Ilmuwan dunia terus mencari cara mengatasi perubahan iklim dengan menangkap sebanyak mungkin karbon di atmosfer. Terbaru, ilmuwan menemukan cara menangkap karbon dengan memanfaatkan kotoran dari makhluk mikroskopis yang sangat kecil.
Seperti yang diketahui, bahwa dunia tengah dihadapkan pada kondisi darurat terkait perubahan iklim. Kerusakan alam hingga hilangnya hutan alami di berbagai negara termasuk Indonesia, menjadi sorotan lantaran fungsi pohon yang seharusnya bisa menyerap karbon.
Studi pada 2023 menyebutkan bahwa jumlah karbon global yang diserap pohon telah menurun. Jika kerusakan lahan di tanah terus berlanjut, peneliti mengatakan pemanasan global akan terus meningkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memanfaatkan Makhluk Mikroskopis
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Dartmouth College di Amerika Serikat, menemukan bahwa dengan menggunakan triliunan makhluk mikroskopis, seperti zooplankton dapat membantu alam mempercepat penyerapan karbon dioksida dari atmosfer.
Menurut peneliti, beberapa hewan terkecil di dunia dan kotorannya yang kecil dapat membantu upaya melawan perubahan iklim. Untuk memanfaatkan hal tersebut, dilakukan langkah yakni dengan menyemprotkan debu tanah liat ke permukaan air laut.
Nantinya, debu akan mengubah partikulat karbon yang mengambang bebas menjadi makanan bagi zooplankton, yang kemudian disimpan oleh hewan mikroskopis jauh ke dalam laut sebagai kotoran.
Partikel tersebut merupakan sisa karbon dioksida yang dikeluarkan dari atmosfer oleh tumbuhan laut dan masuk kembali ke atmosfer ketika tumbuhan tersebut mati. Metode baru ini mengalihkan karbon ke rantai makanan laut.
Cara semacam ini disebut sebagai "pompa biologis" lautan, yaitu proses alami yang membantu menghilangkan karbon melalui ekosistem laut.
Bukti Kotoran Kecil di Laut Bisa Menyerap Karbon
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Scientific Reports, tim peneliti menemukan bahwa debu tanah liat dapat menempel pada karbon organik dan mengarahkannya ke rantai makanan laut dalam bentuk pelet kecil yang dikonsumsi oleh zooplankton.
"Hal baru dari metode kami adalah menggunakan debu tanah liat untuk membuat pompa biologis lebih efisien. Zooplankton menghasilkan kotoran bermuatan tanah liat yang tenggelam lebih cepat," kata Mukul Sharma, penulis utama studi ini dan seorang profesor ilmu Bumi di Dartmouth College, dilansir Science Daily.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa zooplankton yang memiliki nafsu makan besar, berperan penting dalam mempercepat proses ini.
"Ketika mereka memakan partikel karbon yang bercampur dengan tanah liat, mereka mengeluarkannya dalam bentuk kotoran yang akan tenggelam lebih cepat dan membawa karbon jauh ke dalam laut," imbuhnya.
Eksperimen peneliti menunjukkan bahwa debu tanah liat menangkap sebanyak 50% karbon dari fitoplankton yang mati sebelum kembali ke atmosfer.
Penambahan tanah liat juga meningkatkan konsentrasi partikel organik yang lengket hingga 10 kali lipat. Hal ini akan mengumpulkan lebih banyak karbon saat tenggelam.
Dengan migrasi vertikal harian yang dilakukan oleh zooplankton, gumpalan karbon tanah liat ini bisa dibawa ke kedalaman laut lebih cepat.
Setiap malam, zooplankton naik dari kedalaman laut untuk mencari makan di dekat permukaan dan kembali ke kedalaman dengan membawa karbon yang telah mereka makan. Proses ini membantu mempercepat transportasi karbon ke kedalaman laut, yang dikenal dengan nama transpor aktif.
Pengujian Metode di California Selatan
Sharma dan timnya berencana untuk menguji metode ini di lapangan dengan menyemprotkan tanah liat ke pertumbuhan fitoplankton di lepas pantai California Selatan menggunakan pesawat terbang penyemprotan tanaman.
Mereka akan menggunakan sensor yang ditempatkan pada berbagai kedalaman laut untuk memantau bagaimana zooplankton mengonsumsi gumpalan tanah liat-karbon dan seberapa banyak karbon yang dapat 'dikubur' di kedalaman laut.
"Sangat penting untuk menemukan lokasi oseanografi yang tepat untuk melakukan pekerjaan ini. Anda tidak bisa seenaknya membuang debu tanah liat ke mana-mana," ujar Sharma.
"Kita perlu memahami efisiensi terlebih dahulu pada kedalaman yang berbeda sehingga kita dapat memahami tempat terbaik untuk memulai proses ini sebelum kita mulai bekerja," pungkasnya.
(faz/faz)