Mati karena Patah Hati? Begini Pandangan Sains

ADVERTISEMENT

Mati karena Patah Hati? Begini Pandangan Sains

Pasti Liberti Mappapa - detikEdu
Rabu, 05 Feb 2025 06:30 WIB
Patah hati.
Ilustrasi patah hati Foto: Kelly Sikkema/ Unsplash
Jakarta -

Mati karena patah hati merupakan salah satu tema yang populer dalam literatur fiksi. Salah satunya digambarkan dalam naskah drama karangan pujangga ternama William Shakespeare berjudul King Lear.

Salah satu plot dalam drama tersebut, sang raja disebut wafat karena mendengar putri bungsunya Cordelia meninggal dunia. Cordelia adalah putri kesayangan Raja Lear.

Namun, para dokter baru mulai mendokumentasikan kasus nyata pada tahun 1960-an, kata Trisha Singh, seorang ahli jantung di University Hospitals Dorset di Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasanya, kematian akibat patah hati digambarkan sebagai kematian seorang wanita tua atau setengah baya yang baru saja kehilangan orang yang dicintainya, dan sehari atau lebih setelahnya, ia meninggal karena patah hati," ujar Trisha dikutip dari ScienceNews.

Seiring dengan kemajuan teknologi pencitraan, dokter dapat langsung mempelajari jantung pasien yang menderita penyakit tersebut. Pada banyak pasien, ventrikel kiri atau bilik yang memompa darah beroksigen ke tubuh menggelembung.

ADVERTISEMENT

Bentuknya mengingatkan dokter Jepang pada takotsubo, bejana bundar untuk menangkap lobster dan gurita.

Pada tahun 1990, ahli jantung Hikaru Sato dan rekan-rekannya di Rumah Sakit Kota Hiroshima mengusulkan istilah takotsubo untuk menggambarkan kondisi tersebut.

Hanya saja, apa yang memicu sindrom takotsubo ini masih menjadi misteri. Salah satu hipotesisnya adalah bahwa peristiwa traumatis akut menyebabkan lonjakan hormon stres seperti norepinefrin di otak dan epinefrin di kelenjar adrenal.

Karena ventrikel kiri sangat kaya akan reseptor untuk bahan kimia ini, banjir yang tiba-tiba dapat menyebabkan otot yang kencang dan elastis menjadi kendur dan bengkak, sehingga tidak mampu mengalirkan cukup darah ke tubuh.

Hipotesis lainnya adalah bahwa respons stres "mengejutkan" jantung untuk sementara waktu. Dengan sebagian besar kasus yang diamati pada wanita pascamenopause, ada kemungkinan juga bahwa berkurangnya estrogen berperan.

Meski dapat menyebabkan kematian, sindrom takotsubo berlangsung sangat singkat. Angka kematian dalam kasus ini pun terbilang kecil. Sekitar 4 persen penderita meninggal, sementara sekitar 75 persen pulih sepenuhnya setelah 10 hari. Banyak yang pulih hanya setelah 48 hingga 72 jam. "Ini benar-benar luar biasa," kata Trisha.

Ia melanjutkan, "Saya ingat melihat seorang wanita yang datang, dan fungsi ventrikel kirinya sangat terganggu, dan saya kembali dan memindai ulang enam jam kemudian, dan kondisinya berubah dari sangat terganggu menjadi hampir sedikit terganggu hingga hampir normal."

Ahli jantung Peter Rahko dari University of Wisconsin-Madison pernah menangani kasus serupa ketika seorang perempuan tiba-tiba merasakan nyeri dada parah saat mendengar putranya meninggal.

Setelah memasukkan kateter ke jantung perempuan tersebut untuk melihat apakah ada penyumbatan, yang mengejutkan arterinya normal tapi fungsi jantung berkurang drastis.

Rahko mengatakan orang yang mengalami "patah hati" tersebut bisa pulih dengan sendirinya setelah mendapatkan perawatan medis standar.




(pal/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads