Idul Fitri bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga menjadi ajang mempererat hubungan keluarga dan kerabat. Tradisi silaturahmi menciptakan suasana hangat penuh kebersamaan.
Namun, di balik momen ini, acapkali muncul pertanyaan-pertanyaan personal seputar kehidupan individu, seperti status hubungan, pekerjaan, atau rencana masa depan. Pertanyaan model ini kadang dianggap lumrah, tapi ada juga yang merasa risih mendengarnya.
Menurut Atika Dian Ariana MSc MPsi, Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair), fenomena ini berkaitan dengan budaya kolektivistik yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Dalam budaya ini, kepentingan individu dianggap sebagai bagian dari kepentingan bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atika menilai bila dilihat secara positif, hal ini menunjukkan rasa peduli dan perhatian terhadap orang lain. Mereka ingin memastikan orang yang mereka ajak bicara dalam kondisi baik dan mengalami perkembangan dari tahun sebelumnya.
"Akan tetapi, dalam konteks negatif, hal ini dianggap kepo dan melanggar batas privasi, itu yang kemudian menjadi persoalan," ujarnya dalam keterangan tertulis Unair yang dikutip detikedu.
Dampak Psikologis bagi Individu
Atika berpendapat pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat menurunkan ekspektasi sosial seseorang saat berinteraksi. Munculnya pertanyaan yang tidak dikehendaki sebenarnya dapat memunculkan kekecewaan.
"Apalagi ketika apa yang ditanyakan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang sudah membebani kita," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa individu bisa mengalami rasa traumatis dan tekanan emosional jika ditanya tentang hal yang sedang menjadi beban bagi mereka. Misalnya, seseorang sedang berjuang menyelesaikan skripsi atau terpaksa berhenti kuliah karena alasan tertentu.
"Bisa saja seseorang itu sedang berjuang dengan skripsinya atau karena satu dan lain hal memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan. Jadi kondisinya dia sedang tidak mengikuti kegiatan akademik apapun dalam konteks yang tidak menyenangkan. Ketika itu ditanya akan membangkitkan rasa tidak nyaman dan sedih," katanya.
Cara Menghadapi Pertanyaan Personal
Ada dua cara utama dalam menyikapi emosi yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut, yakni dengan respons fight (menghadapi) atau flight (menghindar).
Dalam beberapa situasi, menghindar bukanlah pilihan, seperti saat menghadiri reuni keluarga besar. Oleh karena itu, lebih baik menghadapi dengan menyiapkan jawaban terlebih dahulu.
"Salah satu cara fight-nya, yaitu menyiapkan jawaban, tetapi tentu ini perlu dipertimbangkan apakah jawaban kita akan membuat lawan bicara tidak bertanya lebih lanjut atau justru bertanya semakin personal. Jadi yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri sedini mungkin sebelum kita mengikuti event sosial dan mengelola ekspektasi kita," katanya.
Selain itu, jika pertanyaan tersebut masih menimbulkan ketidaknyamanan, individu dapat menggunakan teknik grounding untuk menenangkan diri. Teknik ini melibatkan aktivitas pancaindra, seperti mengatur pernapasan, berjalan-jalan, atau beristirahat.
Sebagai penutup, Atika menegaskan bahwa meskipun kita tidak bisa mengontrol pertanyaan yang diajukan oleh orang lain, kita tetap memiliki kendali atas cara kita meresponsnya.
"Tidak semua pertanyaan harus kita jawab, kita perlu melihat juga siapa yang bertanya. Kita bisa menjawab dengan senyum atau dengan kata 'oke', yang maksudnya menjawab dengan jawaban yang sifatnya permukaan juga untuk orang yang tidak terlalu kita kenal," ujarnya.
(pal/pal)