perhatian pada anak-anak belum didukung secara ilmiah."

Meskipun para ibu selalu melarang anak makan makanan manis sebelum makan malam, dugaan yang lebih serius tentang konsekuensi buruk pada anak-anak belum melewati pemeriksaan ilmiah.

Studi lain terbit pada 1994. Para ilmuwan menemukan bahwa aspartam (pemanis buatan yang dituduh menyebabkan hiperaktif pada anak-anak) tidak berpengaruh pada 15 anak penerima ADHD. Meskipun mereka telah mengonsumsi 10 kali lebih banyak dari jumlah biasanya.

Setahun kemudian, Journal of the American Medical Association menerbitkan meta-analisis tentang dampak gula pada perilaku dan kognisi anak-anak. Analisis tersebut meneliti data dari 23 penelitian sebelumnya.

Dalam setiap penelitian, beberapa anak diberi gula dan yang lainnya diberi plasebo/pemanis buatan. Baik peneliti maupun anak-anak tidak tahu siapa yang menerima gula asli.

Penelitian tersebut melibatkan anak-anak neurotypical, anak-anak dengan ADHD, dan kelompok yang "sensitif" terhadap gula, menurut orang tua mereka.

Analisis tersebut menemukan bahwa "gula tidak memengaruhi perilaku atau kinerja kognitif anak-anak". Penulis studi mencatat bahwa sedikit dampak gula atau dampak pada sebagian kecil anak-anak juga tidak dapat dikesampingkan.

Profesor emeritus pediatri di University of Oklahoma Health Sciences Center, Mark Wolraich menyatakan sejauh ini semua studi ilmiah terkontrol dengan baik. Terutama penelitian yang berkaitan dengan gula dan perilaku pada anak-anak.

"Sejauh ini, semua studi ilmiah terkontrol dengan baik yang meneliti hubungan antara gula dan perilaku pada anak-anak belum mampu membuktikannya," ujar Wolraich.

Namun, mitos bahwa mengonsumsi gula menyebabkan hiperaktif belum sepenuhnya hilang. Salah satunya karena ada efek plasebo.

Gagasan bahwa anak-anak maupun orang dewasa mungkin merasakan lonjakan gula karena terlalu banyak mengonsumsi permen, tidak jauh berbeda dengan dorongan yang dirasakan dari minuman berenergi atau minuman pengganti makanan.

Hal yang sama berlaku bagi orang tua yang mengklaim bahwa anak-anak mereka tampak hiperaktif di sebuah pesta. Tekanan teman sebaya dan kegembiraan tampaknya menjadi penyebabnya, bukan gula.

"Keyakinan kuat orang tua terhadap dampak gula pada perilaku anak mungkin disebabkan oleh harapan dan asosiasi umum," kata Wolraich lebih lanjut.

Penelitian tentang gula tidak berhenti. Ada penelitian yang dilakukan oleh Harvard yang mengetahui efek jangka panjang gula menggunakan data dari Project Viva.

Project Viva adalah sebuah studi observasional besar terhadap wanita hamil, ibu, dan anak-anak. Sebuah makalah tahun 2018 di American Journal of Preventive Medicine mempelajari lebih dari 1.200 ibu dan anak.

Para peneliti menilai pola makan ibu selama kehamilan dan kesehatan anak-anak mereka selama masa pertumbuhan. Hasilnya ditemukan bila konsumsi gula terutama dari minuman manis selama kehamilan dan anak-anak dapat berdampak buruk pada kemampuan kognitif anak.

Tetapi ada catatan tertentu di mana adanya faktor lain yang dapat menjelaskan hubungan tersebut. Wolraich menilai desain penelitian ini dapat melihat hubungan, sayangnya tidak bisa menentukan sebab dan akibat.

"Ada kemungkinan yang sama bahwa orang tua dari anak-anak dengan kognisi yang lebih rendah cenderung menyebabkan konsumsi gula atau minuman diet yang lebih banyak. Atau bahwa ada faktor ketiga yang memengaruhi kognisi dan konsumsi," tandasnya.

Sugar Rush, Hanya Ada di Pikiran

Meskipun banyak bukti yang menentang sugar rush cukup kuat, keadaan "kecelakaan gula" nyata terjadi. Kendati demikian, hal ini hanya memengaruhi orang-orang yang menderita diabetes.

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, gula darah rendah atau hipoglikemia merupakan kondisi medis serius. Ketika banyak gula memasuki aliran darah, kadar gula dapat melonjak dan bisa berbahaya.

Tetapi jika kadar gula pada penderita diabetes terlalu rendah, ia akan mengalami gemetar, kelelahan, dan lainnya. Hipoglikemia yang parah bahkan dapat menyebabkan kejang bahkan koma,

Namun bagi kebanyakan orang, hal ini jarang terjadi. Wolraich menyebutkan jika seseorang berolahraga dengan keras dan tidak memiliki asupan yang cukup, maka mereka bisa pusing.

"Namun dalam kebanyakan kasus, tubuh pandai mengatur kebutuhan seseorang," bebernya.

Jadi apa yang dikaitkan dengan gula, termasuk rasa senang dan sedihnya yang timbul karena sugar rush, bisa jadi tidak nyata. Mungkin semuanya itu hanya pikiranmu semata.




(det/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads