Dunia dikejutkan dengan kecelakaan pesa1awat paling mematikan di tanah Korea Selatan pada akhir tahun 2024. Pada Minggu, 29 Desember 2024 pesawat Jeju Air 8C 2216 gagal mendarat dan bertabrakan dengan tembok pembatas di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan.
Sekitar 179 orang dikabarkan meninggal dunia pada peristiwa tersebut. Hingga saat ini, otoritas setempat menjelaskan serangan burung atau bird strike menjadi penyebab kecelakaan.
"Penyebab kecelakaan diduga akibat serangan burung yang dikombinasikan dengan kondisi cuaca buruk. Namun, penyebab pastinya akan diumumkan setelah penyelidikan bersama," kata kepala pemadam kebakaran Muan Lee Jeong-hyun dikutip dari Hindustan Times, Senin (30/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Bird Strike?
Bird Strike atau serangan/tabrakan burung pada pesawat menjadi isu yang relatif umum terjadi di dunia penerbangan pesawat. Kejadian ini bisa terjadi ketika pesawat sedang terbang, lepas landas, atau mendarat.
The Conversation menjelaskan peristiwa bird strike pertama kali tercatat pada 1905 oleh Orville Wright di ladang jagung Ohio, Amerika Serikat. Kejadian ini relatif umum karena pola migrasi burung.
Bird Strike Committee Amerika Serikat, melaporkan ada tiga jenis burung yang mewakili 75% bird strike. Yakni unggas air/angsa (31%), burung camar (26%), dan burung pemangsa (18%).
Sebagian besar bird strike terjadi pada pagi atau saat matahari terbenam. Saat ini dinilai adalah waktu burung paling aktif.
Untuk itu pilot dilatih untuk waspada selama kurun waktu ini. Kini sudah ada teknologi radar yang dapat digunakan untuk melacak kawanan burung.
Tetapi teknologi ini terjadi tidak tersedia di seluruh dunia. Sehingga lembaga penerbangan tidak seluruhnya menggunakan teknologi ini.
Seberapa Bahaya Bird Strike?
Menurut data Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO) sebanyak 90% tabrakan burung terjadi di dekat bandara. Umumnya, karena pesawat lepas landas, mendarat, atau terbang di ketinggian rendah tempat sebagian besar aktivitas burung terjadi.
Dampak dari tabrakan/serangan burung tergantung pada banyak faktor, termasuk jenis pesawat. Salah satunya bisa membuat mesin pesawat mati.
Dalam kebanyakan kasus, burung menabrakan kaca depan pesawat atau terbang ke mesin. Ketika burung masuk mesin, tenaga mesin akan terganggu dan mengharuskan pendaratan darurat atau kecelakaan.
Pada pesawat kecil terutama bermesin tunggal, tabrakan burung dapat berakibat fatal. Sejak tahun 1988, lebih dari 262 kematian akibat tabrakan dengan burung telah dilaporkan di seluruh dunia. Dari jumlah itu lebih dari 250 pesawat dinyatakan hancur.
Melansir The Guardian, insiden bird strike terus meningkat menjadi 152 kasus pada 2023. Beberapa pihak menduga peningkatan tersebut dapat dikaitkan dengan perubahan iklim.
Karena perubahan iklim, terjadi pergeseran waktu proses migrasi burung. Terutama spesies burung yang muncul di bandara.
Burung yang Menabrak Jeju Air
Dosen senior operasi penerbangan dari Universitas Buckinghamshire Inggris, Marco Chan menjelaskan tabrakan dengan burung merupakan risiko yang paling signifikan terhadap pesawat terbang. Dampaknya bisa bergantung pada banyak faktor.
"Seperti ukuran burung, kecepatan pesawat, lokasi tabrakan, dan desain mesin," tuturnya dikutip dari The Guardian.
Tetapi burung apa yang menabrak Jeju Air? Chan menjelaskan Jeju Air termasuk dalam pesawat Boeing 737-800 yang dilengkapi dengan mesin CFM56-7B26. Mesin ini diproduksi oleh CFM International dan telah dirancang untuk menangani banyak skenario tabrakan burung.
Bila burung yang menabrak pesawat tersebut memiliki berat hingga 1 kilogram, kemungkinan jarang menyebabkan kerusakan fatal. Tetapi dapat merusak bilah mesin atau komponen penting lainnya.
"Burung yang lebih kecil pun dapat menyebabkan masalah yang signifikan pada kecepatan tinggi. Terutama jika mereka menabrak beberapa sistem," tambahnya.
Risiko kecelakaan tinggi mungkin terjadi bila burung yang tertabrak memiliki berat lebih dari 3 kg seperti angsa atau angsa muda.
Pakar keselamatan penerbangan Australia Geoffrey Dell menambahkan jika yang masuk ke dalam mesin pesawat adalah sekawanan burung, pilot tidak akan langsung mematikan mesin. Tetapi akan memberi waktu hingga akhirnya mengambil tindakan.
Selain itu, pakar keselamatan penerbangan dan pilot Lufthansa Christian Beckert mengamati rekaman video Jeju Air. Rekaman itu menunjukkan sebagian besar sistem pengereman pesawat tidak diaktifkan, sehingga menciptakan "masalah besar" dan pendaratan yang cepat.
Beckert mengatakan tabrakan burung tidak mungkin merusak roda pendaratan saat masih terangkat. Jika saat itu roda pendaratan turun, akan sulit untuk dinaikkan lagi.
"Sangat, sangat jarang dan sangat tidak biasa untuk tidak menurunkan gigi, karena ada sistem independen di mana kita dapat menurunkan gigi dengan sistem alternatif," katanya dikutip dari Reuters.
Meski begitu, para ahli mengatakan kecelakan ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyusun rangkaian kejadiannya.
Terakhir faktor yang tak bisa dihindarkan dari insiden Jeju Air adalah lokasi bandara internasional Muan. Dijelaskan lokasi ini dekat dengan tiga suaka burung utama yang berfungsi sebagai tempat musim dingin bagi burung-burung yang bermigrasi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Institut Ekologi Nasional Korea Selatan mencatat hampir 19.000 burung yang bermigrasi di suaka-suaka ini. Bandara ini telah mencatat tingkat serangan burung tertinggi di antara 14 bandara regional Korea Selatan
Sekitar 10 insiden dilaporkan antara tahun 2019 hingga Agustus 2024, menurut data Korea Airports Corporation. Faktor penilaian dampak lingkungan tahun 2020 mencatat area luar bandara juga digunakan sebagai lahan pertanian.
Sehingga wajar bila area itu sangat banyak burung karena kaya akan sumber makanan burung.
(det/nwk)