Kerajaan Samudra Pasai adalah salah satu kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan yang didirikan oleh Meurah Silu pada 1267 ini terletak di Pantai Utara Aceh, tepatnya di Muara Sungai Peusangan (Pasai).
Kerajaan Samudra Pasai merupakan hasil penyatuan antara kerajaan Pase dan kerajaan Perlak. Menurut catatan sejarah, kerajaan Perlak ini merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Setelah terbentuk, pemimpin pertama Samudra Pasai adalah Sultan Malik Al-Saleh, yakni gelar yang diambil oleh Meurah Silu setelah memeluk islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama masa kejayaannya, kerajaan Samudra Pasai dikenal sebagai pusat perdagangan yang terkenal. Bahkan sering dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, seperti Tiongkok, India, Siam, Arab, dan Persia.
Lantas, mengapa Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan?
Alasan Kerajaan Samudra Pasai Jadi Pusat Perdagangan
Alasan Geografis
Menurut buku "Pasai dalam Perjalanan Sejarah" (1997) karya Muhammad Gade Ismail, yang dikutip Rabu (9/10/2024), letak strategis kerajaan Samudra Pasai di jalur pelayaran internasional mempermudah para pedagang dari berbagai negara untuk singgah dan berdagang.
Secara geografis, Samudra Pasai terletak di Pantai Utara Aceh, tepatnya di Muara Sungai Peusangan (Pasai). Wilayah ini diapit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Pasai dan Sungai Peusangan.
Selain itu, Samudra Pasai berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Kondisi ini sangat menguntungkan Kerajaan Samudra Pasai karena dilalui oleh banyak pedagang dari berbagai negara.
Alasan Politik
Kedudukan Kerajaan Samudra Pasai sebagai pusat perdagangan internasional, tidak terlepas dari pengaruh politik. Hal ini berkaitan dengan para penguasa kerajaan dalam menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan lainnya, serta peranan Samudra Pasai dalam menyebarkan ajaran agama islam di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu hubungan diplomatik yang pernah tercatat dalam sejarah adalah kerja sama antara Samudra Pasai dengan Kekaisaran Tiongkok pada awal dinasti Mongol sekitar tahun 1282. Dalam catatan tersebut, tertulis "Dua utusan dari Su-Mu-Ta (Samudra Pasai), Sulaiman dan Samsuddin tiba di Kekaisaran Tiongkok".
Selain itu, Samudra Pasai juga melakukan banyak kerja sama dengan pedagang-pedagang islam yang berasal dari Asia maupun Arab. Kerja sama ini terjalin atas dasar perdagangan dan persebaran ajaran agama islam yang saat itu sedang berkembang di Nusantara.
Bahkan, Raja Malaka pernah menikah dengan putri dari Kerajaan Samudra Pasai yang beragama islam.
Posisi Samudra Pasai di kawasan Selat Malaka semakin kuat setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya menjadi salah satu pusat perdagangan penting di Selat Malaka sejak abad ke-8. Akibatnya, Samudra Pasai mengambil alih posisi Sriwijaya dalam mengontrol perdagangan di kawasan Selat Malaka.
Alasan Ekonomi
Selain daripada alasan geografis dan politik, alasan ekonomi juga menjadi faktor penting dalam membuat Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan. Samudra Pasai memiliki komoditas utama yang diperdagangkan, diantaranya adalah lada, sutra, kapur barus, dan emas.
Pada masa itu, Kerajaan Samudra Pasai sudah aktif dalam perdagangan ekspor dan impor dengan berbagai negara. Dengan tanah yang subur, kerajaan ini mengekspor beragam hasil hutan dan perkebunan, terutama lada, yang menjadi komoditas paling diminati oleh pedagang dari Arab dan Tiongkok, sebagaimana dikutip dari laman Pemerintah Provinsi Aceh.
Selain itu, Samudra Pasai berperan sebagai tempat transit bagi barang-barang dari berbagai negara sebelum diekspor. Keberhasilan Samudra Pasai sebagai pusat perdagangan juga terlihat dari penggunaan mata uang emas, Deureuham atau dirham yang digunakan sebagai alat transaksi pada masa itu.
Diketahui bahwa setiap kapal yang membawa barang dari Barat dikenakan pajak sebesar 6% oleh Kerajaan Samudra Pasai.
(faz/faz)