Sejarah Darurat Militer di Korea Selatan, 40 Tahun Berdarah Sebelum Reformasi

ADVERTISEMENT

Sejarah Darurat Militer di Korea Selatan, 40 Tahun Berdarah Sebelum Reformasi

Nikita Rosa - detikEdu
Rabu, 04 Des 2024 16:00 WIB
South Korean President Yoon Suk Yeol  delivers a speech to declare martial law in Seoul, South Korea, December 3, 2024. The Presidential Office/Handout via REUTERS ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE HAS BEEN SUPPLIED BY A THIRD PARTY.     TPX IMAGES OF THE DAY
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer. (Foto: via REUTERS/The Presidential Office)
Jakarta -

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada Selasa (4/12) pukul 10.27 malam waktu setempat. Anggota parlemen hingga masyarakat sipil berbondong-bondong menolak aturan tersebut.

Darurat militer adalah keadaan ketika hukum biasa ditangguhkan dan para pengambil keputusan sipil digantikan sementara oleh militer. Melansir dari Australian Broadcasting Corporation, darurat militer hanya diberlakukan pada saat genting saja, seperti perang.


Presiden Yoon Suk Yeol yang sempat mengumumkan darurat militer diperlukan untuk melindungi negara dari kekuatan komunis. Presiden Yoon kemudian membawa-bawa musuh tetangga mereka, Korea Utara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-negara. Dengan ini saya umumkan darurat militer," kata Yoon dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi kepada rakyat, dilansir AFP, Selasa (3/12/2024).

Masyarakat Korea Selatan menolak keras aturan tersebut. Mereka ramai-ramai mendatangi Gedung Parlemen untuk memprotes. Bahkan masyarakat sipil membantu para anggota parlemen masuk ke komplek gedung yang telah dikepung oleh aparat.

ADVERTISEMENT

Penolakan Korea Selatan akan darurat militer dapat ditarik kembali pada awal kemerdekaan. Setelah Negara Ginseng itu terbebas dari penjajahan, mereka melalui masa pemerintah diktator selama puluhan tahun.

Sejarah Darurat Militer di Korea Selatan

Korea Selatan meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1945, dua hari setelah Hari Kemerdekaan Indonesia. Mereka berhasil memukul mundur tentara Jepang setelah dijajah selama 35 tahun.

Namun Korea Selatan belum sepenuhnya merdeka. Melansir The Guardian, masyarakat sipil harus hidup di bawah ketakutan dari darurat militer atau martial law.

Para pemimpin berusaha untuk menempatkan tentara tempur, tank, dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan atau di tempat umum untuk mencegah demonstrasi anti pemerintah.

Diktator Park Chung-hee, yang memerintah Korea Selatan selama hampir 20 tahun sebelum dibunuh oleh kepala mata-matanya pada tahun 1979, memimpin beberapa ribu pasukan ke Seoul pada dini hari tanggal 16 Mei 1961, dalam kudeta pertama yang berhasil di negara tersebut.

Selama pemerintahannya, ia terkadang mengumumkan darurat militer untuk menindak protes dan memenjarakan para pengkritik.

Kurang dari dua bulan setelah kematian Park Chung-hee, Mayor Jenderal Chun Doo-hwan memimpin tank dan pasukan ke Seoul pada bulan Desember 1979 dalam kudeta kedua yang berhasil di negara tersebut. Tahun berikutnya, ia mengatur tindakan keras militer yang brutal terhadap pemberontakan pro-demokrasi di kota selatan Gwangju, yang menewaskan sedikitnya 200 orang.

Pada musim panas tahun 1987, protes jalanan besar-besaran memaksa pemerintahan Chun untuk menerima pemilihan presiden secara langsung. Sekutu militernya Roh Tae-woo, yang telah bergabung dengan kudeta Chun tahun 1979, memenangkan pemilihan yang diadakan pada akhir tahun 1987.

Hanya dengan pelantikan Roh pada tanggal 25 Februari 1988, setelah 40 tahun di bawah berbagai bentuk pemerintahan otoriter-militer, Korea Selatan menjadi negara Republik hingga saat ini.

Pencabutan Darurat Militer pada 2024

Setelah pengumuman darurat militer, pemimpin partai oposisi terbesar di negara itu, Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, meminta anggota parlemennya untuk berkumpul di parlemen guna menolak deklarasi tersebut. Ia juga meminta warga Korea Selatan biasa untuk hadir di Gedung Parlemen sebagai bentuk protes.

"Tank, pengangkut personel lapis baja, dan tentara bersenjata dan bersenjata pisau akan memerintah negara ini. Warga negara saya sekalian, silakan datang ke Majelis Nasional," ujarnya seperti dikutip dari BBC, Rabu (4/12/2024).

Ribuan orang mengindahkan seruan tersebut, bergegas berkumpul di luar gedung parlemen yang kini dijaga ketat. Para pengunjuk rasa meneriakkan: "Tidak ada darurat militer!" dan "hancurkan kediktatoran".

Media lokal yang menyiarkan dari lokasi tersebut memperlihatkan beberapa perkelahian antara pengunjuk rasa dan polisi di gerbang. Namun, meskipun ada kehadiran militer, ketegangan tidak meningkat menjadi kekerasan.

Para anggota parlemen terlihat melompati pagar untuk menembus penjagaan ketat. Sebagai informasi, mereka harus memenuhi kuorum untuk membatalkan aturan tersebut.

Setelah dihadiri 190 anggota parlemen, rapat pembatalan darurat militer dimulai. Sebanyak 190 dari 300 anggota parlemen kompak penolak darurat militer.

"Pemberlakuan darurat militer ilegal oleh Presiden Yoon Suk Yeol tidak sah," kata Lee.

Beberapa jam kemudian, Presiden Yoon Suk Yeol mengatakan jika darurat militer dicabut dan pasukan ditarik dari operasi. Pernyataan Yoon ini setelah ia membuat pernyataan darurat militer dan ditolak parlemen Korea Selatan.




(nir/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads