Kata Ahli, Beda Negara Beda Standar Kebahagiaan

ADVERTISEMENT

Kata Ahli, Beda Negara Beda Standar Kebahagiaan

Novia Aisyah - detikEdu
Sabtu, 19 Okt 2024 11:00 WIB
ilustrasi laki-laki bahagia
Ilustrasi bahagia. Foto: Unsplash @kalvisuals
Jakarta -

Selama tujuh tahun berturut-turut, masyarakat Finlandia menempati posisi teratas sebagai penduduk paling bahagia di dunia. Hal itu berdasarkan World Happiness Report 2024 yang dirilis pada 20 Maret.

Dan seperti biasa, negara-negara Nordik lainnya, seperti Denmark; Islandia; Swedia; dan Norwegia, semuanya berada di 10 besar.

Hampir setiap tahun sejak Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional pada tahun 2012, sebuah konsorsium lembaga internasional telah menerbitkan peringkat kebahagiaan ini, beserta laporan terperinci tentang kesejahteraan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peringkat tersebut memberi negara-negara cara untuk mengukur keberhasilan nasional dan mengembangkan kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan di luar ukuran ekonomi seperti produk domestik bruto.

Namun, definisi kebahagiaan belum tentu "standar" bagi seluruh dunia.

ADVERTISEMENT

Bias Kebaratan dalam Konsep Bahagia

Budaya dapat memengaruhi orang-orang di berbagai negara menanggapi survei tentang kebahagiaan, kata ahli psikologi makro Kuba Krys dari Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia di Warsawa.

Selain itu, konsep kebahagiaan, sebagaimana yang saat ini didefinisikan dan dipahami, mungkin memiliki bias Barat. Menurut Krys, bias ini umum terjadi di masyarakat yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai Western (Barat), Educated (terpelajar), Industrial (industrial), Rich (kaya), and Democratic (demokratis) (WEIRD).

Peringkat dalam laporan kebahagiaan bergantung pada respons terhadap satu pertanyaan dalam Jajak Pendapat Gallup World, yakni "Bayangkan sebuah tangga dengan anak tangga bernomor dari 0 di bagian bawah hingga 10 di bagian atas. Misalkan kita mengatakan bahwa bagian atas tangga mewakili kehidupan terbaik yang mungkin bagi Anda, dan bagian bawah tangga mewakili kehidupan terburuk yang mungkin bagi Anda. Di anak tangga manakah menurut Anda saat ini?"

Responden Finlandia, rata-rata, berada tepat di bawah anak tangga kedelapan. Responden Amerika Serikat (AS) berada sekitar satu anak tangga lebih rendah, skor yang menempatkan mereka di posisi ke-23. Sementara itu, orang-orang di Afghanistan belum mencapai anak tangga kedua.

Namun Krys dan yang lainnya mempertanyakan apakah skor tersebut dapat dibandingkan secara bermakna di berbagai negara. Misalnya, ketika para peneliti bertanya kepada 200 orang di Tanzania (negara dengan peringkat rendah), bagaimana mereka memilih anak tangga, peneliti menemukan lebih dari sepertiga, (kebanyakan dari mereka dengan pendidikan formal terbatas) tidak memahami pertanyaan tersebut.

"Apakah orang-orang yang sebagian besar berpendidikan kelas 7 memahami gagasan Barat tentang memberi peringkat pengalaman hidup Anda pada skala linear?" tanya Michael Kaufman, konsultan pembangunan internasional di Chicago.

"Jawabannya adalah: Tidak, mereka tidak memahaminya," imbuhnya.

Selain itu, psikolog kepribadian dan budaya Mohsen Joshanloo mencatat banyak orang, terutama di luar Barat, takut bahwa mengakui tingkat kebahagiaan yang tinggi dapat menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi. Ketakutan itu dapat menurunkan skor mereka pada survei terstandar, demikian hasil penelitiannya.

"Ketakutan akan kebahagiaan itu nyata dan memengaruhi cara orang di seluruh dunia mengalami dan mengekspresikan kebahagiaan mereka serta menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan mereka," kata Joshanloo, dari Universitas Keimyung di Daegu, Korea Selatan.

Demikian pula, penelitian Krys menunjukkan tidak semua orang menginginkan kebahagiaan maksimal. Timnya mengamati respons survei dari hampir 13.000 orang di 49 negara.

Alih-alih menanggapi dari sudut pandang mereka sendiri, responden diminta untuk mengevaluasi seberapa besar "orang yang ideal atau sempurna" akan setuju dengan berbagai pernyataan yang mencerminkan kebahagiaan.

Contoh pernyataannya meliput,: "Dalam banyak hal, hidup saya mendekati ideal saya," dan "Kondisi hidup saya sangat baik." Respons pernyataan ini berkisar dari 1 untuk "sama sekali tidak menggambarkan dirinya" hingga 9 untuk "menggambarkan dirinya dengan tepat."

Kebahagiaan ideal sangat bervariasi berdasarkan negara masing-masing, menurut Krys dan rekan-rekannya.

Kehidupan yang Tenang Lebih Disukai daripada yang Asyik

Di Jerman dan Islandia, sekitar 85 persen peserta menanggapi bahwa kebahagiaan ideal setara dengan skor 7 dan lebih tinggi. Namun di Bhutan, Ghana, Nigeria, Jepang, dan Pakistan, 70 persen atau lebih responden memilih skor yang lebih rendah.

Tim tersebut melaporkan hasilnya pada bulan Februari 2024 dalam jurnal Perspectives on Psychological Science melalui "Happiness Maximization Is a WEIRD Way of Living".

"Kami orang Barat, kami didorong oleh prinsip maksimalisasi," kata Krys.

"Kami menginginkan lebih dari segalanya. Itu tidak universal," imbuhnya.

Orang non-Barat sering kali lebih menekankan pada aspek lain dari kehidupan yang baik, seperti harmoni, spiritualitas, atau makna, menurut penelitian.

Dan terkadang skor dalam satu kategori bertentangan dengan skor di kategori lain. Misalnya, negara-negara miskin yang mendapat skor rendah dalam kebahagiaan sering kali mendapat skor tinggi dalam makna hidup, sebagaimana dituliskan dalam publikasi tahun 2014 dalam Journal of Research in Personality. Hal yang sebaliknya berlaku untuk negara-negara yang lebih kaya.

Peneliti yang mengerjakan Laporan Kebahagiaan Dunia secara aktif meneliti ukuran kesejahteraan lain yang berpotensi lebih luas diterapkan, kata Lara Aknin psikolog sosial di Simon Fraser University di Burnaby, Kanada.

Pada 2022, peneliti laporan mengeksplorasi konsep keseimbangan dan harmoni dengan memfokuskan pertanyaan yang terkait dengan konsep tersebut dalam Jajak Pendapat Gallup World 2020.

Berdasarkan laporan itu, orang-orang di seluruh dunia menghargai konsep tersebut. Namun, ada beberapa pengecualian, orang-orang di mana pun cenderung lebih menyukai kehidupan yang tenang daripada yang mengasyikkan.

"Temuan tersebut menunjukkan bahwa banyak orang di seluruh dunia, tidak hanya mereka yang berada di luar Amerika Utara, mengalami dan lebih menyukai keseimbangan dan harmoni," kata Aknin.

Krys dan yang lainnya mengatakan bahwa solusinya bukanlah menyingkirkan peringkat kebahagiaan. Sebaliknya, mereka ingin penulis laporan mengeluarkan lebih banyak variasi peringkat kesejahteraan.




(nah/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads