Jejak Pahlawan Nasional Haji Agus Salim dalam Buku The Grand Old Man

ADVERTISEMENT

Jejak Pahlawan Nasional Haji Agus Salim dalam Buku The Grand Old Man

Nikita Rosa - detikEdu
Senin, 02 Des 2024 18:00 WIB
Haji - Agus Salim
KH Agus Salim. (Foto: Andhyka Akbariansyah)
Jakarta -

Yayasan Haji Agus Salim dan keluarga besar Haji Agus Salim resmi meluncurkan buku The Grand Old Man-Jurnalis, Ulama, Diplomat pada Sabtu (30/11). Peluncuran ini dalam rangka memperingati 70 tahun wafatnya Haji Agus Salim.

Peringatan hari kematian Haji Agus Salim diketahui telah menjadi tradisi sejak 29 Januari tahun 1955, yaitu semenjak didirikannya Yayasan Hadji Agus Salim. Dalam peringatan ke-70 tahun ini, yayasan maupun pihak keluarga meluncurkan sebuah buku yang berisi gabungan tulisan-tulisan mengenai sepak terjang Haji Agus Salim.

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2006-2010 dan 2010-2015, Komaruddin Hidayat, mengatakan jika Haji Agus Salim adalah akar Indonesia. Sosoknya yang merupakan putra daerah memiliki cita-cita mulia dalam menumbuhkan visi Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia dalam keadaan sulit tahun 1960-an, bisa dipahami di Cornell University berkat lobi Haji Agus Salim," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima, ditulis Senin (2/12/2024).

Menurutnya, generasi muda sekarang ini kurang mengetahui tentang jasa Haji Agus Salim dalam memunculkan bahasa nasional Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Maka tokoh-tokoh lama harus diperkenalkan pada era sekarang ini. Di mana situasi global mereka tidak jelas, rumah asal dan asal-usul tidak jelas, ini harus diperhatikan," tegasnya.

Cucu Mohammad Hatta sekaligus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009, Meutia Hatta, mengenang Agus Salim sebagai sosok yang menerima dan mengayomi anak muda. Berkat kontribusinya, Meutia menegaskan jika jasa Agus Salim tidak bisa dilupakan.

"Saat ini sedikitnya anak muda yang mengenal sosok Haji Agus Salim tidak dapat dibiarkan. Direktorat sejarah harus dihidupkan lagi sebab penghilangan sejarah bangsa sama sekali tidak dapat dibenarkan," ujarnya.

Profil Kiai Haji Agus Salim

Kiai Haji (KH) Agus Salim merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Sosok yang lahir dengan nama Mashadul Haq di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884 ini juga merupakan intelektual Islam.

Mengutip Ensiklopedi Pahlawan: Semangat Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan susunan R Toto Sugiarto, Agus Salim adalah anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Kedudukan ayahnya yang cukup disegani memudahkan Agus Salim belajar di sekolah-sekolah Belanda.

Semasa muda, Agus Salim menguasai sedikitnya 7 bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903, Agus Salim lulus dari Hogere Burgerschool (HBS) di usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Menurut buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan oleh Maulana Arafat Lubis dkk, semasa hidupnya ia menjadi Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia pada 1929. Bersama Semaun, ia mendirikan Persatuan Pergerakan Buruh pada 1919.

Keduanya gigih menuntut pemerintah kolonial Hindia Belanda agar membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Agus Salim berperan sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan dalam BPUPKI.

Agus Salim beberapa kali berganti profesi. Awalnya, ia bekerja sebagai penerjemah dan kemudian pembantu notaris. Sesudahnya, ia merantau ke Indragiri dan Riau hingga akhirnya ke Jeddah, Arab Saudi.

Di Arab, Agus Salim mempelajari Islam secara mendalam sambil bekerja di kantor konsulat Belanda. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mempelajari seluk-beluk diplomasi internasional.

Berkat ilmu dan pengalamannya, Agus Salim dikenal sebagai diplomat ulung Indonesia dan disegani di kancah Internasional. Bakatnya dalam menguasai bahasa asing juga membuat sosoknya menonjol.

Pada masa awal kemerdekaan, Agus Salim turut berperan dalam merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin Soekarno. Jasanya yang paling penting adalah misi diplomatiknya yang memperkenalkan negara Indonesia ke luar.

Puncak kemenangan diplomasi Indonesia adalah perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Kepiawaian Agus Salim berdiplomasi ini pun terus dilakukan saat ia menjadi menteri luar negeri di masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta.

Kiprahnya di forum internasional tercatat pada 23 Maret 1947 ketika dirinya ditunjuk sebagai wakil ketua Delegasi RI di Inter-Asian Relations Conference di India. Konferensi tersebut diselenggarakan atas prakarsa Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru.

Di kalangan diplomatik, Agus Salim dikenal dengan julukan "The Grand Old Man" yakni sebuah bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Julukan itulah yang kemudian disematkan sebagai judul buku ini.




(nir/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads