Ini yang Terjadi pada Tubuh saat Turbulensi Pesawat Terjadi, Bisa Berujung Maut?

ADVERTISEMENT

Ini yang Terjadi pada Tubuh saat Turbulensi Pesawat Terjadi, Bisa Berujung Maut?

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 22 Mei 2024 14:30 WIB
Ilustrasi Turbulensi
Ilustrasi turbulensi. Begini keadaan tubuh ketika turbulensi terjadi. Foto: (iStock)
Jakarta - Dunia penerbangan kembali mengalami insiden menyeramkan usai Pesawat Singapore Airlines SQ321 mengalami turbulensi hebat selama perjalanan. Pesawat dengan rute penerbangan Bandara Heathrow London, Inggris ke Changi Airport, Singapura itu harus mendarat darurat di Thailand usai 11 jam penerbangan.

Karena insiden itu satu penumpang yang berasal dari Inggris dilaporkan tewas, 30 cedera dan tujuh diantaranya kritis. Berbagai foto telah tersebar di media sosial yang menampakkan keadaan dalam pesawat telah porak poranda.

National Weather Service (NWS) Amerika Serikat, dikutip dari laman resminya, Senin (22/5/2024), menjelaskan turbulensi adalah sebuah fenomena cuaca paling tidak terduga yang bisa dialami pilot. Ketika fenomena ini terjadi, gerakan pesawat menjadi tidak teratur karena pusaran udara dan arus vertikal.

Akibatnya akan terjadi beberapa benturan yang mengganggu hingga cukup parah dan membuat pesawat lepas kendali untuk sementara waktu. Meski kompleks, AFP menjelaskan fenomena ini semakin umum terjadi akibat perubahan iklim seperti badai, perubahan cuaca dingin dan hangat serta pergerakan udara di pegunungan.

Jenis Turbulensi yang Berbahaya

Turbulensi terbagi menjadi empat klasifikasi yang ditentukan dari derajat stabilitas udara menurut NWS. Keempatnya adalah turbulensi ringan (ada sedikit perubahan ketinggian dan guncangan), turbulensi sedang (guncangan akan lebih intens), turbulensi berat (pesawat mungkin lepas kendali dalam sementara waktu), dan turbulensi ekstrim (pesawat bisa terlempar dan tidak mungkin dikendalikan).

Namun, ada jenis turbulensi berbahaya lainnya seperti yang dialami Singapore Airlines jet Boeing 777-300ER bernama turbulensi udara jernih.

Mengutip CNBC Indonesia, Badan Penerbangan Amerika Serikat (AS) yakni Federal Aviation Administration (FAA), mengatakan bahwa turbulensi jernih adalah turbulensi parah yang tiba-tiba terjadi di wilayah tak berawan yang menyebabkan hentakan pesawat yang hebat.

Dianggap sebagai yang paling berbahaya karena keadaan langit kala itu bersih dan tidak ada petunjuk visual untuk memperingatkan pilot bila kejadian menyeramkan akan terjadi. Jenis turbulensi ini umumnya berkaitan dengan pergeseran angin (wind sheer) yang menyebabkan perubahan kecepatan atau arah angin secara tiba-tiba.

"Turbulensi terus menjadi penyebab utama kecelakaan dan cedera meskipun tingkat kecelakaan penerbangan terus meningkat," kata Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS dalam laporan tahun 2021.

Respons Tubuh Manusia ketika Turbulensi

Mengutip dari The Conversation, tubuh manusia pada dasarnya paham akan keadaan di lingkungan sekitar, begitupun ketika naik pesawat terbang. Kita kerap meninjau benda dari jarak dan arah, hal ini dinamakan orientasi spasial.

Ketika terbang, biasanya pesawat akan bergerak maju, naik, belok dan turun. Gerakan teratur ini akan dicerna informasinya oleh otak. Namun, ketika turbulensi terjadi gerakan pesawat bisa berbeda dan mengacaukan informasi sensorik yang diterima oleh otak.

Telinga bagian dalam adalah organ yang memainkan peran penting pada kejadian ini. Bagian-bagian yang ada di telinga bagian dalam adalah koklea (rumah siput), tiga saluran setengah lingkaran, utrikulus dan sakulus.

Koklea atau rumah siput adalah bagian yang bertanggung jawab untuk mendengar. Ia mengubah energi suara menjadi energi listrik yang kemudian didengar oleh otak. Sementara struktur lainnya di dalam telinga bertugas atas keseimbangan antara posisi kepala dan tubuh.

Tiga saluran setengah lingkaran bertugas sebagai alat deteksi adanya gerakan seperti mengangguk dan gemetar. Di saluran ini terdapat utrikulus dan sakulus yang dapat mendeteksi gerakan dan percepatan.

Seluruh bagian ini berlapis cairan endolimfe yang mengalir di kepala untuk menciptakan sensasi gerakan. Saat pesawat mengalami turbulensi, cairan ini bergerak tidak beraturan. Setidaknya diperlukan sekitar 10-20 detik agar bisa kembali ke posisinya.

Pada proses 10-20 detik ini, otak akan kesulitan memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Akibatnya kita sulit membedakan yang bergerak itu sebenarnya pesawat atau tubuh kita sendiri.

Ditambah kita melihat keadaan secara nyata dengan mata kita. Selama penerbangan, sebanyak 80% informasi didapatkan dari mata kita.

Ketika tubulensi tejadi dan kesimbangan tidak bisa didapatkan, telinga bagian dalam akan mengirimkan pesan sensorik ke otak dan mengganggu refleks vestibulo-okular.

Refleks ini yang membuat kita tetap melihat dan perlu mengatur kesimbangan duduk kita. Pesan campuran sensorik ini seringkali menimbulkan berbagai gejala pada tubuh seperti pusing, berkeringat, mual hingga muntah.

Turbulensi juga menyebabkan peningkatan detak jantung lebih tinggi dari biasanya karena saat terbang bisanya saturasi oksigen turun.

Meski begitu Erica Spats, profesor kardiologi di Yale School of Medicine mengatakan bahaya turbulensi lebih besar hingga menimbulkan maut disebabkan karena benturan kepala dan anggota tubuh lain dibandingkan masalah kardiovaskular (serangan jantung).

"Kita biasanya berpikir tentang turbulensi berhubungan dengan cedera, seperti kepala terbentur atau barang bawaan jatuh menimpa mereka," ujarnya dikutip dari Washington Post.

Namun, ada berbagai pemicu stres akun seperti ketakutan kehilangan nyawa yang menyebabkan meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Jika terlalu tinggi plak di arteri bisa pecah dan menyebabkan kemungkinan lain yang menakutkan.




(det/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads