Kenapa Orang Sering Berpikir Dirinya Benar, Padahal Salah?

ADVERTISEMENT

Kenapa Orang Sering Berpikir Dirinya Benar, Padahal Salah?

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 15 Nov 2024 10:30 WIB
Ilustrasi perceraian
Kenapa orang sering berpikir dirinya benar, padahal salah? Begini penyebab dan cara mengatasinya. Foto: Getty Images/iStockphoto/Makidotvn
Jakarta -

Rupanya, tidak jarang orang berpikir dirinya benar, padahal salah. Kebiasaan ini kerap muncul saat orang sedang adu pendapat dengan orang lain.

Hasil studi Project Narrative menunjukkan, orang bisa berpikir dirinya benar meskipun salah karena merasa sudah tahu semua hal terkait yang sedang diperbincangkan untuk dapat menyimpulkan sesuatu. Padahal, faktanya tidak. Situasi ini disebut ilusi kecukupan informasi.

Info Kurang, Tapi Sudah Buat Kesimpulan

Peneliti Project Narrative Ohio State University, Angus Fletcher menjelaskan, orang salah merasa bahwa dirinya benar karena tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk mengukur kecukupan info yang mereka punya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami menemukan bahwa secara umum, orang tidak berhenti sejenak untuk berpikir apakah mungkin ada informasi lainnya yang dapat bantu mereka untuk membuat keputusan yang lebih berdasar," kata Fletcher, dikutip dari laman kampus.

Fletcher menambahkan, orang cenderung memegang kesimpulan mereka kendati info yang mereka punya belum teruji faktanya.

ADVERTISEMENT

"Kalau kamu memberi sedikit informasi yang terdengar masuk akal, kebanyakan orang akan bilang 'Kedengarannya benar', lalu berjalan saja dengan kesimpulan itu," ucapnya.

Kurang Informasi, Lebih Percaya Diri

Studi yang dipublikasi di jurnal PLOS One tersebut melibatkan 1.261 partisipan asal Amerika Serikat. Mereka dibagi ke dalam tiga kelompok dan diminta membaca artikel tentang sekolah fiktif yang kekurangan air bersih.

Satu kelompok membaca artikel yang hanya memuat alasan kenapa sekolah harus bergabung dengan sekolah lain yang punya cukup air. Kelompok kedua membaca artikel yang hanya memuat alasan kenapa sekolah tidak perlu bergabung dan berharap ada solusi lain. Kelompok ketiga membaca artikel yang memuat semua informasi pro-kontra sekolah bergabung atau tidak.

Hasil studi menunjukkan peneliti menunjukkan orang-orang dengan informasi setengah-setengah justru lebih percaya diri. Partisipan kelompok satu dan dua tetap menyakini bahwa mereka punya cukup informasi untuk membuat kesimpulan. Mereka juga mau mengikuti rekomendasi satu artikel yang mereka baca.

"Mereka yang hanya punya setengah informasi ternyata lebih percaya diri atas keputusannya untuk mendukung sekolah bergabung atau tidak, ketimbang yang sudah membaca semua pro-kontranya," kata Fletcher.

Partisipan dengan informasi setengah-setengah juga mengira bahwa kebanyakan orang akan sependapat dengan mereka, mengambil kesimpulan dan keputusan yang sama.

"Mereka cukup yakin bahwa keputusan mereka adalah keputusan yang benar, meskipun tidak punya semua informasi yang dibutuhkan," sambungnya.

Mau Baca Lebih Lanjut dan Berubah Pikiran

Kabar baiknya, Fletcher mengatakan sebagian orang yang hanya membaca informasi setengah-setengah mau membaca informasi dari sudut pandang lain. Banyak partisipan juga tidak segan berubah pikiran setelah mengetahui semua fakta.

Namun, perubahan ini rupanya tidak mudah jika sudah bicara soal ideologi. Fletcher mengatakan, dalam konteks ideologi, orang cenderung tidak mau mempercayai info baru. Jika mau pun, mereka akan coba mencocokkannya dengan ideologi awalnya.

"Ya, tapi kebanyakan konflik antarmanusia itu bukan soal ideologi, kok. Kebanyakan cuma salah paham sehari-hari," ucap Fletcher.

Perlunya Informasi yang Lengkap

Fletcher menjelaskan, studi mereka menunjukkan bahwa manusia punya naΓ―ve realism, yaitu keyakinan orang bahwa kebenaran subjektif yang mereka punya adalah kebenaran yang objektif. Karena itu, sebuah situasi dapat dipandang berbeda-beda oleh orang yang berbeda.

Di sisi lain, ilusi kecukupan informasi juga menunjukkan bahwa orang-orang bisa punya pandangan dan pemahaman yang sama jika punya cukup informasi. Untuk itu, ia menegaskan orang-orang perlu memastikan dirinya punya gambaran utuh atas sebuah peristiwa atau informasi sebelum menyimpulkan dan memihak.

"Saat tidak sepakat dengan orang lain, hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah berpikir 'Apakah ada info yang belum aku tahu, yang mungkin bisa membantuku melihat dari sudut pandang lain dan memahami posisi mereka?' Nah, itulah cara untuk melawan ilusi kecukupan informasi," pungkasnya.

Studi ini digarap Fletcher bersama psikolog pendidikan Hunter Gehlbach asal Johns Hopkins University's School of Education dan peneliti senior Carly Robinson asal Stanford University's Graduate School of Education.




(twu/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads