Agus Salim, Diplomat Ulung Tanah Air yang 'Mengalahkan' Belanda di Sidang PBB

ADVERTISEMENT

Agus Salim, Diplomat Ulung Tanah Air yang 'Mengalahkan' Belanda di Sidang PBB

Fahri Zulfikar - detikEdu
Rabu, 05 Mar 2025 06:00 WIB
ilustrasi agus salim
Foto: Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/KH Agus Salim
Jakarta -

Indonesia pernah memiliki seorang diplomat ulung yang diakui dalam kancah global. Pada 1947, ia bahkan memupuskan harapan Belanda atas klaim koloni di Tanah Air.

Tokoh diplomat yang dimaksud ialah Agus Salim. Ia menjadi salah satu tokoh yang memiliki peran penting pada awal kemerdekaan Indonesia, mulai dari di Panitia Sembilan dalam BPUPKI hingga mewakili Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mengutip Ensiklopedi Pahlawan: Semangat Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan susunan R Toto Sugiarto, Agus Salim lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Tokoh satu ini memiliki nama asli yakni Mashadul Haq yang berarti pembela kebenaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tumbuh di lingkungan berpendidikan, sejak kecil Agus Salim sudah menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda.

Berkat ketekunannya dalam dunia pendidikan dan keilmuan, kelak ia akan dikenal sebagai intelektual muslim yang menguasai sedikitnya 7 bahasa asing (Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman).

ADVERTISEMENT

Pendidikan dan Karier Awalnya di Pergerakan Masyarakat

Memulai usia saat berusia 7 tahun, Agus Salim menempuh pendidikan tingkat dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian setelah lulus, melanjutkan studi ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia.

Ia berhasil lulus dari HBS pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Pada usia 30-an awal, kariernya di dunia pergerakan dimulai. Pada 1915, ia bergabung dengan sebuah organisasi perkumpulan pedagang bernama Sarekat Islam (SI) sebagai perwakilan Volksraad (Dewan Rakyat) bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis, demikian dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Aliyah Kelas 12 karya Imam Subchi dan Djedjen Zainuddin.

Pada tahun ini juga, ia juga menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi Redaktur II di Harian Neratja. Kariernya di jurnalistik mengantarkannya sampai menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.

Tak hanya itu, ia juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta.

Pada 1919, Agus Salim dan Semaun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh untuk menuntut Belanda mendirikan Dewan Perwakilan Rakyat yang benar-benar mendengarkan suara rakyat.

Pada masa ini, ia pernah mengorganisasi pemogokan buruh di Surabaya, Cirebon, dan Semarang, untuk menuntut kenaikan gaji.

Posisinya di SI pada akhirnya berakhir setelah ia mundur karena kecewa pada pemerintah Belanda. Tahun 1923 SI mulai terpecah menjadi dua sisi, yakni sisi Semaun dan Darsono yang menginginkan SI lebih condong ke arah sosialisme dan komunisme, sedangkan Agus Salim dan HOS Cokroaminoto menolaknya.

Dampaknya, SI kemudian terbelah menjadi dua, yakni Sarekat Rakyat yang nantinya berubah menjadi PKI dan Sarekat Islam yang masih dipimpin oleh Haji Agus Salim.

Perjuangan pada Awal Kemerdekaan-Menjadi Diplomat Ulung RI

Jelang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim turut berperan penting dalam merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin Soekarno.

Setelah Indonesia merdeka, ia didapuk menjadi Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II dan Sjahrir III (1946-1947). Kariernya sebagai diplomat yang dikenal kalangan internasional pun dimulai.

Pada 1947, ia mewakili Indonesia dalam sidang PBB di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Indonesia akan menghadapi Belanda atas konflik dengan Belanda (Agresi Militer I).

Kala itu, situasi internasional tidak menguntungkan Indonesia. Sebab, Belanda masih bersikeras mempertahankan klaimnya atas bekas koloni (di Tanah Air).

Namun, Agus Salim mempersiapkan diri ke sidang tersebut dengan kecerdasan diplomasinya. Ia menyusun strategi dengan argumen kuat untuk membela posisi Indonesia dan menggalang dukungan dari negara-negara anggota PBB.

Menurut buku Agus Salim, Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia karya Yanuar Arifin, Agus Salim menyusun kekuatan diplomasi dengan melakukan perjalanan ke negara-negara Arab. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan pengakuan secara de jure atas kemerdekaan Indonesia.

Pada masa itu, negara-negara Arab memiliki pengaruh politik yang kuat di kancah internasional. Oleh karena itu, dukungan dari mereka sangat penting untuk Indonesia.

Akhirnya, kepiawaian Agus Salim dalam urusan diplomasi mulai terlihat. Pada 10 Juni 1947, Indonesia dan Mesir menandatangani perjanjian persahabatan yang sekaligus menandai pengakuan de jure pertama atas kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini disusul oleh negara Timur Tengah lainnya.

Indonesia menjalin perjanjian persahabatan dengan negara-negara Arab lainnya, termasuk Lebanon pada 29 Juni 1947, Suriah pada 2 Juli 1947, Irak pada 16 Juli 1947, Arab Saudi pada 24 November 1947, dan Yaman pada 3 Mei 1948. Setiap perjanjian ini memperkuat posisi Indonesia di arena internasional.

Kondisi ini membuat Belanda marah. Namun, situasi Indonesia telah berada di posisi kuat karena telah menciptakan dukungan dari negara-negara anggota PBB dan menciptakan blokade terhadap upaya Belanda untuk mempertahankan kontrol.

Setelah dukungan dari Timur Tengah didapatkan, Agus Salim dan delegasi Indonesia melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat. Pada 10 Agustus 1947, Agus Salim dan tim tiba di New York dan mengajukan permohonan kunjungan resmi kepada Dewan Keamanan PBB.

Selama di New York, Agus Salim dan delegasi Indonesia, yang terdiri atas tokoh-tokoh penting, seperti Sutan Syahrir, Soedjatmoko, Charles Tambu, dan Sumitro Djojohadikusumo, berhasil meyakinkan sebagian besar negara anggota PBB tentang kedaulatan Indonesia.

Mereka menunjukkan bukti-bukti eksploitasi yang dilakukan Belanda, serta menyampaikan argumen yang kuat mengenai hak-hak Indonesia untuk merdeka.

Akhirnya, diplomasi yang dilakukan Agus Salim dan tim dalam forum PBB menghasilkan resolusi yang menentang agresi militer Belanda (21 Juli-5 Agustus 1947) dan mendukung gencatan senjata.

Atas kepiawaiannya dalam diplomasi di panggung internasional, Agus Salim yang kala itu sudah tak muda lagi, dijuluki dengan "The Grand Old Man".




(faz/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads